Skip to main content

Ustadz Kampung : Chapter 16. Penjaga warung

 




Selalu Dukung Admin ya biar admin lebih semangat
LINK SAWER


Setelah sesi curhat dan ngentot yang memuaskan di rumah Ustadz Firman, saya merasa sedikit lebih ringan. Namun, rasa ketagihan itu tidak lantas hilang. Sebaliknya, seperti api yang baru saja diberi bahan bakar, ia semakin membara. Bayangan kontol Ustadz Firman yang kokoh dan gairah yang kami bagi terus terlintas di benakku, membuatku terus diliputi nafsu yang tak terpuaskan.

Malam berikutnya, setelah menunaikan Salat Isya, saya berjalan kembali melewati warung tempat saya bertemu dengan geng Ian. Malam itu, warung itu tidak seramai malam sebelumnya. Hanya ada seorang pemuda yang sedang duduk di meja paling ujung biasa untuk membayar, dia terlihat sedang memainkan handphonenya. Saya mengenalnya. Dia adalah pemilik warung, namanya Hendra. Usianya sekitar 25 tahun, tubuhnya tegap dan kulitnya bersih. Rambutnya dicukur rapi, dan dia punya sorot mata yang hangat namun juga ada kesan nakal di sana.

"Assalamu'alaikum," sapaku, melangkah masuk.

"Wa'alaikumussalam, Ustadz Ardy," jawab Hendra, senyum tipis terukir di wajahnya.

Saya berdiri di depannya jarak kami terhalang oleh sebuah meja, aku membeli beberapa bumbu yang dibutuhkan istriku, keheningan menyelimuti kami berdua. Saya merasakan suasana aneh di antara kami. Hendra tidak berbicara banyak, tapi matanya sesekali melirikku, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan. Matanya menjelajahi tubuhku, membuatku sedikit salah tingkah.

Ketika ia memberikan sekantong kresek kecil di depanku, aku terkejut saat ia menahan tangan ku. ia pun membungkuk sedikit ke arah ku, suaranya pelan, nyaris berbisik. "Ustadz... saya dengar percakapan Ustadz malam itu. Waktu Ustadz bertemu dengan Ian dan teman-temannya."

Jantung saya langsung berdebar kencang. Rasa malu yang teramat sangat langsung menyeruak. Sial. Saya tidak menyangka ada orang lain yang mendengar percakapan kotor itu.

"M-maksudmu, Hendra?" tanyaku, berpura-pura tidak mengerti.

Hendra tersenyum cabul. "Ustadz jangan pura-pura. Saya dengar semuanya. Saya dengar Ian bilang kontol Ustadz gede, dan Ustadz memakai dildo. Saya dengar Ustadz juga sudah sering dientot dengan laki-laki."

Wajahku terasa panas membara. Saya tidak bisa mengelak lagi. Aibku kini diketahui oleh orang lain lagi. Namun, alih-alih diliputi rasa jijik dan takut, saya merasakan kontol saya justru mulai sedikit menegang, dan lubang pantatku mulai berdenyut, merindukan sentuhan yang terlarang.

"Ustadz tidak perlu malu," bisik Hendra, suaranya semakin rendah dan menggoda. "Saya tidak akan bilang siapa-siapa. Ya asalkan ustadz mau... ngelakuin itu sama saya" serunya sambil mengarahkan tangannya ke celana pendeknya. gila, terasa sekali kontolnya yang sudah nganceng. meronta-ronta karena terhalang celana dalam. jujur saja saat ini rasanya saya teramat malu. tapi entah kenapa tangan ku tidak bisa lepas dari kontolnya. aku pun meremas-remas pelan kontolnya. membuat hendra mendesah.

"akhhh... benar ternyata. ku kira waktu itu aku salah dengar" serunya. membuat ku tidak bisa membantah lagi.

hendra menarik ku, ke arahnya. aku pun mengikutinya sekarang aku berdiri tepat didepannya. sambil-melirik kekiri dan kekanan. memastikan bahwa keadaan sekarang sudah sepi dan aman. hendre pun menarik ku ke dalam bibirnya. terasa sekali air liurnya. lidahnya menari-nari dengan lincah menyosor masuk ke dalam mulutku. ah rasanya sangat nikmat. aku tidak ingin kalah akhirnya aku pun melakukan hal yang sama mengimbangi aksinya.

setalah itu, hendra kembali melirik ke sekitar. lalu dia mendorongku masuk ke dalam meja. untung saja meja ini luas dan kolongnya tertutup jadi dari luar tidak ada yang akan mengetahui bahwa saya sedang berada di kolong meja. kemudian dia mulai duduk di depan ku. pandangan ku sekarang benar-benar melihat gundukan celananya yang telah mengebul menandakan kontolnya sudah berdiri tegang.

"tunggu apalagi ustadz, isep punya ku.." serunya.

Mendengar perintahnya, otakku seolah berhenti bekerja. Rasa malu, rasa bersalah, dan gairah yang mematikan bercampur menjadi satu. Aku tahu ini salah. Ini adalah perbuatan terkutuk di tempat yang sangat tidak pantas. Tapi, melihat gundukan di celana Hendra yang tegang dan mendengar desahannya yang rendah, semua pertimbangan etika dan moral seolah lenyap ditelan nafsu.

Aku berlutut di kolong meja yang gelap, kakiku gemetar. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku meraih celana pendek Hendra. 

"Pelan-pelan, Ustadz," bisiknya, suaranya serak menahan kenikmatan. Ia sedikit terangkat dari kursinya, mempermudah akses bagiku.

Ketika celana dalamnya yang tipis tersingkap, pemandangan yang tersaji di depan mataku membuat napasku tercekat. Kontol Hendra! Ukurannya tidak sebesar milik Ustadz Firman, tapi ia lebih 'liar' dan memancarkan aura muda yang membangkitkan birahi. Tegak, memerah, dan sedikit berurat,kontolnya penuh dengan jembutnya itu terlihat semakin seksi ia menyembul keluar, seolah memanggil-manggil.

Aku menelan ludah. Rasa kaget itu cepat berganti dengan keinginan yang tak tertahankan. Ini adalah kesempatan, dan kali ini, ini adalah petualangan baru, sebuah rahasia lain yang akan mengikatku pada dunia gelap ini.

Aku tidak sabar lagi aku menjulurkan lidah, membasahi ujung kontol Hendra dengan hati-hati.

"Aahhhh stsss anjing..." desah Hendra, keras namun tertahan. Ia memejamkan mata, kepalanya bersandar ke belakang. "Ya Allah, Ustadz... lebih dalam..."

Kontolnya terasa hangat, sedikit asin, dan berbau maskulin yang menggoda. Aku menuruti perintahnya. Aku membuka mulutku perlahan, mulai memasukkan kepala kontolnya ke dalam mulutku. Aku menjilat, menghisap, dan menggerakkan lidahku dengan naluri yang bahkan tidak kusangka kumiliki. Pengalaman dengan Ian dan Ustadz Firman rupanya telah 'mengajariku' banyak hal.

Hendra mendesah semakin keras. Tangannya kini menyentuh kepalaku, menekanku agar lebih dalam. "Bagus, Ustadz! Terus... isap yang kuat akhhh anjing stsss akhhh enak jirrr..." desahnya masih berusaha agar tidak berisik.

Kepalaku naik turun di kolong meja warung itu, melakukan hal yang paling terlarang dan paling memuaskan. Dalam hati, aku tahu aku sedang jatuh semakin dalam ke jurang dosa. Aku adalah seorang Ustadz, dan aku sedang mengisap kontol seorang pemuda di kolong meja warungnya! Namun, rasa malu itu terus-menerus dikalahkan oleh kenikmatan yang memabukkan. Setiap isapan yang kulakukan, kontolnya yang terasa asin dan bau khas kontol, serta setiap desahan Hendra yang kudengar, seolah memberikan bahan bakar baru bagi nafsu bejatku. 

Aku merasakan kontolnya semakin menegang di dalam mulutku. Hendra mulai bergerak, pinggulnya maju mundur, menumbuk mulutku dengan ritme yang semakin cepat. Aku berusaha mengikutinya, menahan napas, memastikan tidak ada suara berlebihan yang lolos. rasanya kontolnya masuk semakin dalam ke dalam kerongkongan ku.

Tiba-tiba, dari luar terdengar suara klakson motor dan suara langkah kaki yang familiar. "Permisi, Hendra! beli masako, kecap, sama kopi!" suara tersebut adalah bu ani.

aku berhenti sejenak, begitupun dengan hendra. kontolnya masih di dalam mulutku. 

"ambil aja bu di samping ibu tuh" seru hendra. kemudian bu ani pun melakukan hal yang di suruh lalu menyerahkan kepada hendra. 

"berapa?"

"7 ribu aja"

Aku buru-buru merangkak merapat ke tiang kolong meja, menahan napas. Dari sela-sela meja, aku bisa melihat sosok gemuk Bu Ani, tetangga kompleks, berada tepat di belakang ku. terlihat  yang sedang bersembunyi. hendra memajukan bangkunya agar bagian bawahnya tidak terlihat oleh bu ani. akh aroma khas kontolnya tercium semerbak di dalam kolong meja ini. aku pun mulai iseng mengulum kontolnya dengan perlahan. aku dapat melihat dari dalam kolom ekspresi hendra yang terlihat sedikit panik. tapi masih berusaha tetap terlihat baik-baik saja. hal itu membuatku semakin berani.

"stsss"

"kenapa ndra?" tanya bu ani penasaran.

"enggak bu sakit sariawan" bohong hendra. "jam segini sudah belanja. Buru-buru mau ngopi sama suami ya, Bu?" ngelak Hendra berusaha bersikap normal, suaranya sedikit bergetar.

"tiba-tiba ada tamu jadi beli kopi cepat-cepat kesini," jawab Bu Ani, sama sekali tidak curiga. "saya balik ya takut tamunya keburu pulang" seru bu ani.

"ia bu hati-hati"

Setelah Bu Ani menerima pesanannya dan pergi, Hendra menghela napas lega. "Hampir saja, Ustadz. Lanjut!" perintah Hendra, matanya berkilat-kilat.

Lalu, hendra menarik ku keluar. aku mengikutinya. bangkit dari kolong meja. kemudian dia mendorongku di atas meja.

"aku mau ini..." serunya sambil menampar pantat ku. aku mengerti maksudnya dia ingin mengentot ku.

Punggungku menempel pada sisi meja yang menghadap ke luar toko, sementara bokongku menghadap ke Hendra. Aku masih mengenakan baju koko, tapi dengan tangan gemetar, sarungku kutarik dan ku biarkan melorot ke lantai. Kulit pantatku yang putih dan sedikit berisi kini terpampang jelas, siap menerima.

Hendra, yang kini berdiri di depanku, terengah melihat pemandangan itu. Ia masih mengenakan kaos hitamnya, yang kontras dengan warna kulitnya yang bersih, dan celana bolanya sudah terlepas, hanya menyisakan celana dalam yang kini sudah ia tarik turun. Kontolnya, yang baru saja kuoral, tegak berdiri, memerah penuh janji.

Dengan mata lapar, Hendra mendekat. Ia tidak langsung memasukkan kontolnya. Sebagai gantinya, ia membungkuk, wajahnya sejajar dengan pantatku yang sedikit terangkat karena posisiku menyandar ke meja.

"anjingg warnanya pink," bisiknya serak memuji.

Hendra mulai mengoral lubang Ustadz Ardy. Lidahnya yang hangat dan nakal menyentuh area sensitifku, menjilat celah pantatku dengan hati-hati. Kehangatan yang mendadak itu membuatku terkejut, namun segera berubah menjadi kenikmatan yang memabukkan.

"A-ah stss akha... H-Hendra..." Aku menahan desah, pelan namun dalam, meremas ujung meja dengan jari-jariku. Rasanya seperti ribuan jarum listrik menyengat, terpusat pada satu titik.

Lidah Hendra semakin berani. Ia mulai menekan, memutar, dan menyentuh tepat di lubang analku yang sudah basah dan berdenyut karena antisipasi. Aku menutup mata, wajahku menyandar di meja yang dingin, tubuhku panas membara. Sensasi oralan Hendra jauh lebih intim dan intens daripada yang pernah kulakukan dengan Ustadz Firman.

"Stss... a-akh! Lebih... dalam, Hendra..." pintaku tanpa malu, seluruh tubuhku menegang.

Setelah beberapa saat mengoral hingga lubangku terasa basah dan siap, Hendra menarik kepalanya, menyeringai puas melihatku yang kini gemetar.

"Sekarang giliran ini, Ustadz," serunya.

Hendra melonggarkan lubang Ustadz Ardy dengan jarinya. Jari telunjuknya yang kuat, sedikit kasar, menekan perlahan. Aku meringis, antara sakit dan nikmat. Kemudian, ia menambah satu jari lagi, memutar perlahan, membuat lubangku membuka, menyiapkan jalan untuk sesuatu yang lebih besar.

"Ustadz sudah siap?" tanyanya, suaranya kini penuh kuasa.

Aku tidak bisa menjawab, hanya mampu mengangguk lemah, kepalaku menyandar di meja, napasku terengah-engah.

Hendra tidak menunggu lagi. Ia berdiri tegak, memosisikan kontolnya yang kokoh tepat di lubangku. Ia mencengkeram pinggulku, sedikit mengangkatku ke atas, lalu dengan satu dorongan yang tegas namun tidak terlalu cepat,kontolnya masuk kedalam lubang ku.

"Aaaarrgghhh stsss ohhh!" Desahanku lolos, kali ini lebih keras, bercampur dengan suara hentakan daging. Kontol Hendra tidak sebesar Ustadz Firman, tapi kekuatannya, dorongan mudanya, terasa lebih liar dan bersemangat.

"Enak, Ustadz? eh apa sekarang harus ku panggil lonte??," bisik Hendra nakal, lalu ia mulai menggerakkan pinggulnya, menumbukku dengan ritme yang semakin cepat dan dalam.

Aku hanya bisa menikmati, mendesah, dan merasakan setiap dorongan. Di warung yang gelap, di balik meja, aku kembali jatuh ke dalam dosa yang memabukkan ini. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku hanya ingin dientot terus.

"aaarggh stsss terusss hen" desah ku.

Plok Plok Plok

bunyi itu bergema di seluruh warung ini,untung saja saat ini sedang sepi. rasa taku, tapi keenakan juga menjadi sensasi yang menatang kontol ku terasa semakin nganceng.

"Lebih cepat, Hendra! Aku mau cepat!" pintaku, suaraku serak karena gairah yang memuncak. keringat kami berdua membasahi baju kita.

Hendra menyambut tantangan itu. Dorongan pinggulnya berubah menjadi tempo cepat dan brutal. Suara kulit kami yang beradu, desahan berat kami, dan decitan meja yang sedikit bergoyang menjadi musik terlarang di dalam warung yang sepi itu.

"Sssshh... Ustadz... sempit bangsat!" Hendra mendesah di telingaku, setiap kata yang ia ucapkan mengandung godaan yang membakar. Ia membenamkan kontolnya dalam-dalam, membuatku menjerit tertahan.

Aku mencengkeram erat meja itu, mataku terpejam. Rasa sakit bercampur kenikmatan kini tak terhindarkan lagi. Aku merasa seolah seluruh energi kehidupan mengalir ke satu titik itu. Setiap kali Hendra menarik diri dan mendorong kembali, aku merasa semakin mendekati puncak kenikmatan yang mematikan.

"Terus... Hendra! Terus! Jangan berhenti!"

Hendra kini tak lagi berkata-kata, hanya mendesis dan mendengus seperti binatang buas yang sedang memangsa. Wajahnya memerah, otot-otot di lehernya menegang, dan matanya penuh dengan nafsu murni. Ia menahan pinggulku, memastikan setiap dorongan mengenai titik terdalam.

Tiba-tiba, ia menarik napas tajam dan menggerakkan pinggulnya dengan tiga dorongan terakhir yang sangat dalam, kuat, dan mengguncang.

"Ustadz! Aku... Crooooottt!" Hendra menjerit pelan, suaranya serak tertahan di antara giginya.

CROTT CROOT CROOTTTT

"akhhh...."

sperma hangat mengisi seluruh lubang ku. 

Kontolnya berdenyut di dalam lubang Ustadz Ardy, memuntahkan semua cairan panasnya. Cairan kental yang hangat itu terasa meluap, mengisi dan membanjiri bagian dalam lubangku. Itu adalah sensasi yang paling memuaskan dan sekaligus paling membuatku merasa bersalah. Kehangatan yang mematikan, yang menandakan dosa telah disempurnakan.

Hendra terkulai lemas di punggungku, berat tubuhnya ia sandarkan padaku. Kontolnya masih tertanam dalam, berdenyut pelan. Napas kami terengah-engah, berburu udara.

Kami berdua terdiam untuk waktu yang lama, hanya suara napas berat dan detak jantung yang keras yang terdengar di ruangan itu. Aku merasa lemas, lututku gemetar, dan seluruh tubuhku basah oleh keringat dan dosa.

"Ya Allah... Ustadz... itu... itu luar biasa," bisik Hendra, suaranya masih bergetar.

Setelah beberapa saat, Hendra perlahan menarik kontolnya keluar. Rasa kosong dan dingin langsung menyeruak, membuatku bergidik. Ia berdiri tegak, memandang ke belakang warung, memastikan tidak ada seorang pun yang mendekat.

"tapi hendra aku belum keluar" seru ku.

mendengar itu hendra tersenyum seakan mendapatkan ide. 

"coli aja di sini" serunya. akhirnya aku duduk di atas meja berhadapan dengannya. mengocok kontol ku di depannya. ahh sensasi saat ditonton ternyata tidak terlalu buruk.

"gila gede banget kontol ustadz" serunya terkejut melihat kontol ku yang lebih besar dan panjang darinya. melihat  itu hendra mulai mengambil ahli dengan mengocok kontol ku dengan tangannya. rasa geli dan sensasi hangat membuat kontol ku berdegup ingin muncrat.

"aaarrgggh aku mau keluar" setalah mengatakan itu.

CROOT CROT CROOTTT

sperma ku muncrat dengan deras tepat mengenai wajahnya. membuatnya kaget karena terkena sperma.

"si anjinggg, bersihin sperma mu bangsat" serunya memerintah.

seperti budak sex, aku pun membersihkannya menggunakan mulut ku. hingga tidak terlihat lagi sperma yang berceceran. 

"Cepat, Ustadz. Bersihkan diri," perintahnya lembut, sambil menarik celana bola yang tadi ia tanggalkan.

Aku, dengan tubuh yang masih lemas, cepat-cepat meraih sarungku, menyembunyikan pantatku yang basah dan lengket. Aku tahu, rahasia kotor yang baru ini kini telah mengikatku dengan Hendra, lebih erat dari yang kubayangkan. dan tentunya aku menikmati sensasi itu.








Comments

  1. gila ngga pernah gagal semangat trus updatenya min

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...