Skip to main content

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 4. Teman Kuli

Hari ini pagi yang akan terasa penat, membawa serta hiruk pikuk aktivitas para kuli bangunan. Kali ini aku bener-bener ketagihan dengan yang namanya ngentot. Lubang pantat ku sekarang benar-benar terasa ingin sekali di jamah. Rasa nyeri samar di pantatku mengingatkan pada kenikmatan sekaligus kenakalan yang pernah kulakukan. Perasaan bersalah tetap ada, namun kenikmatan yang kudapatkan dari sex, sungguh luar biasa. Rasanya aneh, tapi juga membuatku makin berani. Aku mulai berpikir, mungkin hidup sebagai duda memang memberiku kebebasan untuk menjelajahi hal-hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.


Hari ini, aku dan beberapa kuli lain dapat proyek baru, membangun fondasi rumah di ujung desa. Salah satu teman kuli yang satu tim denganku adalah Jaka. Usianya sekitar 30 tahunan, sama denganku. Perawakannya besar, kulitnya hitam legam karena sering terpapar matahari, dengan otot-otot kekar yang terbentuk dari kerja keras. Dia punya kumis tipis dan rambut ikal yang selalu dibiarkan gondrong sebahu. Jaka dikenal suka melucu dan ceplas-ceplos, tapi juga pekerja keras. Sejak dulu, aku tahu Jaka sering melirikku, apalagi saat kami bertelanjang dada ketika bekerja di bawah terik matahari. Tapi aku tidak pernah terlalu memikirkannya.


Kami sedang istirahat makan siang di gubuk sederhana dekat lokasi proyek. Nasi bungkus dengan lauk seadanya jadi santapan kami. Udara siang terasa gerah, membuat kami semua berkeringat. Aku membuka kaosku, membiarkan angin sejuk menerpa kulitku yang lengket. Jaka juga melakukan hal yang sama. Dia duduk di depanku, memakan nasi bungkusnya dengan lahap.


"Gerah bener ya hari ini, Fik," kata Jaka, suaranya berat. Dia melirik dadaku yang terekspos.


"Iya nih, Jak. Kayaknya mau hujan tapi panasnya minta ampun," balasku sambil menyeka keringat di dahi. Aku sadar dia melirikku, tapi aku pura-pura tidak peduli.


Jaka menyesap air minumnya, matanya terus menatapku. "Paling enak kalau gini langsung nyebur ke kali, Fik. Dijamin seger lagi."


"Pengennya sih gitu," aku terkekeh.


Setelah makan siang, beberapa kuli lain memilih untuk tidur-tiduran atau merokok. Aku dan Jaka masih duduk, sesekali bertukar obrolan ringan. Tiba-tiba, Jaka mendekat, suaranya direndahkan.


"Fik," bisiknya. "Aku mau nanya sesuatu, boleh?"


Aku menatapnya. Raut wajah Jaka yang biasanya santai, kini terlihat lebih serius. "Nanya apa, Jak?"


Dia menghela napas, lalu pandangannya turun ke celanaku. "Kamu... pernah 'main' sama cowok, Fik?"


Jantungku langsung berdebar kencang. Pertanyaan Jaka ini sangat to the point. Aku merasa pipiku memanas. Aku tidak menyangka Jaka akan bertanya hal seperti ini. Apakah dia tahu tentang Rian? Atau Fahmi?


Aku mencoba tenang. "Maksudmu apa, Jak?"


Jaka menggaruk kepalanya. "Ya itu. Anu... kamu tahu lah." Dia melirik ke arah kuli-kuli lain yang terlelap, memastikan tidak ada yang mendengar. "Aku... aku penasaran."


Aku terdiam. Ini kesempatan. Kesempatan untuk menjelajahi lebih jauh, atau kembali ke zona amanku. Tapi bayangan Rian dan Fahmi masih segar di ingatanku. Sensasi itu terlalu kuat untuk diabaikan.


"Kenapa kamu nanya gitu, Jak?" tanyaku pelan.


Jaka menatapku dalam. "Aku pernah nonton bokep, terus ada adengan saat ceweknya sedang di entot sama cowoknya. Tiba-tiba temen cowok satunya lagi ngentot temen cowoknya dari belakang. Makanya aku penasaran." 


"Aku nggak pernah sama cowok, Fik. Tapi... Pas liat kamu keknya aku makin penasaran."


Aku merasakan hawa panas menjalari tubuhku. Jaka, temanku sendiri, seorang kuli bangunan yang berotot dan jantan. Pikiran untuk ditusuk oleh Jaka tiba-tiba terlintas, membuat kontolku sedikit bereaksi.


"Kamu... beneran serius?" tanyaku, suaraku serak.


Jaka mengangguk mantap. "Serius, Fik. Banget." Dia menatapku dengan mata penuh harap.


Aku menelan ludah. Ini akan sangat berbeda dari Rian atau Fahmi. Jaka lebih besar, lebih kekar. Aku membayangkan kontolnya yang pasti besar. Ada rasa takut, tapi juga rasa penasaran yang tak terbendung.


"Di mana?" tanyaku, akhirnya.


Senyum merekah di wajah Jaka. Dia melirik ke belakang gubuk, ke arah semak-semak lebat yang menutupi area belakang proyek. "Di sana. Ada tempat yang agak tersembunyi. Nggak ada yang bakal liat."


Aku ragu sejenak. Melakukannya di tempat kerja, di siang hari bolong? Ini gila. Tapi gairah yang memuncak mengalahkan keraguanku. Aku mengangguk.


Jaka langsung bangkit. "Ayo."


Kami berdua berjalan perlahan ke arah semak-semak. Suara cangkul dan obrolan samar para kuli masih terdengar di kejauhan, tapi begitu kami masuk ke dalam semak-semak, suara itu meredup, digantikan oleh suara desiran angin dan gemerisik dedaunan. Tempat itu memang tersembunyi, dengan beberapa pohon besar yang rindang dan semak belukar yang tinggi. Tanah di bawahnya lembap dan sedikit berlumut.


Jaka menunjuk ke sebuah celah di antara dua pohon besar. "Sini, Fik."


Kami masuk ke dalam celah itu. Ruangan kecil terbentuk di antara pohon-pohon, cukup untuk kami berdua. Udara terasa lebih pengap di sana. Jaka berbalik menghadapku, matanya berkilat.


"Kamu siap kan, Fik?" tanyanya, suaranya rendah.


Aku mengangguk, jantungku berdebar tak karuan.


Jaka tidak menunggu. Dia langsung menarik celananya ke bawah, membebaskan kontolnya yang sudah mengeras. Aku melotot. Kontol Jaka besar, jauh lebih besar dari yang kubayangkan. Urat-uratnya menonjol, kepalanya keunguan, dan terlihat basah. Aku merasakan kontolku sendiri langsung tegang melihatnya.


"Gimana, Fik? Kaget?" Jaka tersenyum nakal.


Aku hanya bisa terengah-engah. Jaka memegang kontolnya, mengarahkannya ke arahku. "Aku tusuk kamu ya, Fik?"


Aku mengangguk, menyerah pada hasrat.


Jaka mendorongku perlahan agar bersandar di batang pohon besar. Aku merasakan kulit kayu yang kasar di dadaku. Dia lalu menarik celana pendekku ke bawah, lalu celana dalamku. Pantatku yang telanjang kini terpampang di depannya. Aku merasa sedikit malu, tapi sensasi gairah yang panas mengalahkan segalanya.


Jaka meludah sedikit ke tangan, lalu melumasi kontolnya. Aku merasakan napas hangatnya di belakangku. Perlahan, dia mendekatkan ujung kontolnya ke lubang pantatku. Aku bisa merasakan denyutannya.


"Sempit banget, Fik," bisiknya, suaranya serak. "Pasti enak nih."


"Akhhh... pelan, Jak... pelan..." desahku, meremas batang pohon di sampingku.


Jaka mendorong perlahan. Aku merasakan perih yang menusuk, tapi juga sensasi penuh yang anehnya nikmat. Kontolnya yang besar terasa merobek perlahan lubang pantatku.


"Stttss... ahkkk... sakit... tapi... enak..." aku mengerang, kepalaku mendongak. Mendengar teriakan ku jaka langsung menutup mulut ku. 


Jaka terus mendorong. Perlahan, kontolnya masuk lebih dalam, mengoyak lubang pantatku hingga terbuka lebar. Aku merasakan panas yang membakar, tapi juga kenikmatan yang luar biasa. Dengan satu dorongan kuat, kontol Jaka masuk sepenuhnya. Aku menjerit tertahan, tubuhku kejang.


"Aaaaaahhhhh!!!" aku melengking. "Masuk, Jak... masuk semua... anjinggg... enak banget!!!"


Jaka mendesah puas. "Akhirnya... ahhh... sempit banget, Fik... ini baru laki..."


Dia mulai menggerakkan pinggulnya, maju mundur dengan ritme yang stabil. Setiap hentakan terasa begitu dalam, menggebrak titik-titik sensitif di dalam pantatku. Aku memejamkan mata, membenamkan wajahku di batang pohon, menikmati setiap dorongan.


"Ohhh... Jak... terus... jangan berhenti... anjingg... enak banget!!!" desahku. Suaraku kini tidak lagi tertahan, keluar begitu saja dari mulutku.


Jaka menggeram, hentakannya semakin cepat dan brutal. Kontolnya yang besar terasa menggesek-gesek dinding lubang pantatku, membuatku semakin gila. Keringat membanjiri tubuhku, bercampur dengan desahan kami.


"Sssshhh... Fik... Enak banget pantat mu. Lebih sempit dari memek..."


Aku merasakan kontolnya menghantam titik terdalam, membuatku melengkung. Aku mengangkat pinggulku, membalas setiap dorongannya, ingin lebih banyak lagi.


"Fuck me, Jak... tusuk aku, Jak... lebih dalam... ahhh..." Aku meracau, pikiran sudah melayang entah ke mana, hanya ada kenikmatan yang tak tertahankan.


Aku merasakan gelombang panas mulai mengumpul di perut bagian bawahku. Kontolku yang sudah lama tegang kini berdenyut-denyut hebat, siap untuk melepaskan. Aku tahu, aku akan crot sebentar lagi.


"Ahhh... Jak... aku... aku mau crot!!!" desahku, suaraku parau.


Jaka menggeram. "Bareng, Fik... bareng!!!"


Dia mempercepat hentakannya, menghantamku dengan kekuatan penuh. 


CROTT CROTT CROTT

CROTT CROTT CROTT


Aku menjerit, tubuhku kejang, merasakan semburan hangat membanjiri bagian dalam pantatku. Bersamaan dengan itu, aku merasakan kontraksi hebat di kontolku. Gelombang kenikmatan yang luar biasa membuatku melengkung, dan cairan sperma menyembur keluar dari kontolku, membasahi pahaku serta rumput-rumput di sekitar.


Kami berdua terengah-engah, tubuh kami lemas. Jaka masih tertanam di pantatku, napasnya memburu. Keringat membasahi tubuh kami.


Perlahan, Jaka menarik kontolnya keluar. Aku merasakan sensasi kosong yang aneh, namun juga kelegaan yang luar biasa. Dia ambruk di sampingku, masih terengah-engah.


"Gila, Fik..." kata Jaka, suaranya serak. "Enak banget... kamu memang mantap."


Aku hanya bisa mengangguk, masih terengah-engah. Pantatku terasa perih, tapi rasa nikmat itu jauh lebih dominan. Aku menatap Jaka. Wajahnya puas, matanya berkilat.


"Kamu juga, Jak..." bisikku, tak mampu menyembunyikan senyum tipis di bibirku. "Besar... dan enak..."


Jaka tertawa, tawanya dalam dan puas. "Jadi, mau lagi kapan-kapan, Fik?"


"Hmm" Jawab ku sambil mengangguk


Bersambung.... 





Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...