Skip to main content

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta.

Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi.

"Assalamu'alaikum, Yan!" seruku sambil melangkah masuk ke halaman rumah Rian yang teduh.

"Wa'alaikumussalam, Fik! Sini masuk!" sambut Rian dari dalam rumah, suaranya ceria. "Udah lama nggak main ke sini, tumben?"

Aku terkekeh. "Iya nih, kemarin-kemarin ada proyek bangun jembatan di desa sebelah. Oh ya, gimana kabar?"

Kami duduk bersantai di ruang tamu. Rian menyodorkan segelas teh hangat dan piring berisi pisang goreng. "Baik, Fik. Kamu sendiri gimana? Udah ada calon istri nih kayaknya, makin ganteng aja." Rian menyenggol lenganku, menggodaku.

Aku hanya tersenyum tipis. "Apaan sih, sekarang mah gak mikirin nikah. Kamu tahu sendiri kalau aku habis cerai tahun kemarin. Kalau kamu sendiri gimana kabar istri?"

"Ah, ya gitu, sering kali ngeluh sana sini," jawab Rian sambil menyeruput tehnya.

"Ya pertahaninlah, jangan sampai cerai kayak aku," seruku.

"Ya iyalah, anjir, gini-gini aku masih sayang sama istri. Kan gak mungkin aku ninggalin anak bini aku," jelasnya. Aku hanya tertawa mendengarnya berbicara.

"Eh, Fik, ada cerita menarik nih."

"Cerita apa?" aku penasaran.

Rian mendekat, merendahkan suaranya seolah berbisik, padahal tidak ada siapa-siapa di rumah itu selain kami berdua. "Kemarin, si Budi cerita. Katanya ada cewek yang bisa dipakai, beh badannya bahenol."

Aku mengerutkan kening. "Yang benar?"

"Iyalah, cuma ya itu, bayarnya mahal, jir." Rian berdeham, wajahnya sedikit memerah, namun matanya memancarkan rasa ingin tahu yang besar.

"Hah, enggaklah, makasih kalau bayar, lagi gak ada uang aku," seruku.

"Berarti kamu cuma coli doang?"

"Yah, begitulah, sewa perek mah buang-buang uang."

"Hahaha, wkwk, ya udah sini ku kirim bokep, bokepku," serunya.

"Bokep? Punya kamu?"

"Iyalah, mau enggak?"

"Ya udah, boleh."

"Nih, pilih sendiri," ucapnya menyodorkan HP ke arahku. Aku mengambilnya dan memeriksa. Sumpah, bokepnya banyak banget, mulai dari yang lokal, Asia, bule, sampai Latin pun ada.

"Kata Budi, isapannya wah, enak banget, bisa bikin crot cepat."

"Eh, diisep?"

"Lah, emang gak pernah diisep kontolmu, Fik?"

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Ya mana aku tahu, Yan. Belum pernah aku."

Rian tertawa kecil. "Masa sih? Aku kira kamu udah pernah diisep."

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan terang-terangan Rian. Selama ini, aku memang sering ngentot sama mantan istriku, itu pun gak sampai diisep kontolku, dan sejak cerai yang bisa kulakukan hanya coli.

"Ya... kalau ngewe mah pernah tapi gak pernah sampai isep. Jijik aku," jelasku.

Mata Rian berbinar. "Wkwk, parah!?"

Aku menghela napas. "Ya... aku mah yang penting bisa keluar."

"Ya udah, mau coba gak biar makin enak banget?" tanya Rian.

"Gimana caranya biar enak banget, Yan?" aku semakin antusias. "Aku kadang cuma gitu-gitu doang, rasanya biasa aja."

Rian berpikir sejenak. "Ya, kamu harus ngerasain sesuatu yang beda. Gimana kalau kita nonton aja dulu tuh bokep."

Aku mendelik. "Hah? Sekarang banget nih!"

"Ya emang kenapa nonton doang," ucap Rian.

Aku menatap Rian, keraguan bercampur rasa penasaran bergelayut di benakku. Desa Mandiri memang tenang, tapi tak pernah kubayangkan ketenangan ini akan pecah dengan obrolan seperti ini. Rumah Rian yang sederhana, dengan dinding kayu dan lantai papan yang sedikit berderit, terasa mendadak asing. Bau pisang goreng yang tadi menggoda, kini samar tercium, digantikan oleh aroma samar kebingungan yang memenuhi pikiranku.

Rian, melihat ekspresiku, hanya tersenyum tipis, seolah tahu apa yang bergejolak di dalam diriku. "Udah, santai aja kali, Fik. Aku kan cuma nawarin. Namanya juga temen."

Aku mengangguk pelan, memutar-mutar HP di tanganku. Koleksi bokep Rian memang gila-gilaan. Dari thumbnailnya saja sudah terlihat jelas genre-nya macam-macam. Ada yang Asia dengan seragam sekolah Jepang, ada yang bule dengan kulit eksotis di pantai, sampai yang lokal dengan nuansa rumah-rumah desa. Pikiranku berkelana. Selama ini, coli jadi pelarianku. Bayangan mantan istriku yang dulu sering jadi objek fantasi, kini mulai memudar, digantikan oleh rasa penasaran yang menggebu-gebu terhadap hal yang baru ini.

"Mana yang bagus, Yan?" tanyaku akhirnya, suaraku sedikit tercekat.

Rian langsung antusias. "Nah, ini baru Fikri yang kukenal! Coba deh, ini nih, yang ini. Jepang, Fik. Kata Budi, ceweknya jago banget. Bisa bikin kontol tegang sampai uratnya nonjol semua." Dia menunjuk salah satu thumbnail dengan semangat.

Aku menekan video itu. Layar HP langsung menampilkan adegan pembuka. Suara desahan lembut mulai terdengar, membuat tengkukku merinding. Aku melirik Rian. Dia sudah terlihat asyik, matanya terpaku pada layar, seolah sedang menonton pertandingan bola paling seru. Aku mencoba fokus, tapi pikiranku masih berkecamuk. **Ini hal baru, sesuatu yang belum pernah kubayangkan akan kulakukan dengan Rian, sahabatku.**

Video terus berjalan. Ada adegan di mana si cewek mulai **mengisap kontol** si pria. Aku menelan ludah. Gerakannya, suara kecapan, ekspresi si pria yang terlihat begitu keenakan… entah kenapa, ada sesuatu yang bergejolak di perutku. Bukan jijik seperti yang kukira, tapi lebih ke **rasa ingin tahu yang campur aduk dengan sedikit geli.**

"Gimana, Fik? Keren, kan?" Rian menyenggol lenganku lagi.

Aku hanya bergumam, "Hmmm." Aku tidak bisa berbohong, ada sensasi aneh yang kurasakan. Kontolku mulai menegang, bukan karena nafsu semata, tapi lebih karena imajinasi liar yang mulai terbentuk di benakku. Bagaimana rasanya jika kontolku yang diisap seperti itu? Aku langsung menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. "Gak lah, Yan. Aku masih gak kebayang."

Rian tertawa lagi. "Makanya, harus dicoba! Aku aja pas pertama kali coba, langsung ketagihan, Fik."

"Kamu... coba sama siapa?" tanyaku spontan, jantungku berdegup lebih kencang.

Rian mengangkat bahu. "Rahasia. Tapi intinya, rasanya beda banget sama coli. Kayak ada sensasi listrik ngalir dari kontol sampai ke ubun-ubun."

Sensasi listrik? Penjelasan Rian itu membuatku semakin penasaran. Selama ini, seks bagiku hanyalah soal penetrasi dan pelepasan. Coli pun sama, hanya sekadar memenuhi kebutuhan biologis. Tapi Rian seolah membuka sebuah pintu baru, sebuah dunia yang belum pernah kuduga keberadaannya.

"Jadi, gimana, Fik? Mau coba rasain sensasi listrik itu?" Rian menatapku dengan mata berbinar. Ada nada tantangan dalam suaranya.

Aku terdiam. Rumah kayu Rian terasa semakin sunyi, hanya suara video bokep yang masih mengalun samar dari HP di tanganku. Angin pegunungan yang sejuk dari luar seolah tak mampu menyejukkan pikiranku yang mulai memanas. Aku memandang Rian. Wajahnya yang sedikit nakal, senyumnya yang penuh arti. Dia bukan cuma sahabat, dia juga orang yang berani mencoba hal-hal baru, sesuatu yang seringkali membuatku kagum sekaligus khawatir.

"Maksudmu... gimana caranya aku bisa ngerasain itu, Yan?" tanyaku lagi, suaraku nyaris berbisik. Aku merasa seperti seorang anak kecil yang baru mengenal dunia.

Rian menghela napas, lalu tersenyum lebar. "Gini, Fik. Kamu kan udah lama gak 'jajan', cuma coli doang. Aku ngerti rasanya. Nah, gimana kalau kita coba sesuatu yang beda, tapi aman, cuma berdua aja?"

Aku mengerutkan kening. "Aman? Maksudnya?"

Rian mematikan video di HP, lalu meletakkannya di meja. Dia beringsut lebih dekat denganku, tatapannya intens. "Aku bisa bantu kamu rasain sensasi itu, Fik. Sensasi yang belum pernah kamu rasain sebelumnya. Aku bisa bantu kamu ngerti kenapa diisep itu rasanya beda."

Duniaku serasa berhenti berputar. Otakku memproses kalimat Rian. Aku bisa bantu kamu rasain sensasi itu. Sensasi yang belum pernah kamu rasain sebelumnya. Aku bisa bantu kamu ngerti kenapa diisep itu rasanya beda. Aku menatap Rian, mencari petunjuk apakah dia serius atau hanya bercanda. Tapi raut wajahnya serius, matanya memancarkan ketulusan yang aneh, seolah dia ingin sekali aku merasakan pengalaman itu.

Jantungku berdebar tak karuan. Ini gila. Ini tidak mungkin. Rian itu sahabatku. Laki-laki. Dan dia menawarkan untuk... untuk mengisap kontolku? Aku ingin menolaknya mentah-mentah, tapi ada bagian dari diriku yang penasaran, yang ingin tahu. Bagian yang sudah lama haus akan sensasi baru selain coli yang membosankan.

"Maksudmu... kamu yang...?" Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku.

Rian mengangguk pelan. "Iya, Fik. Kenapa enggak? Kita kan temen. Aku pengen kamu ngerasain sesuatu yang bener-bener beda. Siapa tahu, setelah ini kamu jadi tahu apa yang kamu mau."

Aku terdiam seribu bahasa. Udara di ruangan itu terasa mendadak panas. Pikiranku kalut. Ini antara tabu dan rasa penasaran yang luar biasa. Aku tahu ini salah, tapi godaan untuk mencoba sesuatu yang sama sekali baru, sesuatu yang dijanjikan akan memberikan sensasi "listrik", begitu kuat. Setelah sekian lama hidup dalam rutinitas dan kesendirian, tawaran Rian ini bagaikan pintu menuju dimensi lain.

"Tapi... tapi kan... kita cowok, Yan," ujarku akhirnya, suaraku nyaris tak terdengar.

Rian tersenyum lembut. "Emang kenapa kalau cowok, Fik? Perasaan kan bukan cuma milik cewek. Sensasi juga bukan cuma buat cowok sama cewek. Ini cuma eksplorasi, Fik. Anggap aja kita lagi coba hal baru, kayak waktu kita pertama kali mancing di sungai yang arusnya deras itu. Sama-sama bikin deg-degan, kan?"

Perumpamaan Rian entah kenapa sedikit melonggarkan ketegangan di dadaku. Mancing di sungai deras memang bikin deg-degan, tapi akhirnya seru juga. Tapi ini jauh berbeda. Ini... ini melibatkan kontolku.

"Gimana, Fik? Percaya sama aku?" Rian mengulurkan tangannya, seolah ingin meyakinkan.

Aku menatap tangannya, lalu kembali ke matanya. Ada kepercayaan di sana. Kepercayaan yang selama ini selalu ada di antara kami sebagai sahabat. Aku mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

"Gimana caranya?" tanyaku, akhirnya. Aku tidak yakin apakah itu pertanyaan persetujuan atau hanya ingin tahu lebih jauh, tapi Rian langsung mengerti.

Wajah Rian berbinar. "Gampang. Kita bisa coba posisi 69. Aku di atas, kamu di bawah. Jadi, kamu bisa ngisep kontolku, dan aku bisa ngisep kontolmu."

Mataku membulat. Posisi 69? Aku pernah melihatnya di film-film porno, tapi tak pernah membayangkan akan melakukannya sendiri, apalagi dengan Rian. **Saling isap? Kontol ketemu kontol?** Pikiranku langsung terbayang adegan-adegan dari video yang baru saja kulihat.

"Aku... aku gak yakin bisa ngisep kontol orang, Yan," kataku jujur. Perutku mual membayangkannya.

Rian terkekeh. "Santai aja, Fik. Gak usah dipikirin. Anggap aja kayak ngisep permen. Lagian, ini kan cuma buat ngerasain sensasi. Kalo gak nyaman, kita bisa berhenti kapan aja."

Dia mencoba meyakinkanku, dan aku merasakan sedikit ketenangan dari ucapannya. "Oke..." gumamku, setengah ragu. "Tapi... di mana?"

Rian tersenyum. "Di sini aja. Di ruang tamu ini. Tenang, sepi kok. Istriku lagi ke rumah ibunya, baru pulang besok pagi."

Ruang tamu Rian, dengan sofa tua yang empuk dan meja kayu di depannya, terasa mendadak berubah fungsi. Rasanya aneh membayangkan hal itu akan terjadi di tempat yang biasanya kami gunakan untuk ngobrol santai sambil minum teh.

"Kamu siap?" tanya Rian, sorot matanya serius.

Aku menatapnya. Napasku tercekat. Aku tahu ini adalah titik balik. Apakah aku akan terus dalam rutinitas coli yang membosankan, atau berani melangkah keluar dari zona nyamanku? Rasa penasaran mengalahkan rasa ragu dan jijik yang sebelumnya ada.

"Aku... aku siap," kataku, suaraku serak.

Rian langsung berdiri, ekspresinya berubah menjadi lebih berani. "Oke! Pertama, kita harus nyaman dulu. Gimana kalau kita pindah ke karpet? Lebih empuk."

Aku mengangguk, lalu berdiri juga. Kakiku terasa agak lemas. Rian memimpin ke bagian tengah ruang tamu, di mana ada karpet tebal dengan motif abstrak. Dia berjongkok, lalu menepuk karpet. "Sini, Fik."

Aku mendekat, jantungku berdegup tak karuan. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun tubuhku seolah bergerak sendiri, mengikuti naluri yang selama ini terpendam. Rian menatapku dengan senyum tipis. Dia membuka kancing celananya, lalu menurunkan resletingnya. Aku melihat batangan kontolnya yang mulai mengeras, menyembul dari balik celana dalam. Ukurannya lumayan besar, sebanding denganku, mungkin sedikit lebih panjang.

Aku menelan ludah. Ini nyata. Ini bukan lagi video, bukan lagi fantasi. Ini Rian, sahabatku, dengan kontolnya yang kini terpampang di depanku. Aku merasakan gelombang panas menjalar ke seluruh tubuhku.

Rian menarik celana dalamnya ke bawah, membebaskan kontolnya sepenuhnya. Lalu, dia menatapku. "Kamu juga, Fik."

Tanganku gemetar saat membuka kancing celanaku sendiri. Aku menarik resleting, lalu menurunkan celana dan celana dalamku. Kontolku yang sudah lumayan tegang langsung melompat keluar. Aku bisa merasakan denyutannya. Udara sejuk pegunungan seolah tak mampu menenangkan gejolak di tubuhku.

Kami berdua kini telanjang dari pinggang ke bawah, saling berhadapan dengan kontol kami yang menegang. Rian berjongkok, lalu perlahan merebahkan tubuhnya di atas karpet. "Kamu di bawah sini, Fik."

Aku mengerti maksudnya. Ini posisi 69. Aku membaringkan tubuhku, menempatkan kepalaku di antara kedua kaki Rian, sementara kakiku berada di atas kepalanya. Posisi ini terasa aneh, canggung, tapi juga mendebarkan. Aku bisa melihat pantat Rian yang sedikit terangkat, dan kontolnya yang kini berada tepat di depan wajahku. Ujung kepalanya sedikit mengkilap, dengan urat-urat yang mulai terlihat jelas.

Rian juga sudah memposisikan dirinya. Kepalanya berada di antara kedua kakiku, dan aku bisa merasakan napas hangatnya di pangkal kontolku. Degup jantungku semakin kencang.

"Oke, Fik," bisik Rian, suaranya sedikit serak. "Santai aja. Gak usah terburu-buru. Lakukan apa yang kamu rasa benar."

Aku menatap kontol Rian. Aromanya... sedikit berbeda dari yang kubayangkan. Bukan bau yang menjijikkan, lebih seperti aroma tubuh yang khas, bercampur dengan sedikit kelembaban. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Aku tahu Rian sedang menungguku.

Perlahan, aku mendekatkan wajahku ke kontol Rian. Ujungnya yang memerah, terasa hangat di bibirku. Aku menjulurkan lidahku sedikit, menyentuhnya. Rasanya aneh, lembab, dan kenyal. Sebuah getaran kecil menjalari tubuhku. Aku melirik Rian. Dia memejamkan mata, kepalanya sedikit mendongak, seolah menikmati setiap sentuhanku.

Aku mulai menjilat ujung kontolnya, perlahan. Rasanya seperti ada gelombang listrik yang mengalir dari lidahku, menembus batangan Rian, lalu entah bagaimana, kembali ke tubuhku sendiri. Kontolku di bawah sana terasa semakin mengeras, seolah merespons apa yang kulakukan pada Rian.

Aku mendengar Rian mendesah pelan. Itu memberiku keberanian. Aku membuka mulutku sedikit lebih lebar, lalu mulai memasukkan kepala kontol Rian ke dalam mulutku. Hangat dan kenyal. Aku menghisapnya, perlahan, merasakan sensasi kontolnya yang bergesekan dengan lidah dan langit-langit mulutku. Rian mendesah lagi, kali ini lebih keras, disusul dengan erangan kecil.

"Ahhh... Fik... enak..." bisiknya di antara desahan.

Mendengar suaranya, aku semakin berani. Aku mulai menggerakkan kepalaku naik turun, menghisap batangan Rian lebih dalam lagi. Kontolnya terasa semakin besar di mulutku. Aku menggunakan tanganku untuk memegang pangkal kontolnya, membimbing gerakanku. Sensasinya luar biasa. Aku tidak menyangka akan sebegini nikmatnya. Jijik? Hilang entah ke mana, digantikan oleh gelombang kenikmatan yang belum pernah kurasakan.

Di saat yang sama, aku merasakan sentuhan bibir Rian di pangkal kontolku. Lidahnya mulai menjilat-jilat daerah sekitar buah zakarku, lalu perlahan naik ke batangan kontolku. Sensasi hangat dan lembab itu membuatku merinding. Aku bisa merasakan lidahnya yang lembut bermain di sekitar lubang kencingku, lalu menghisapnya perlahan.

"Aaaahhh..." desahku, tanpa sadar. Sensasi listrik yang Rian bicarakan itu mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Dari ujung kontolku, sensasi itu merambat naik, melewati perut, dada, hingga ke ubun-ubun. Kepalaku terasa ringan, dunia seolah hanya berisi Rian dan kontol kami yang saling beradu.

Aku mempercepat gerakanku, menghisap kontol Rian lebih dalam lagi. Rian juga semakin intens. Dia menghisap kontolku dengan ritme yang cepat, sesekali lidahnya bermain di kepala kontolku, memberikan sensasi yang membuatku ingin menjerit. Suara kecapan dan desahan memenuhi ruangan, berbaur dengan napas kami yang memburu.

Aku bisa merasakan kontol Rian semakin mengeras di mulutku, berdenyut-denyut, seolah siap meledak. Di saat yang sama, kontolku sendiri juga terasa penuh, tegang, dan siap untuk melepaskan. Aku memejamkan mata, menikmati setiap detik sensasi ini. Ini jauh melampaui imajinasiku. Ini adalah puncak kenikmatan yang belum pernah kuduga bisa kurasakan.

Rian mendesah lebih keras lagi, lalu kepalanya mulai bergerak lebih cepat. Aku tahu dia sudah di ambang batas. Aku juga. Aku merasakan gelombang panas mulai menjalar dari pangkal kontolku, semakin kuat, semakin tak tertahankan.

"Fik... aku... ahhh... aku mau keluar..." desah Rian, suaranya tertahan.

Aku juga merasakan hal yang sama. Aku mempercepat hisapanku pada kontol Rian, sementara Rian juga menghisap kontolku dengan kekuatan penuh. Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat dan kental menyembur ke dalam mulutku. Rasanya aneh, gurih, dan sedikit asin. Aku menelan beberapa teguk, lalu menahannya di mulutku.

Bersamaan dengan itu, aku merasakan kontraksi hebat di kontolku. Gelombang kenikmatan yang luar biasa membanjiri seluruh tubuhku, membuatku melengkung. Aku merasakan cairan hangat dan kental menyembur keluar dari kontolku, mengenai wajah dan rambut Rian.

"Ahhh... Rian... aahhh... aku keluar!" desahku, terengah-engah.

Kami berdua terbaring lemas, masih dalam posisi 69, napas terengah-engah. Kontol kami masih berada di mulut masing-masing. Aku merasakan rasa lelah yang nikmat. Sensasi yang dijanjikan Rian itu benar-benar ada. Sensasi listrik, sensasi yang memabukkan, yang membuatku lupa akan segalanya.

Perlahan, Rian menarik kontolnya dari mulutku. Aku juga melepaskan kontolnya dari hisapan. Kami berdua mendongak, saling menatap. Wajah Rian basah oleh spermaku, dan dia tersenyum lebar. Matanya berbinar, penuh kepuasan.

"Gimana, Fik? Sensasi listriknya?" tanyanya, suaranya serak.

Aku hanya bisa mengangguk, masih terengah-engah. "Gila, Yan... gila..."

Rian terkekeh. Dia mengulurkan tangannya, mengusap sisa spermaku di wajahnya. "Aku juga, Fik. Asli, ini salah satu yang paling enak yang pernah kurasain."

Aku tersenyum tipis, merasakan kelegaan yang luar biasa. Perasaan canggung yang tadi ada, kini hilang, digantikan oleh keintiman yang aneh namun menyenangkan. Kami berdua, dua sahabat, baru saja melewati batas yang tak pernah terbayangkan. Dan entah bagaimana, aku merasa ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru. Sebuah eksplorasi yang lebih dalam, bukan hanya tentang seks, tapi tentang diriku sendiri, dan tentang persahabatanku dengan Rian.

"Mau coba lagi kapan-kapan?" tanya Rian, sorot matanya penuh harap.

Aku menatapnya, lalu tersenyum. "Mungkin... lain kali." Aku tahu jawabanku ambigu, tapi di dalam hati, aku tahu aku ingin merasakannya lagi. Sensasi listrik itu, sensasi kebebasan itu, terlalu nikmat untuk dilewatkan. Desa Mandiri yang tenang, kini punya cerita baru yang hanya kami berdua yang tahu.

Bersambung...
Jangan lupa VOTE yah
FIY Nama tempat, nama karakter hanya imajinasi author. 

Comments

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...