Skip to main content

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 3. Anak pak haji

 

Desa Mandiri kembali menyambut pagi dengan kicauan burung dan embun yang menggelayuti dedaunan. Setelah kejadian panas bersama Rian, ada perasaan aneh yang menetap dalam diriku. Rasa bersalah bercampur dengan keinginan untuk mengulanginya lagi. Namun, rutinitas hidup harus tetap berjalan. Pagi itu, Pak Haji Mahmud, salah satu tokoh terpandang di desa, memanggilku. Katanya, ada beberapa genteng rumahnya yang bocor dan butuh diperbaiki. Pekerjaan halal, pikirku, lumayan untuk menambah pemasukan.

Rumah Pak Haji Mahmud termasuk salah satu yang terbesar di desa. Berarsitektur tradisional Jawa dengan sentuhan modern, berdiri kokoh di atas lahan yang luas, dikelilingi kebun buah dan halaman yang tertata rapi. Halaman depannya luas dengan beberapa pohon rindang yang memberikan keteduhan. Saat aku tiba, beberapa anggota keluarga Pak Haji tampak beraktivitas di teras.

Aku memanggul tangga bambuku dan menuju ke belakang rumah, tempat genteng yang bocor berada. Sinar matahari pagi mulai terasa hangat menusuk kulit. Aku hanya mengenakan kaos tanpa lengan berwarna abu-abu yang sudah agak lusuh dan celana pendek selutut berwarna cokelat. Pakaian andalanku untuk bekerja di bawah terik matahari.

Setelah menaikkan tangga dan mulai memeriksa genteng, aku merasakan ada sepasang mata yang memperhatikanku. Dari celah antara genteng, kulihat seorang pemuda berdiri di bawah, di dekat pohon mangga. Dia kurus, khas anak SMA, dengan rambut hitam legam yang sedikit berantakan dan kulit sawo matang yang bersih. Wajahnya Jawa, dengan hidung mancung dan alis tebal. Tampan, meski terlihat pendiam. Aku menebak dia adalah Fahmi, anak Pak Haji Mahmud yang paling bungsu, yang kabarnya masih sekolah di kota.

Aku kembali fokus pada pekerjaanku, mengganti genteng yang pecah dengan yang baru. Sesekali, saat bergerak atau berjongkok, celana pendekku sedikit naik, memperlihatkan pahaku yang berbulu tipis dan samar-samar garis pinggang celana dalamku. Kaos tanpa lenganku yang longgar juga kadang berayun, memperlihatkan lenganku yang meski tidak terlalu besar tapi terlihat berisi, dan sesekali, tanpa sengaja, putingku yang menonjol bisa terlihat jelas. Begitu juga dengan bulu ketiakku yang lebat, tampak saat aku mengangkat tangan untuk memaku.

Aku merasakan tatapan Fahmi masih tertuju padaku. Dia tidak bergerak, hanya berdiri di bawah pohon mangga, seperti sedang mengamati setiap gerakanku. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku sedikit tidak nyaman, tapi juga... sedikit tertarik.

Setelah beberapa waktu, aku turun untuk mengambil beberapa genteng lagi. Saat menuruni tangga, aku berpapasan dengan Fahmi yang kini berdiri lebih dekat, di tepi teras belakang.

"Assalamualaikum, Mas," sapanya pelan, suaranya agak serak.

"Wa'alaikumussalam," jawabku sambil tersenyum sopan. "Eh dek fahmi, ada apa?"

"Eh, nggak, Mas," jawabnya gugup, sedikit menunduk. "Cuma... lihat Mas Fikri kerjanya rajin."

Aku terkekeh kecil. "Ya namanya juga kerja, dek. Biar cepat selesai." Aku mengambil beberapa genteng dan berbalik menuju tangga.

"Om Fikri... eh," panggilnya lagi, membuatku berhenti. "Capek ya, om? Istirahat bentar? Umi udah siapin minum sama cemilan"

Tawarannya terdengar tulus. "Wah Boleh, dek. Terima kasih banyak."

Fahmi tersenyum tipis, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia kembali membawa air dan cemilan.

"Ini, Mas," katanya sambil menyodorkan gelasnya. Tangannya sedikit gemetar.

"Terima kasih ya, dek," ujarku sambil menerima gelas dan meneguk airnya hingga tandas. Segarnya air menghilangkan dahaga yang kurasakan.

Saat mengembalikan gelas, tanpa sengaja jari-jariku bersentuhan dengan jari-jari Fahmi. Sentuhan singkat itu terasa seperti sengatan listrik kecil. Aku bisa melihat semburat merah tipis di pipi Fahmi, dan dia buru-buru menarik tangannya.

"Om Fikri... eh... anu..." Fahmi tampak kesulitan merangkai kata. "Om Fikri kok... kuat banget ya? Badannya juga... kekar gitu."

Aku tersenyum mendengar pujiannya. "Ah, biasa aja, dek. Namanya juga kuli."

Dia terus menatap lenganku yang sedikit berotot, lalu pandangannya turun ke dadaku yang bidang, di mana samar-samar bekas cupangan Rian beberapa waktu lalu masih terlihat. Aku tidak risih membiarkannya melihat, malah aku sengaja menunjukkannya. 

"Om... udah lama kerja jadi tukang bangunan?" tanyanya lagi, suaranya semakin pelan.

"Lumayan lama, dek, sebelum cerai pun om dah jadi kuli" jawabku jujur.

Mata Fahmi melebar sedikit. "Oh... Om Fikri duda?"

Aku mengangguk. Ada kesenduan yang tak bisa kusutupi saat mengucapkan kata itu.

"Padahal om Fikri... ganteng..." ucap Fahmi tiba-tiba, lirih hampir tak terdengar. Wajahnya kembali memerah, dan dia buru-buru menunduk, salah tingkah.

Aku terkejut mendengar perkataannya. Ini... ini terasa seperti Rian dulu, saat pertama kali kami mulai dekat. Ada rasa tertarik yang sama-sama kami rasakan. Aku tersenyum kecil, merasa sedikit geli tapi juga... tergoda.

"Bisa aja kamu, dek Fahmi," balasku, berusaha terdengar biasa. "Saya lanjut kerja lagi ya, dek. Gentengnya udah pada nunggu. Kalau dah siang panas."

Aku kembali menaiki tangga, tapi aku bisa merasakan tatapan Fahmi masih mengikutiku. Sesampainya di atas, aku sesekali mencuri pandang ke bawah. Fahmi masih berdiri di sana, sesekali tersenyum kecil sendiri.

---

Sore harinya, saat pekerjaanku hampir selesai, Fahmi kembali menghampiriku. Kali ini, dia terlihat lebih berani.

"Om," panggilnya, suaranya lebih tegas. "Abis ini sibuk gak? "

Aku menggeleng. "Nggak ada, dek. Kenapa?"

"Kalau nggak keberatan... Bisa temenin fahmi gak om?" tatapannya langsung, penuh harap.

Aku terdiam sejenak. Ini sudah jelas arahnya ke mana. Ada rasa ragu, karena ini anak Pak Haji. Tapi godaan untuk merasakan sentuhan lain, setelah Rian, terlalu kuat. Apalagi Fahmi... dia punya daya tarik tersendiri.

"Boleh dek," jawabku akhirnya, dengan sedikit senyum misterius. "Di mana?"

"Di... di kamar Fahmi aja, om."

Jantungku berdebar. Di kamar Fahmi. Berduaan. Tanpa sepengetahuan keluarganya. Ini gila. Tapi aku menginginkannya.

Hari itu, kami berjalan diam-diam ke arah kamarnya fahmi. Kami berdua berusaha agar tidak membuat curiga oleh keluarganya. Fahmi menarik tanganku pelan, membawaku masuk. Kamarnya sederhana, khas kamar remaja dengan poster-poster band kesukaannya tertempel di dinding dan buku-buku pelajaran berserakan di meja belajar. Lampu tidur dengan cahaya redup menciptakan suasana yang intim.

Fahmi menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia berbalik menghadapku, tatapannya penuh dengan hasrat yang sama yang kurasakan. Tanpa banyak bicara, dia langsung memelukku erat. Tubuhnya yang kurus terasa hangat di dekapanku.

"Om..." bisiknya, suaranya bergetar.

Aku membalas pelukannya, merasakan jantungnya berdebar kencang di dadaku. Kami berdua tahu apa yang akan terjadi.

Perlahan, kami saling melepaskan pelukan. Fahmi menatapku dengan mata penuh harap. Aku mengulurkan tanganku, membelai pipinya yang halus. Dia memejamkan mata, menikmati sentuhanku.

"Om Fikri... Fahmi... suka sama om," ucapnya lirih.

Aku tersenyum. "Suka apanya dari om?." Tanya ku menggoda. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku menariknya mendekat dan mencium bibirnya. Ciuman pertama itu lembut, canggung, tapi penuh dengan kerinduan yang terpendam. Lalu, ciuman itu semakin dalam, semakin panas. Lidah kami saling bertautan, bertukar saliva dalam kegelapan kamar.

Kami berdua mulai saling membuka pakaian dengan tergesa-gesa. Kaos, celana, semua terlempar ke lantai. Dalam hitungan detik, kami sudah telanjang bulat di bawah remangnya lampu tidur. Kontolku sudah berdiri tegak, begitu juga dengan kontol Fahmi yang meski tidak sebesar Rian, tapi terlihat keras dan memerah, seperti halnya kontol anak remaja.

Aku mendorong Fahmi perlahan ke atas tempat tidurnya yang tidak terlalu besar. Dia berbaring telentang, menatapku dengan mata penuh gairah dan sedikit gugup. Aku naik ke atasnya, menindih tubuhnya.

"Kamu yakinkan dek?" bisikku, menatap matanya dalam.

Dia mengangguk mantap. "Yakin, om. Banget."

"Cuh" Ludah ku. Ku arahkan ke kontol ku sampai basah dan licin. 

Tanpa ragu lagi, aku menempelkan kontolku di antara kedua pahanya yang kurus. Aku bisa merasakan napasnya yang semakin cepat. Perlahan, aku menekan, mencoba memasukkan kontolku ke dalam lubangnya yang terasa sempit dan ketat.

"Akhhh... pelan, Mas..." desah Fahmi, meremas seprai di bawahnya.

Aku tidak sabar. Rasa nafsu menguasai diriku. Aku mendorong kontolku dengan kasar, brutal, hingga menembus pertahanannya. Fahmi menjerit tertahan, tubuhnya menegang.

"Anjinggg... enak banget... sttt... ohhh... ahkkk!!!" desahnya, bercampur antara sakit dan nikmat. Air mata tampak menggenang di sudut matanya, tapi ekspresinya menunjukkan kenikmatan yang luar biasa.

Aku terus memompa, menggerakkan pinggulku naik turun dengan kasar. Fahmi melenguh, kepalanya bergerak geleng-geleng di atas bantal. Dia mencengkeram punggungku dengan kuku-kukunya.

"Fuck me, om... fuck me..." rintihnya di tengah desahannya.

Aku semakin brutal. Hentakanku semakin dalam dan cepat. Desahan kami berdua semakin keras, memecah kesunyian malam.

"Ohhh... Dek... kamu... ahhh..."

"Terus, om... terus... jangan berhenti... ahkkk!!!" Desahnya. Kami benar-benar saling menyaut dengan desahan. 

Ah rasanya sangat nikmat, lobang pantatnya sempit. Melebihi memek mantan istriku. Aku tidak tahan lagi ah rasanya aku akan mencapai puncak ku. 

"Anjingggg aku keluar dek" Seru ku. 

"Keluarkan om, hamilin adek" Balasnya. 

CROTT CROTT CROTT

Kami berdua mencapai puncak kenikmatan dalam waktu yang bersamaan. Aku merasakan cairan hangat menyembur keluar dari kontolku, membanjiri rahim Fahmi. Dia menjerit panjang, tubuhnya kejang-kejang. Sedangkan spermanya muncrat hingga mengotori spreinya. 

Setelahnya, kami berdua terbaring lemas, napas terengah-engah. Tubuh kami lengket oleh keringat. Aku mencium kening Fahmi yang basah.

"Enak, dek?" bisikku.

Fahmi membuka matanya, menatapku dengan senyum lelah tapi bahagia. "Enak banget, om... banget..."

Setelah itu aku mulai membersihkan diriku dari sisa sperma. Berjalan keluar kamar secara pelan-pelan. Aku mengatur nafas agar tidak terlihat mencurigakan. Lalu berjalan keluar berpamitan dengan pak haji dan istrinya. 

"Eh fikri gimana? Udah kah?"

"Alhamdulillah sudah selesai pak haji" Jawab ku. 

"Ya ini uang kerjanya, terimakasih ya"

"Eh ia sama-sama pak haji"

"Fikri nih ada gorengan, bawa pulang aja buat kamu"

"Wah makasih banyak bu haji"

"Ia sama-sama"

"Kalau gitu saya balik duluan ya pak haji, bu haji. Assalamualaikum"

"Ia waalaikumsalam"


Bersambung... 



Comments

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...