Skip to main content

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya. 

Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman.

Tidak lama setelah istri saya pergi, saya mendengar ketukan di pintu.

Tok! Tok! Tok!

Jantung saya berdesir. Siapa ini? Setahu saya, tidak ada janji dengan siapa pun. Dengan sedikit rasa penasaran, saya melangkah ke pintu dan membukanya.

Di sana, berdiri Ustadz Firman. Dia mengenakan baju koko dan calana kain hitam. Namun, wajahnya tidak lagi menunjukkan ketakutan seperti terakhir kali kami bertemu. Ada keraguan, ya, tapi juga ada sorot hasrat yang jelas di matanya. Ia terlihat canggung, tapi juga penuh harapan.

"Assalamu'alaikum, Ustadz Ardy," sapanya, suaranya sedikit tercekat.

"Wa'alaikumussalam, Ustadz Firman. Ada apa ya Ustadz?" tanyaku, mencoba bersikap normal, meskipun dalam hati saya sudah bersorak gembira. Ini dia. Ini pasti yang saya tunggu-tunggu.

Ustadz Firman menelan ludah. "Saya... saya ingin silaturahmi saja, Ardy. Kebetulan tadi lewat, jadi mampir."

Saya tahu itu bohong. Dia tidak "kebetulan lewat". Dia datang ke sini karena hasrat yang tak terbendung, sama seperti saya. Saya tersenyum tipis. "Oh, begitu. Silakan masuk, Ustadz."

Saya mempersilakannya masuk. Ustadz Firman melangkah ke ruang tamu, pandangannya menyapu sekeliling, seolah memastikan tidak ada orang lain. Saya mengamati gerak-geriknya. Dia terlihat gugup, tapi juga ada aura tekadyang kuat.

"Silakan duduk, Ustadz," kataku.

Dia duduk di sofa, tangannya mengepal di atas lutut. Saya duduk di hadapannya, sengaja sedikit merenggangkan sarung saya agar kemaluanku yang sudah mulai menegang sedikit lebih terlihat. Saya tidak memakai celana dalam, dan hari ini saya tidak memakai dildo kesayanganku. 

Hening menyelimuti kami berdua. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Ustadz Firman tampak gelisah, sesekali melirik ke arahku, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya.

"Ustadz Firman," saya memecah keheningan, "Ada yang ingin Ustadz bicarakan?"

Dia menghela napas panjang. "Ardy... saya... saya tidak tahu harus bicara apa. Kejadian hari itu... terus-menerus terpikir di benak saya."

Saya tersenyum lembut. "Ah benar kita hampir ketahuan oleh istri ustadz"

"Haha ia"

"Maaf aku tidak bisa menahan nafsu ku" Seru ku. 

"Ah ia gpp saya juga salah, karena tidak bisa menahan hasrat ku juga"

"Haah kalau saja istri ustadz tidak menghampiri kita. Mungkin saja kita berdua sudah sampai keluar" 

"Hmm kau benar"

"Gak papa kok"

"Apa mau kita lanjutin?" Tanya ku bercanda. 

"Eh nanti ketahuan istri mu" Jelasnya. 

"Istri ku jam segini lagi berjualan di pasar" Jelasku. Seakan sedang berkata rumah ku kosong saat ini. 

Mendengar itu, Ustadz Firman mengangkat kepalanya, menatapku. Matanya menunjukkan sedikit kelegaan. "Kamu yakin?"

"Tentu saja, Ustadz," kataku, suaraku kulembutkan. "Lagian ini semakin ditahan semakin menyakitkan loh." Saya menekankan kata 'menyakitkan' dengan nada ambigu.

Wajah Ustadz Firman sedikit memerah. Dia menunduk lagi, tapi kali ini, ada senyum tipis di bibirnya. "Saya... saya terus mencoba mengusir pikiran itu. Beristighfar, salat malam... tapi rasanya sulit sekali."

"Namanya juga dosa dunia, Ustadz semuanya enak dan bikin ketagihan," kataku, nadaku semakin menggoda. Saya bisa melihat kemaluannya di balik celananya sudah mulai membentuk gundukan samar.

Ustadz Firman mengangkat kepalanya lagi, matanya kini menatap kemaluanku yang sudah menonjol jelas di balik sarung. Dia menelan ludah. "Ardy kamu bisa bantu aku?" tanyanya, suaranya serak.

Saya tidak menjawab, hanya memberikan senyum penuh makna padanya. Saya melihat Ustadz Firman menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian.

"Kamu yakin ini aman?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

"Istri saya pergi ke pasar, Ustadz. Pulangnya sore," jawabku lagi, kini dengan nada yang lebih terang-terangan.

Mendengar itu, Ustadz Firman tampak semakin legah. Dia berdiri dari sofa, melangkah mendekatiku. Matanya membara dengan hasrat yang tak lagi bisa disembunyikan.

"Ardy..." bisiknya, meraih tanganku. "Aku... aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ingin... merasakan itu lagi."

Saya membalas genggamannya, cengkeramanku erat. "Saya juga, Ustadz. Sangat kangen kontol ustadz."

Ustadz Firman tidak membuang waktu. Dia langsung menarikku berdiri. Wajahnya mendekat, dan bibirnya mendarat di bibirku dengan ciuman yang lapar dan penuh gairah. Kali ini, tidak ada keraguan, tidak ada penolakan. Ciuman itu dalam dan memabukkan, lidah kami saling bertautan, menjelajahi setiap sudut mulut satu sama lain. Aroma napas Ustadz Firman yang hangat dan maskulin memenuhi indra penciumanku.

Tangannya merayap ke seluruh tubuhku, meremas pinggangku, punggungku, dan sesekali menyentuh pantatku yang kini terasa kosong tanpa dildo, namun justru terasa lebih sensitif. Sarungku melorot sedikit, membiarkan kemaluanku yang sudah tegang berdiri gagah bergesekan langsung dengan kemaluan Ustadz Firman yang juga sudah mengeras di balik celananya.

"Ahhh... Ustadz... enakkk..." desahku di sela ciuman.

Ustadz Firman melepaskan ciuman kami, napasnya terengah-engah. Matanya menatapku dengan nafsu yang tak tertahankan. "Ardy... aku gak tahan lagi..."

Dia meraih sarungku dan melorotkannya hingga ke lantai. Kemaluan saya langsung melonjak keluar, kokoh dan basah oleh precum. Saya bisa merasakan Ustadz Firman menelan ludah saat melihatnya. Saya juga langsung membuka kancing celananya lalu melorotkan nya kebawah, dan juga baju kokonya. Kini kami berdua telanjang bulat di ruang tamu, kemaluan kami saling bergesekan, menciptakan sensasi panas yang luar biasa.

Ustadz Firman berlutut di depanku, matanya menatap kemaluanku dengan penuh hasrat. Tanpa menunggu perintah, dia langsung menghisap kontolku dengan rakus. Lidahnya bermain liar, memutari kepala kontolku, menjilat batangnya dari pangkal hingga ujung. Hisapannya kuat dan dalam, membuatku mendesah keras.

"Ahhh... Ustadz... enakkk..." desahku, menjambak rambutnya, menarik kepalanya lebih dalam. Saya memejamkan mata, membiarkan diri terhanyut dalam kenikmatan.

Ustadz Firman terus menghisap, sesekali menghisap seluruh kemaluanku hingga pangkal, membuatku menggeliat tak terkontrol. Suara kecapan dan desahanku memenuhi ruang tamu yang sepi. Saya bisa merasakan tubuh saya panas membara, dan gairah saya mencapai puncaknya.

"Ustadz... aku... aku mau keluar..." desahku.

Mendengar itu, Ustadz Firman melepaskan hisapannya dari kemaluanku. Dia menatapku, matanya berkilat nakal.

"Jangan dulu, Ardy," bisiknya. "Aku ingin merasakan ini." Jelaskan sambil membelai pantat ku dan memasukan jari tengahnya ke arah lubang pantatku. 

Dia berdiri, meraih tanganku, dan menarikku ke arah sebuah kamar itu adalah kamar ku dan istriku. Kami masuk ke dalamnya, lalu dia mendorongku dengan lembut hingga aku bersandar di dinding.

"Aku akan kangen lubang mu, Ardy," katanya, suaranya berat dan serak.

Jantungku berdebar kencang. Ini yang saya inginkan. Saya mengangguk, napas saya memburu.

Ustadz Firman berlutut di depanku, lalu mengangkat kakiku satu per satu, meletakkannya di bahunya. Posisi ini membuat lubang anuskku terpampang jelas di hadapannya. Saya bisa merasakan kemaluannya yang tegang menusuk-nusuk di antara paha saya.

Dia meludahkan sedikit air liur ke ujung kemaluannya, lalu perlahan mulai memasukkannya ke lubang anuskku.

"Ahhh! Ustadz... pelan-pelan..." desahku, merasakan sensasi perih yang bercampur kenikmatan luar biasa saat kemaluannya menusuk masuk ke dalam lubangku. Tanpa dildo, sensasi ini jauh lebih intens dan mentah. Rasanya penuh, mengisi setiap rongganya, memberikan tekanan yang memabukkan yang tak bisa saya dapatkan dari dildo. 

Kontol ustadz firman memiliki diameter yang lebih panjang dan tebal dari pada bagas dan ian. mungkin karena Umurnya yang lebih dewasa dari pada mereka. 

Ustadz Firman menghela napas panjang saat kemaluannya masuk sepenuhnya. "Ahhh... Ardy... ketat sekali..." desahnya lebih ketat dari pada punya istri ku.

"Ini yang bkkin aku ketagihan" Serunya. 

Dia mulai menggerakkan pinggulnya, menggenjotku dengan tempo yang lambat namun pasti. Plok! Plok! Plok!Suara kulit kami yang beradu dan desahan kami memenuhi kamar ini. Setiap dorongan Ustadz Firman terasa dalam dan penuh, mengenai titik-titik sensitif di dalam lubang anuskku.

"Akhhh! Ustadz... enakkk... terus..." desahku tak terkontrol, kepalaku mendongak ke atas, mataku terpejam. Tanganku mencengkeram erat bahu Ustadz Firman, kukuku menusuk kulitnya.

Ustadz Firman semakin mempercepat genjotannya. Dia memegang pinggangku erat, membuka lebar kaki ku. setiap kali dia menusuk lebih dalam. 

"S-t-s-s... akhhh! Ardy... kamu... kamu membuatku gila..." desahnya, suaranya serak karena gairah. Keringat membasahi tubuhnya, dan jenggot tipisnya bergetar setiap kali dia menggenjot.

Aku bisa merasakan kemaluanku yang sudah tegang berdenyut-denyut. Kenikmatan ini terlalu dahsyat. Aku menarik kepalanya, mencium kening Ustadz Firman, lalu turun ke bibirnya. Kami berciuman lagi di sela-sela genjotan, lidah kami saling beradu.

Ciuman itu semakin panas, beriringan dengan setiap dorongan Ustadz Firman yang semakin cepat dan dalam. Napas kami terengah-engah, bercampur menjadi satu melodi gairah. Aku merasakan tubuhku bergetar hebat, sensasi kenikmatan yang memuncak membanjiri setiap sarafku.

"Ustadz... aku... aku sudah di ujung..." bisikku putus-putus, suaraku nyaris tak terdengar.

Ustadz Firman mengerang, genjotannya semakin brutal. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mendesah, "Aku juga, Ardy... aku juga..."

Dengan satu dorongan terakhir yang kuat dan dalam, Ustadz Firman menjeritkan namaku, "Ardyyy!"

CROTT CROTT CROTT 

CROTT CROTT CROTT

Tubuh ku menggeliat hebat. Aku merasakan kehangatan cairan kental membanjiri lubangku. Rasanya panas, penuh, dan begitu memuaskan. Sperma ku muncrat ke tubuh ku bahkan separunya mengenai ustadz firman. 

Kami berdua terdiam, terengah-engah, bersandar di dinding. Kontol Ustadz Firman masih tertancap di dalamku, denyutannya masih terasa samar. Keringat membanjiri tubuh kami, dan napas kami masih berat.

Perlahan, Ustadz Firman menarik kemaluannya keluar dari lubangku. Sensasi kosong yang tiba-tiba membuatku mendesah kecil. Dia lalu memelukku erat, menyandarkan kepalanya di bahuku. Jantungnya berdebar kencang, sama seperti jantungku. Ah itu membuat spermaku menempel padanya. 

"Ardy... itu... itu luar biasa," bisiknya, suaranya serak dan penuh kepuasan.

Aku hanya bisa mengangguk, masih terlalu lemas untuk berbicara. Kami berdua berdiri dalam pelukan, menikmati keheningan dan kehangatan tubuh masing-masing. Sensasi dosa yang memabukkan itu terasa begitu nyata, namun kepuasan yang kami rasakan jauh melampaui rasa bersalah.

Setelah beberapa saat, Ustadz Firman melepaskan pelukannya. Dia menatapku, senyum tipis terukir di bibirnya. Matanya masih memancarkan gairah yang sama, namun kini ada ketenangan yang terpancar.

"Kita harus membersihkan diri," katanya pelan, menunjuk ke kamar mandi.

Aku mengangguk setuju. Kami berdua melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri dari jejak-jejak hasrat yang baru saja kami lepaskan. Air dingin yang menyentuh kulit terasa menyegarkan, namun sensasi panas di dalam tubuhku masih belum sepenuhnya hilang.

Setelah mandi, kami kembali ke ruang tamu. Ustadz Firman membantu membereskan sarungku yang tergeletak di lantai. Kami duduk lagi di sofa, namun kali ini, suasana terasa berbeda. Tidak ada lagi kecanggungan atau keraguan. Yang ada hanya keintiman yang mendalam dan pemahaman tanpa kata.

"Ardy," Ustadz Firman memecah keheningan, suaranya lebih tenang sekarang. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan tentang ini."

Aku menatapnya. "Lakukan apa, Ustadz?"

Dia menghela napas. "Hubungan kita ini... ini dilarang. Tapi aku... aku tidak bisa menolaknya. Dan aku tahu kamu juga merasakannya."

Aku tersenyum lembut. "Kita tahu risikonya, Ustadz. Tapi ini... ini seperti candu, kan?"

Ustadz Firman mengangguk. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku tidak ingin ini berhenti, Ardy. Aku ingin... ingin merasakan ini lagi."

Aku membalas genggamannya. "Jangan khawatir, Ustadz. Saya siap melayani ustadz, ini menjadi rahasia kita berdua."

Kami berdua terdiam lagi, namun kali ini, keheningan itu dipenuhi dengan janji-janji tak terucap. Janji akan pertemuan rahasia lainnya, janji akan hasrat yang tak terpuaskan yang akan terus membara di antara kami. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang berbahaya, namun begitu memikat.

Ustadz Firman berdiri. "Aku harus pulang sekarang. Istriku sebentar lagi akan kembali."

Aku mengangguk. "Hati-hati, Ustadz."

Sebelum pergi, Ustadz Firman menatapku lagi, matanya penuh makna. "Terima kasih, Ardy."

"Sama-sama, Ustadz," balasku, senyumku mengembang.


Setelah Ustadz Firman pergi, aku duduk termenung di sofa, meresapi setiap momen yang baru saja terjadi. Tubuhku masih terasa hangat, dan bayangan Ustadz Firman, sentuhannya, hisapannya, dan genjotannya, terus berputar di benakku. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menolak kenikmatan ini. Ah sekarang aku sudah terjerumus dalam lingkaran setan. 


Bersambung.... 



Comments

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...