Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.
Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya agak gondrong dan berantakan, dan dia punya sorot mata yang nakal namun menarik. Wajahnya berbeda dengan firman yang adem karena air wudhu dan bagas yang bermuka polos. Wajah ian memiliki aura liar dan bebas. Malam itu, Ian mengenakan kaus oblong lusuh dan celana jeans pendek yang sobek-sobek.
"Ustadz Ardy, sendirian saja malam-malam begini?" sapanya, suaranya sedikit serak, dengan senyum miring yang menggoda.
Jantung saya berdesir. Saya merasakan firasat aneh. "Iya, Ian. Mencari angin saja," jawabku, berusaha bersikap biasa.
Ian melangkah mendekat, matanya menatapku dari atas ke bawah, seolah menelanjangi saya dengan pandangannya. Saya bisa merasakan kontol saya yang sudah mulai tegang di balik celana. Gundukan itu pasti terlihat jelas di bawah rembulan yang samar.
"Mencari angin atau mencari yang lain, Ustadz?" tanyanya, suaranya semakin menggoda, dan kini ia berdiri tepat di hadapanku, terlalu dekat. Napasnya yang berbau rokok tercium di hidungku.
Saya menelan ludah. "Maksudmu, Ian?"
Ian tersenyum nakal. "Kali aja ustadz pengen cari kontol lagi?" Mata Ian berkilat,
"Astaghfirullah ian jaga omongan mu"
"Gak usah sok suci ustadz, kalau lubangnya udah pernah di bobol sama kontol. Sok sok istighfar lagi" Mendengar itu aku tertunduk malu.
"Ustadz mau ini?" Jelasnya menarik tangan ku ke gundukan kontolnya. Terasa gundukan itu telah sedikit nganceng.
"Tuh kan bener" Ucapnya lagi karena malu aku lama melepaskannya. Bahkan meramasnya.
"Jaga bicaramu, Ian," kataku, mencoba bersikap tegas, tapi suara saya sedikit bergetar.
Ian tertawa pelan, tawanya menjengkelkan namun memancing. "Jangan munafik, Ustadz. Waktu itu aku ngecrot di lubang ustadz." Ia menampar pantatku. .
Saya terdiam. Tidak bisa mengelak lagi. Kemaluanku memang sudah mengeras dan berdenyut di balik celana kain saja.
"Mau main denganku, Ustadz? Saya juga kangen" tanyanya, suaranya kini terdengar penuh tantangan dan gairah. Ian melangkah lebih dekat lagi, hingga tubuh kami bersentuhan. Saya bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang kurus namun solid.
Hasratku yang sudah tak terkontrol langsung membakar diriku. Dalam hati, saya tahu saya tidak akan bisa menolak. Malam ini, saya ingin dikuasai.
"Di mana?" bisikku, menyerah pada godaan.
Ian tersenyum lebar, senyum kemenangan. "Ikut aku, Ustadz. Aku tahu tempat yang pas."
Dia meraih tanganku, jemarinya kasar namun mantap, dan menarikku masuk ke dalam kegelapan yang lebih pekat. Kami menyusuri jalan setapak yang jarang dilewati, menuju sebuah bangunan tua yang tampak tak berpenghuni. Itu adalah rumah kosong yang terbuat dari kayu, dengan atap yang sudah mulai bolong-bolong, menyisakan lubang-lubang hitam yang menganga. Rumput bahkan sampai tumbuh di dalam rumah. Rumah ini telah di tinggalkan saat setengan bangun maka dari itu jendela dan pintu bolong membuat siapapun bisa masuk. Malam ini, rumah itu terlihat seperti sarang setan, tempat yang sempurna untuk melampiaskan dosa.
Kami masuk ke dalam rumah kosong itu. Bau apek, debu, dan kayu lapuk langsung menusuk hidung. Tidak ada cahaya sama sekali di dalam, gelap gulita. Hanya rembulan yang samar-samar menyinari dari lubang-lubang di atap, menciptakan siluet-siluet bayangan di lantai yang kotor.
Ian melepaskan tanganku, lalu berbalik menghadapku. Aku bisa merasakan napasnya yang memburu di kegelapan.
"Di sini, Ustadz. Tidak ada yang akan melihat," bisiknya, suaranya penuh nafsu.
Saya tidak menjawab. Saya hanya berdiri diam, menunggu, membiarkan hasrat saya mengambil alih. Saya bisa merasakan kontol saya yang sudah begitu tegang hingga rasanya ingin meledak.
Tiba-tiba, tangan Ian merayap ke arahku dalam gelap. Jemarinya yang kasar menyentuh celana ku, lalu dengan gerakan cepat, ia melorotkan celana ku hingga jatuh ke lantai. Kontol saya langsung melonjak keluar, kokoh, panas, dan basah oleh precum. Udara dingin malam menyentuh kulit kontol saya, menciptakan sensasi yang menyenangkan.
Ian tertawa kecil di kegelapan. "Wow, Ustadz. Benar-benar besar." Suaranya terdengar kagum.
Saya merasakan tangannya meraih kontol saya. Jemarinya yang kasar tapi terampil mulai mengocoknya naik turun. Sentuhannya kuat dan langsung, tidak seperti sentuhan ragu Ustadz Firman atau lembutnya Bagas. Ian mengocok dengan penuh keyakinan, seolah ini adalah hal yang biasa dia lakukan.
"Ahhh... Ian..." desahku, kepalaku mendongak ke atas.
Ian terus mengocok kontol saya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain melorotkan celana jeans pendeknya. Saya mendengar suara kain bergesekan, lalu desah pelan darinya. Saya tahu, kontol nya juga sudah keluar dan tegang.
"Ustadz... ayo kita main, Ustadz..." bisiknya, suaranya bergetar karena gairah.
Ian menarik tangannya dari kontol saya. Saya sedikit kecewa, tapi kemudian ia mendorong saya dengan lembut hingga saya bersandar di dinding yang dingin dan kasar.
"Aku duluan, Ustadz," bisiknya.
Saya tidak menolak. Saya bisa merasakan tubuh kurus Ian bergesekan dengan tubuhku. Dia mengangkat kaki kananku, meletakkannya di bahunya. Posisi ini membuat lubang pantatku terpampang jelas di hadapannya. Saya bisa merasakan kontolnya yang hangat dan keras menyentuh paha bagian dalamku.
Ian meludah sedikit ke ujung kontol-nya, lalu perlahan mulai mendorongnya masuk ke lubang pantatku.
"Ahhh! Ian... pelan-pelan..." desahku, merasakan sensasi perih yang bercampur kenikmatan luar biasa saat kontol-nya menusuk masuk ke dalam lubang saya. Rasanya penuh, sesak, namun sangat memuaskan. Setiap inci kontol-nya yang masuk terasa membakar dan meregangkan, menciptakan tekanan yang memabukkan.
Ian menghela napas panjang saat kontol-nya masuk sepenuhnya. "Ahhh... Ustadz... ketat sekali... nikmatnya..." desahnya, suaranya serak.
Dia mulai menggerakkan pinggulnya, menggenjotku dengan tempo yang lambat namun pasti, lalu semakin cepat.
Plok! Plok! Plok! Suara kulit kami yang beradu dan desahan kami yang saling bersahutan memenuhi rumah kosong itu, menciptakan irama seks yang primal. Setiap dorongan Ian terasa dalam dan penuh, mengenai titik-titik sensitif di dalam lubang pantatku, membuatku melenguh dan melengkung tak terkontrol.
"Akhhh! Ian... enakkk... terus... jangan berhenti..." desahku tak terkontrol, kepalaku mendongak ke atas, mataku terpejam rapat. Tanganku mencengkeram erat tempot yang keras dan menunging pantatku.
Ian semakin mempercepat genjotannya, dorongannya semakin kuat dan agresif. Dia memegang pinggangku erat, mendorongku ke dinding setiap kali dia menusuk lebih dalam, membuat tubuh kami beradu dengan suara berdebam yang memuaskan. Keringat membasahi tubuh kami berdua.
"S-t-s-s... akhhh! Ustadz... kamu... kamu membuatku gila..." desahnya, suaranya serak karena gairah, nyaris tak berbentuk kata.
Kita berganti gaya, kini ian menyuruh ku untuk tidur di lantai beralaskan kaosnya. Lalu ku buka dan tahan kaki ku.
Aku bisa merasakan kontol saya yang sudah tegang berdenyut-denyut. Kenikmatan ini terlalu dahsyat, terlalu memabukkan. Aku menunduk, mencium kening Ian, lalu turun ke bibirnya. Kami berciuman lagi di sela-sela genjotan, lidah kami saling beradu, bertarung dalam ciuman yang panas dan penuh nafsu.
"Aku... aku tidak tahan lagi, Ian... aku mau keluar..." desah Ian, suaranya tercekat oleh kenikmatan.
"Ayo! Keluar saja, Ian! Jangan ditahan!" teriakku, tubuhku mengejang hebat.
Dan bersamaan dengan itu...
CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!
CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!
Sperma Ian muncrat deras ke dalam lubang pantatku, memenuhi setiap rongga dengan kehangatan yang luar biasa. Saya merasakan tubuh saya mengejang hebat, dan kontol saya sendiri juga muncrat deras, membasahi perut dan paha Ian bahkan kaos yang masih ku kenakan. Kami berdua jatuh terduduk, terengah-engah, tubuh kami lemas dan berkeringat. Napas kami memburu,
Kami berdua diam sejenak, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja terjadi. Aroma sperma dan keringat bercampur dengan bau apek di udara, memenuhi rumah kosong itu.
"Gila, Ustadz," kata Ian, napasnya masih terengah-engah. "Enak banget."
Saya mengangguk, masih lemas. "Kamu juga, Ian."
Kami saling pandang, lalu tersenyum. Sebuah senyum persetujuan dan kepuasan yang mendalam.
Tapi entah kenapa kontol ku masih berdiri tegak. Ah aku sangat bernafsu. Aku ingin lebih.
"Sekarang giliranku, Ian," Pintaku, suaraku memohon padanya.
Ian tersenyum nakal. "Anjing Si bangsat masih berdiri" Ucapnya mengganti posisi kini aku di atasnya dan dia bersandar di kaos sebagai alasnya.
Saya merangkak mendekat kepadanya. Ian berbaring di lantai yang kotor, melonggarkan kakinya. Kontol-nya yang baru saja crott terlihat sedikit mengecil, tapi masih berdiri tegak, siap untuk ronde kedua.
Saya meraih kontol saya yang masih ngaceng dan basah oleh sisa precum dan sperma Ian. Saya meludah sedikit ke ujungnya menggunakan sperma ku sebagai pelicin, lalu mengarahkan ke lubang pantat Ian.
Ian mendesah pelan saat saya mulai mendorong kontol saya masuk.
"Ahhh... Bangsat... pelan-pelan..." desahnya.
Kontol saya yang lebih besar terasa penuh dan sesak saat melesak masuk ke dalam lubang Ian. Dia sedikit meringis, tapi kemudian mendongak dan mendesis keenakan.
"Ahhh... Ustadz... besar sekali babilah stttt ohhhh..." desahnya meringis kesakitan.
Saya mulai menggenjotnya. Plok! Plok! Plok! Suara desahan kami berdua memenuhi ruangan. Saya menggenjot dengan kuat dan penuh nafsu, merasakan setiap dorongan kontol saya yang memenuhi dan meregangkan lubang pantat Ian.
Ian mendesah keras, tangannya mencengkeram erat bahuku. "Ahhh! Ustadz! Pelan-pelan babiii saaa sakiitt!" Racaunya. Entah kenapa itu membuat ku makin terangsang.
Saya terus menggenjotnya, menikmati setiap sensasi gesekan tubuh kami. Kontol saya terasa begitu nikmat di dalam lubang Ian, memberikan tekanan yang memabukkan. Aroma keringat dan sperma yang baru saja keluar semakin memicu gairah saya.
"Aku mau keluar, Ian! Aku tidak tahan!" teriakku, suaraku serak.
"Ayo, Ustadz! Crott cepatt!" teriak Ian, suaranya juga serak.
Saya mempercepat genjotan, dorongan saya semakin brutal dan liar. Ian mengejang di bawah saya, tubuhnya bergetar hebat.
CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!
CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!
Sperma saya muncrat deras ke dalam lubang pantat Ian, memenuhi dirinya dengan kehangatan yang mendalam. Ian menjerit keenakan, tubuhnya melengkung dan mengejang. Saya merasakan kontol saya berdenyut-denyut, melepaskan semua beban dan hasrat yang tertahan.
Kami berdua terengah-engah, tubuh kami lemas, berbaring di lantai yang kotor, bersandar satu sama lain. Suara napas kami yang memburu memenuhi keheningan.
"Gila, Ustadz," kata Ian, suaranya lemah. "Itu... itu gila."
"Hahah, ," Tawaku, masih terengah.
Kami berdua diam sejenak, menikmati kelelahan yang memuaskan. Meskipun ini adalah dosa, kenikmatan yang kami rasakan sungguh tak terlukiskan. Ini adalah ketagihan yang nyata, sebuah keterikatan pada hasrat yang terlarang.
Bersambung...

Comments
Post a Comment