Skip to main content

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 2. Ketagihan

 

Desa Mandiri kembali diselimuti ketenangan, tapi bagiku, ketenangan itu tak lagi sama. Semenjak sore itu di rumah Rian, pikiranku terusik. Bayangan adegan *69* kami, sensasi isapan, dan rasa aneh sperma Rian yang baru pertama kali kucicipi, semua itu melekat kuat. Aroma kontolnya—bau khas yang kini tak lagi asing—terus tercium di benakku, memicu gelombang panas di perut. Aku ketagihan. Sungguh, aku ketagihan.

Malam-malam setelahnya terasa panjang. Coli yang dulu jadi pelarian, kini terasa hambar. Fantasiku tak lagi sebatas bayangan mantan istri; yang ada hanya Rian, desahannya, dan bagaimana kontol kami saling bergesekan, melontarkan gairah yang tak terlukiskan. Aku tahu ini salah. Aku tahu ini tabu. Tapi, naluri dalam diriku berteriak, menginginkan sensasi itu lagi.

Akhirnya, aku tak tahan. Pagi ini, setelah sarapan seadanya, tanganku meraih ponsel. Jantungku berdebar saat mencari nama Rian di daftar kontak.

"Assalamu'alaikum, Yan," sapaku setelah nada sambung berdering beberapa kali. Suaraku sedikit gemetar.

"Wa'alaikumussalam, Fik! Tumben nelpon pagi-pagi gini. Ada apa? Udah kangen ya sama kontolku?" Rian langsung menyambut dengan candaan, tawa renyah terdengar di seberang sana. Aku merasa pipiku memerah. Dia tahu. Dia tahu apa yang kupikirkan.

"Hahaha, apaan sih," aku mencoba terkekeh, padahal gugup setengah mati. "Enggak, bukan itu. Anu... kamu sibuk gak sore ini?"

"Sore ini? Hmm, palingan cuma ngurus kebun belakang bentar. Kenapa emang, Fik? Mau main lagi?" Ada nada usil dalam suaranya.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Iya, Yan. Mau... mau main ke rumahku aja. Aku lagi gak enak badan, butuh temen ngobrol. Kamu bisa, kan?" Aku berbohong, tentu saja. Aku tidak sakit. Aku hanya ingin dia datang.

Hening sejenak. Aku bisa membayangkan Rian tersenyum di seberang sana, tahu persis apa maksud di balik ajakanku. "Oh, sakit? Kasihan amat. Ya udah, nanti sore aku ke sana ya. Jam empatan, gimana?"

"Oke, Yan! Jam empat. Aku tunggu ya." Suaraku sedikit terlalu bersemangat. Aku buru-buru menutup telepon, napas lega keluar dari paru-paru. Dia datang.

---

Waktu berjalan terasa lambat. Aku membereskan rumah, memastikan tidak ada hal mencurigakan. Aku bahkan menyemprotkan pewangi ruangan, berusaha menghilangkan bau 'diri' yang mungkin masih menempel. Meskipun aku tahu, Rian tak peduli. Aku mempersiapkan teh dan beberapa cemilan, mencoba bersikap senormal mungkin.

Pukul setengah empat sore, aku sudah gelisah. Berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Jendela rumahku yang menghadap jalan setapak desa, dengan pohon jambu di depannya, menjadi fokus pandanganku. Aku menanti Rian. Udara sejuk pegunungan terasa semakin dingin, membuatku merinding.

Tak lama kemudian, siluet Rian terlihat di kejauhan, berjalan santai dengan kaos oblong dan celana pendeknya. Jantungku berdetak semakin cepat. Aku menelan ludah, berusaha tenang.

"Assalamu'alaikum, Fik!" seru Rian saat kakinya menginjak teras rumah.

"Wa'alaikumussalam, Yan! Sini masuk," sambutku, berusaha terdengar biasa.

Rian melangkah masuk. Pandangan matanya langsung menyapu ruangan, berhenti sejenak di wajahku. Senyum tipis mengembang di bibutnya, seolah membaca semua kegelisahanku. "Katanya sakit? Kok muka tegang banget, Fik?"

Aku terkekeh kikuk. "Nggak enak badan aja, Yan. Makanya pengen ditemenin. Udah minum teh sama pisang gorengnya, aku bikin sendiri lho."

Kami duduk di sofa. Ada sedikit kecanggungan di antara kami, padahal biasanya kami bisa ngobrol apa saja tanpa beban. Rian menyesap tehnya, lalu menggigit pisang goreng. "Hmm, enak juga buatanmu, Fik. Gak nyangka jago masak juga."

"Bisa aja kamu, Yan." Aku mencoba membalas candaannya, tapi pikiranku tak bisa lepas dari satu hal.

"Jadi, Fik. Sakit apa sih? Kok sampai ngajak aku main ke sini?" Rian menatapku langsung. Matanya yang tajam seolah menembus topengku.

Aku menghela napas. Sudahlah, tak ada gunanya berbasa-basi. Dia tahu. Aku tahu dia tahu. "Yan..." suaraku tercekat. "Aku... aku kangen."

Rian mengangkat alis. "Kangen apa, Fik?" Nada suaranya sedikit nakal.

Aku memejamkan mata sejenak, mengumpulkan keberanian. "Kangen... itu, Yan. Yang kemarin. Aku... aku kepikiran terus."

Rian tersenyum lebar. "Oh, jadi itu maksudmu ngajak aku ke sini? Kukira kenapa. Takut banget aku, Fik." Dia tertawa lepas.

Aku merasa sedikit malu, tapi juga lega karena Rian meresponsnya dengan santai. "Ya gimana lagi, Yan. Aku jujur aja. Sejak kemarin, setiap mau coli, rasanya kek ada yang kurang?"

Rian menggeleng. "Fik. Itu artinya kamu ketagihan. Aku udah bilang kan, sensasinya beda. Nggak kayak coli biasa."

"Iya, tapi... aku gak nyangka bakal sebegininya," ujarku, menunduk.

"Jadi, kamu mau lagi?" tanya Rian, suaranya kini lebih pelan, tapi tetap tegas.

Aku mengangkat kepalaku, menatapnya. Mataku bertemu pandang dengan matanya. Ada keinginan kuat di sana, yang terpancar dari kami berdua. "Mau, Yan. Banget."

Rian mengangguk. Dia meletakkan gelas tehnya di meja. "Oke. Kali ini, kita bikin lebih enak lagi. Gimana kalau kita coba di kamar?"

Jantungku melonjak. Di kamar? Di kamarku? Ini akan terasa lebih intim, lebih... nyata. Kamar tidurku, yang sederhana dengan kasur kapuk dan lemari kayu tua, mendadak terasa seperti panggung untuk sesuatu yang luar biasa. Aroma kamarku sendiri, yang biasanya hanya tercium bau sabun dan sedikit debu, kini seolah dipenuhi oleh aroma gairah yang membara.

"Di kamar?" tanyaku, suaraku nyaris berbisik.

"Iya, Fik. Lebih nyaman, kan? Gak ada yang lihat juga." Rian tersenyum penuh arti.

Aku mengangguk cepat. "Oke. Ayo."

Kami berdua bangkit. Aku memimpin jalan ke kamar tidurku. Udara di dalam kamar terasa lebih hangat dibanding ruang tamu. Gorden yang sedikit tertutup membuat suasana remang-remang, menciptakan aura misterius. Aku menunjuk ke arah kasur.

"Mau langsung aja?" tanyaku, tak sabar.

Rian tersenyum. "Pelan-pelan, Fik. Nikmatin prosesnya."

Dia duduk di tepi kasur. Aku berdiri di depannya, jantungku berdebar tak karuan. Rian menatapku, matanya memancarkan gairah yang sama dengan yang kurasakan. Perlahan, dia mulai membuka kancing bajunya. Satu per satu, kancing itu terlepas, memperlihatkan dadanya yang bidang dan perutnya yang rata. Aku menelan ludah.

Rian melepas kaosnya, lalu melemparkannya ke lantai. Dia lalu membuka kancing celananya. Aku melihat kontolnya yang sudah sedikit mengeras, menyembul dari balik celana dalamnya. Rasanya, hasratku langsung melonjak.

"Kamu juga, Fik," kata Rian, tatapannya tak lepas dariku.

Aku mengangguk. Tanganku gemetar saat membuka kancing celanaku sendiri. Aku menurunkan resleting, lalu menarik celana dan celana dalamku hingga terlepas. Kontolku yang sudah lama berdiri tegang langsung melompat keluar, memamerkan urat-urat yang menonjol. Aku bisa merasakan darah berdesir di sana.

Rian menatap kontolku, lalu tersenyum puas. Dia lalu menanggalkan celananya. Kami berdua kini telanjang, saling menatap di tengah remangnya kamar.

"Oke, Fik," kata Rian, suaranya rendah. "Kamu mau posisi apa?"

Aku berpikir. Posisi 69 memang hebat, tapi aku ingin sesuatu yang berbeda, yang lebih fokus pada hisapan yang membuatku ketagihan. "Aku... aku mau kamu hisap kontolku, Yan. Aku suka isapan mu"

Rian terkekeh. "Oh, jadi kamu mau dimanjain, ya? Boleh." Dia menepuk kasur di sebelahnya. "Sini, Fik. Duduk.

Aku naik ke kasur, duduk di hadapan Rian. Lutut kami bersentuhan. Kontol kami yang tegang kini saling berhadapan, nyaris bersentuhan. Aku bisa merasakan hawa panas yang memancar dari tubuhnya.

Rian tersenyum nakal. " kamu tinggal nikmatin aja, ya."

Dia mengulurkan tangannya, memegang pangkal kontolku. Sentuhannya yang hangat dan lembut membuatku merinding. Rian mengusap-usap batangan kontolku perlahan, dari pangkal hingga kepala. Setiap sentuhan membuatku mendesah. Aku memejamkan mata, menikmati sentuhan Rian.

"Sudah tegang banget nih," bisik Rian, suaranya serak menggoda.

Aku membuka mata. Rian menatapku dengan mata berbinar. Perlahan, dia menundukkan kepalanya. Aku bisa merasakan napas hangatnya di kepala kontolku. Jantungku berdebar tak karuan. Ini dia. Ini yang kutunggu.

Rian menjulurkan lidahnya, menyentuh ujung kontolku. Sensasi basah dan hangat itu membuatku melengkung. Lidahnya bermain di sekeliling lubang kencingku, menggodaku. Aku mendesah.

"Ahhh... Yan..."

Rian terkekeh. Lalu, dia membuka mulutnya. Perlahan, ujung kontolku masuk ke dalam mulutnya. Hangat. Lembab. Kenyal. Aku merasakan bibirnya yang lembut membalut batangan kontolku. Dia mulai menghisapnya perlahan, lalu semakin dalam.

"Mphhh..." Aku tak bisa menahan desahanku.

Rian menghisap kontolku dengan ritme yang teratur. Lidahnya bermain-main di batangan kontolku, sesekali menyentuh urat-urat yang menonjol. Aku memejamkan mata, menikmati setiap sensasi. Rasanya seperti ada aliran listrik yang menjalar dari ujung kontolku, merambat naik ke seluruh tubuh, membuatku menggeliat. Aku menggunakan tanganku untuk memegang kepalanya, membimbing gerakannya, mendorongnya untuk menghisap lebih dalam lagi.

Rian semakin intens. Suara kecapan terdengar memenuhi kamar. Aku bisa merasakan rahangnya yang bergerak, dan kekuatan hisapannya yang luar biasa. Setiap hisapan terasa begitu nikmat, membuatku melayang. Aku mendesah, erangan demi erangan keluar dari mulutku.

"Terus, Yan... terus..." bisikku, tak mampu menahan diri.

Rian menghisap kontolku tanpa henti, dengan penuh gairah. Dia tahu apa yang kuinginkan. Dia tahu bagaimana membuatku merasa gila. Aku merasakan kontolku semakin membesar di dalam mulutnya, berdenyut-denyut dengan kuat. Darah berdesir panas di seluruh tubuhku.

Aku merasakan gelombang panas mulai mengumpul di pangkal kontolku. Aku tahu, aku akan keluar sebentar lagi. Aku mempercepat napasku, menggenggam erat rambut Rian.

"Ahhh... Yan... aku... aku mau keluar..." desahku, suaraku serak.

Rian mempercepat hisapannya, seolah ingin menarik keluar setiap tetes spermaku. Aku merasakan kontraksi hebat di perut bagian bawah. 

CROTT CROTT CROTT

Sebuah getaran kuat menjalari seluruh tubuhku. Dan kemudian, semburan hangat dan kental itu keluar. Rasanya luar biasa. Aku menjerit tertahan, merasakan kenikmatan yang memuncak, melengkung di atas kasur. Cairan spermaku membanjiri mulut Rian.

Rian terus menghisapnya, menelan semua yang keluar dariku. Ketika semburan terakhir telah habis, dia perlahan melepaskan hisapannya, mengangkat kepalanya, dan menatapku. Wajahnya basah oleh spermaku, dan dia tersenyum puas. Ada sisa-sisa cairan di sudut bibirnya.

"Gimana, Fik?" tanyanya, suaranya rendah dan serak.

Aku terengah-engah, tubuhku lemas. Aku hanya bisa mengangguk. "Gila, Yan... gila banget... Lebih dari kemarin..."

Rian terkekeh, lalu menjilat sisa spermaku di bibirnya. "Aku tahu. Itu baru satu kali. Mau lagi?" Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh godaan.

Aku menatapnya, masih terengah-engah. Kontolku masih sedikit keras, tapi sudah mulai melemas. Namun, hasrat di dalam diriku masih membara. Aku menelan ludah. "Tentu saja, Yan. Tentu saja."

Kami berdua tersenyum. Di kamar yang remang-remang itu, di tengah ketenangan Desa Mandiri, aku tahu ini bukan lagi sekadar eksperimen. Ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang membuatku ketagihan, dan sesuatu yang kurasa, akan terus berlanjut. Hubungan persahabatanku dengan Rian telah berubah, menjadi sesuatu yang lebih intim, lebih liar, dan lebih memuaskan dari yang pernah kubayangkan.

Panas di dalam kamar masih menyelimuti. Aku terengah-engah, kontolku yang basah oleh liur Rian mulai melemas, tapi sensasi nikmatnya masih terasa kuat di setiap serat sarafku. Rian tersenyum puas, sisa spermaku masih menghiasi sudut bibirnya. Dia menjilatnya perlahan, seolah menikmati setiap tetesnya.

"Gimana, Fik?" tanyanya, suaranya serak, matanya berbinar penuh gairah. "Masih mau?"

Aku mengangguk cepat, "Ia yan teruskan."

Rian tertawa kecil, tawa yang penuh kemenangan. Tanpa banyak bicara, dia kembali menundukkan kepalanya ke arah kontolku. Aku bisa merasakan napas hangatnya, dan ujung lidahnya yang nakal kembali menyentuh kepala kontolku. Seketika, kontolku yang tadinya melemas, kembali menegang, rasanya kontolku semakin sensitif setelah keluar. Urat-urat di permukaannya kembali menonjol, siap untuk babak kedua.

Dia mengulum kepala kontolku perlahan, hisapannya lembut tapi penuh gairah. Suara kecapan terdengar samar di telingaku. Rian tidak hanya fokus pada kontolku; tangan kanannya bergerak naik ke dadaku. Jari-jarinya yang hangat mulai memijat lembut putingku. Aku tidak menyangka sentuhan di sana bisa sebegini sensitif. Putingku langsung mengeras, menegang, dan terasa ngilu bercampur nikmat.

"Hmmmm..." desahku, tanpa sadar.

Rian semakin berani. Dia menghisap putingku, mengulumnya dengan bibirnya, dan lidahnya bermain di sana. Sensasi aneh menjalari tubuhku. Bukan hanya kontolku yang menjadi pusat perhatian, tapi seluruh tubuhku. Dia membuat beberapa cupangan di dadaku, lalu beralih ke leherku. Aku bisa merasakan bibirnya yang basah menempel, menghisap kulitku hingga terasa perih tapi nikmat.

Kemudian, wajahnya mendekat ke wajahku. Matanya menatapku dalam, penuh gairah. Perlahan, bibirnya menyentuh bibirku. Lembut di awal, lalu semakin intens. Lidahnya menyusup masuk ke dalam mulutku, membelit lidahku sendiri. Aku bisa merasakan pertarungan liur kami, panas dan basah. Sisa-sisa spermaku yang tadi tertelan oleh Rian, kini aku rasakan samar di lidahnya, bercampur dengan liurnya sendiri. Rasanya aneh, gurih, dan entah mengapa, membuatku semakin bergairah.

Ciuman itu dalam, saling melumat, sampai napas kami memburu. Aku memejamkan mata, membalas ciumannya dengan tak kalah intens. Dunia seolah lenyap, hanya ada Rian dan aku, terhanyut dalam ciuman panas ini.

Rian melepaskan ciumannya, napasnya terengah-engah. Matanya berkilat. "Oke, Fik. Giliran kamu."

Dia bergeser sedikit, Kontolnya yang sudah berdiri tegak, memerah, dan berurat, kini disodorkannya ke arahku. Aku menelan ludah. Ini dia, sensasi yang kurindukan.

Kami kembali ke posisi 69 di atas ranjang. Aku membaringkan tubuhku, menempatkan kontolku di hadapan Kepala nya, sementara kontolnya menatap kearah ku. Aku bisa melihat kontol Rian yang berdenyut-denyut di depan wajahku. Ujungnya basah dan sedikit lengket.

Rian juga sudah memposisikan dirinya. Kepalanya berada di antara kedua kakiku, dan aku bisa merasakan napas hangatnya yang kini tidak lagi di pangkal kontolku, melainkan di area pantatku.

Aku mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menjilat kontol Rian. Rasanya hangat dan kenyal. Aku menghisapnya, memasukkannya ke dalam mulutku, merasakan sensasi bibirku yang membalut batangan kontolnya. Rian mendesah, tangannya meraih rambutku, membimbing gerakanku.

Namun, yang membuatku kaget adalah sensasi yang kurasakan di pantatku. Lidah Rian mulai menjilati lubang pantatku. Rasa geli bercampur aneh menjalari tubuhku. Aku sedikit mengernyit, terkejut dengan sentuhan tak terduga ini. Lidahnya yang basah dan hangat bermain di sekeliling lubang pantatku, lalu perlahan, aku merasakan ujung lidahnya menusuk masuk ke dalam lubang itu.

"Akhhh... stsss... ohhhh... anjinggg... enak banget, Yan!!!" desahku, tanpa sadar. Suaraku tercekat di tenggorokan, keluar begitu saja karena kenikmatan yang luar biasa.

Sensasi itu... gila. Lidah Rian yang masuk ke lubang pantatku terasa seperti ada gelombang listrik yang lebih kuat dari sebelumnya. Aku tidak pernah membayangkan pantatku bisa merasakan nikmat seperti ini. Aku menggeliat, mendorong pantatku ke arahnya, ingin lebih dalam lagi.

Rian terus menjilati dan menusuk dengan lidahnya, seolah tahu persis titik kenikmatanku. Sementara itu, aku terus menghisap kontolnya dengan gairah yang membara. Aku bisa merasakan Rian menggeliat di bawahku, menikmati hisapanku.

"Ahhh... Fik... kamu jago banget..." desah Rian, suaranya terputus-putus.

Aku merasakan jari Rian kini menyentuh lubang pantatku. Pertama, jari tengahnya masuk perlahan. Rasanya sedikit perih tapi juga nikmat yang luar biasa. Aku mendesah lagi, tubuhku melengkung. Lalu, jari telunjuknya ikut masuk, membuat lubang pantatku terasa penuh. Dia menggerakkan kedua jarinya di dalam sana, memutar, menggesek, membuatku semakin gila. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang Rian lakukan di bawah sana. Yang ada hanya desahan kenikmatan yang keluar tanpa henti. Aku hanya fokus pada sensasi jari-jarinya di pantatku, dan kontol Rian yang kini membesar di mulutku.

"Ohhh... Fik... enak... terus... lagi..." Rian mendesah di bawah sana, meminta lebih.

Aku mempercepat hisapanku, sementara Rian terus memainkan jarinya di pantatku. Aku merasakan kontolku membengkak, siap meledak.

Tiba-tiba, Rian menarik tangannya dan mengangkat kepalanya dari pantatku. Aku terkejut, mendongak. Rian tersenyum nakal.

"Udah cukup main-mainnya," katanya, suaranya berat. "Sekarang, giliran yang lebih serius."

Dia mengubah posisi. Aku merasakan tubuhnya bergerak di atasku. Dia mengangkat kakiku, dan memposisikan dirinya. Aku merasakan kontolnya yang panas dan keras menempel di pantatku.

"Kaget, Fik?" bisik Rian, suaranya penuh godaan.

Aku hanya bisa terengah-engah. Aku tahu apa yang akan terjadi. Mengentot. Aku akan dientot oleh Rian. Rasa kaget, takut, bercampur dengan gairah yang membara.

Rian perlahan mendorong kontolnya. "Santai, Fik... pelan-pelan aja..."

Aku merasakan ujung kontolnya yang membulat mencoba masuk ke lubang pantatku. Rasanya perih, tapi juga ada dorongan aneh yang membuatku ingin terus. Aku menggenggam seprai, meremasnya kuat-kuat.

"Akhhh... pelan, Yan... pelan..." desahku.

Rian mendorong lagi, sedikit lebih dalam. "Hmmmm... sempit banget, Fik... enak..."

"Akhhh... stsss... jangan... jangan dipaksa..." Aku mendesah, antara sakit dan nikmat.

"Dikit lagi, Fik... dikit lagi..." Rian terus mendorong, pelan tapi pasti.

Akhirnya, dengan sebuah dorongan kuat, kontol Rian berhasil masuk sepenuhnya. Aku merasakan panas yang membakar, perih, tapi setelah itu, kenikmatan yang tak terlukiskan. Lubang pantatku terasa penuh, benar-benar penuh oleh kontol Rian. Rasanya seperti lagi buang air. 

"Aaaaaahhhhh!!!" desahku, melengking. "Masuk, Yan... masuk semua..."

Rian mendesah lega. "Akhirnya... ahhh... enak banget, Fik..."

Dia mulai menggerakkan pinggulnya, maju mundur, dengan ritme yang pelan di awal. Aku merasakan gesekan kontolnya di dalam lubang pantatku. Setiap gerakan, gelombang kenikmatan menjalari tubuhku.

"Ohhhh... Yan... terus... dalam lagi..." aku mendesah, memejamkan mata.

"Iya, Fik... ini lebih dalam..." Rian mempercepat gerakannya. Desahan kami berdua memenuhi kamar. Ranjang berderit seiring dengan hentakan pinggul Rian.

Aku merasakan kontol Rian yang panas menghantam titik-titik sensitif di dalam pantatku. Aku menggeliat, mengangkat pinggulku, membalas setiap dorongannya.

"Akhhh... cepat, Yan... cepat lagi... aku mau keluar..." desahku, tanpa sadar mendorongnya.

Rian menggeram. "Oke, Fik... kita bareng..."

Dia mempercepat hentakannya, seolah ingin menghantamku hingga tembus. Kontolnya terasa semakin besar dan keras di dalam pantatku. Aku merasakan gelombang panas yang memuncak, semakin kuat.

"Ahhh... Rian... aku... aku mau crot!!!"

"Bareng, Fik... bareng!!!"

Aku merasakan kontraksi hebat di seluruh tubuhku. Gelombang kenikmatan yang meledak-ledak memenuhi setiap inci tubuhku. 

Crott crott crott

Aku menjerit, menggapai udara, merasakan cairan hangat menyembur keluar dari kontolku, membasahi perutku. Sensasi crot tanpa disentuh itu luar biasa, dipicu oleh penetrasi Rian.

Bersamaan dengan itu, Rian mengerang keras,

"Ahh bangsattt aku keluar"

CROTT CROTT CROTT

aku merasakan semburan hangat membanjiri bagian dalam pantatku. Cairan kental dan panas itu membanjiri lubangku, terasa sangat penuh dan nikmat.

Kami berdua terbaring lemas, napas terengah-engah, tubuh saling menempel. Keringat membasahi kulit kami. Kontol Rian masih tertanam di pantatku, terasa hangat dan lembut.

Rian terkekeh pelan. Tawanya terdengar di telingaku. "Hahahaha... berhasil juga aku ngentotin kamu, Fik. Gimana rasanya?"

Aku merasa kesal, tapi juga ada rasa puas yang tak terlukiskan. Aku memukul lengannya pelan. "Anjing kamu, Yan! Perih banget jir!"

Rian tertawa lagi. "Tapi enak, kan? Ngaku aja."

Aku memejamkan mata, merasakan sisa-sisa kenikmatan yang masih berdesir di tubuhku. Perihnya memang ada, tapi kenikmatan itu jauh melampaui segalanya. "Iya...enak..." bisikku, tak mampu menyembunyikan senyum tipis di bibirku.

Rian memelukku erat. "Ketagihan, kan?"

Aku menghela napas, menyerah pada perasaan itu. "Diam lah." Mendengar jawaban itu rian hanya tertawa. 

Di kamar tidurku yang remang, di Desa Mandiri yang tenang, aku tahu hidupku tak akan pernah sama lagi. Rian telah membuka sebuah pintu, sebuah dunia yang tak pernah kubayangkan. Dan aku, Fikri, si duda kampung, kini telah menjadi bagian dari rahasia paling intim antara dua sahabat.

Bersambung... 

Comments

  1. Ceritanya seruuu, jangan lama lama updatenya ya thor❤️

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...