Malam ini giliran saya bertugas ronda. Bulan menggantung tipis di langit, sinarnya hanya cukup untuk menerangi sebagian kecil jalan setapak di kampung kami. Udara dingin mulai menusuk kulit, tapi obrolan ringan dengan bapak-bapak lain di pos ronda membuat suasana sedikit hangat. Ada Pak RT, Pak Kadus, dan beberapa warga lain yang setia berjaga.
"Ardy, nanti giliran kamu sama Firman keliling ya," ujar Pak RT, suaranya parau karena sering begadang.
"Siap, Pak RT!" sahutku.
Tak lama, Ustadz Firman datang, membawa termos berisi kopi panas. Dia mengenakan kaus lengan panjang berwarna gelap dan celana kain panjang, pakaian yang biasa ia gunakan saat ronda. Dibandingkan saya yang hanya memakai kaus putih polos lengan pendek dan sarung tanpa celana dalam, Ustadz Firman tampak jauh lebih rapi.
"Ayo, dy, kita keliling sekarang," ajak Ustadz Firman. Kami berdua pamit pada yang lain dan mulai melangkah menyusuri jalan kampung yang sepi. Hanya suara jangkrik yang sayup-sayup yang menemani langkah kami.
Ustadz Firman mulai berbicara,"kamu dekat ya dengan si bagas?" Tanya nya penasaran, aku terkejut dan tidak menjawab pertanyaan itu
Dengan suaran pelan dia menasihati. "Ardy, saya mau kasih sedikit nasihat, dari hati ke hati," katanya, "Kamu jangan terlalu dekat sama Bagas ya."
Saya sedikit terkejut. "Maksud Ustadz?"
"Bagas itu... Hmm dia memang anak baik, ramah, tapi ada sesuatu dari dia yang sedikit... berbeda. Saya pernah merasakannya sendiri." Ustadz Firman menghela napas sedang aku mendengarkan. "Dulu, waktu dia masih sering ikut mengaji sama saya, dia pernah mencoba merayu saya, dy. Mengajak ke arah yang... tidak benar."
Jantung saya berdesir. Merayu? Bagas merayu Ustadz Firman? Saya menelan ludah. Kalau di lihat-lihat ustadz firman memang tipe yang akan di incar bagas. Badan yang tegap, hidung mancung khas arab. Walau memiliki jangot dan kumis dia masih terlihat tampan.
"Merayu bagaimana, Ustadz?" tanyaku, berpura-pura tidak tahu. Padahal, saya tahu persis maksudnya. Saya dan Bagas sudah melampaui itu semua, jauh lebih dari sekadar rayuan.
Ustadz Firman berhenti berjalan, menatap saya dengan sorot mata serius. "Dia pernah mencoba mendekat secara fisik, Ardy. Mengajak saya melakukan hal yang diharamkan. Saya langsung istighfar dan menjauhinya. Alhamdulillah, setelah itu dia tidak pernah berani lagi. Tapi, ya itu, makanya saya agak khawatir kalau kamu terlalu sering dengannya."
Darah panas mengalir di wajah saya. Rasa malu bercampur dengan sedikit rasa bersalah. Tapi anehnya, di balik semua itu, ada percikan gairah yang mulai menyala. Kemaluan saya, yang sudah sedikit tegang entah kenapa udara dingin hari ini membuat kontol ku beraksi. Ah aku lupa jika aku hanya mengenakan sarung tanpa dalaman, kini terasa semakin mengeras mendengar cerita Ustadz Firman.
"Oh... begitu ya, Ustadz," jawabku, berusaha terdengar normal. "Terima kasih atas nasihatnya."
Kami melanjutkan langkah, keheningan menyelimuti kami berdua. Saya terus memikirkan perkataan Ustadz Firman. Bagas, si 'lonte kampung itu', ternyata juga pernah menggoda Ustadz Firman. Dan saya, seorang ustadz, kini malah terjebak dalam lingkaran syahwat bersamanya. Sebuah ironi yang pahit.
"Tapi, Ustadz Firman," saya memberanikan diri, "Bukankah kadang-kadang kita sebagai laki-laki juga merasa... ada dorongan?" Saya memilih kata-kata saya dengan hati-hati.
Ustadz Firman mengangguk. "Tentu saja, Ardy. Itu fitrah manusia. Tapi sebagai orang beriman, kita harus bisa mengendalikannya. Mencari jalan yang halal."
"Iya, benar sekali Ustadz," sahutku, "Kadang, saat istri sedang tidak bisa, rasanya sulit sekali menahan diri. Apalagi kalau sudah... sudah berdiri sendiri tanpa sebab." Saya melirik ke arah gundukan di balik sarung saya. Di bawah sorot rembulan, gundukan itu terlihat jelas, membesar dan membusung.
Ustadz Firman melirik ke arah saya, pandangannya terpaku pada benjolan di sarung saya. Matanya sedikit membesar, seolah baru menyadari sesuatu. Wajahnya sempat berubah, dari serius menjadi sedikit canggung. Saya bisa merasakan semburat merah tipis di pipinya.
"Itu... itu hal yang wajar, Ardy," kata Ustadz Firman, suaranya sedikit tercekat. "Tapi... kamu tidak memakai celana dalam?"
Pertanyaan itu membuat saya tertangkap basah. Jantung saya berdetak lebih cepat. "Eh... anu, Ustadz... Saya... saya lupa pakai. Istri buru-buru memaksa ku agar tidak membuat bapak-bapak yang lain menunggu. Alhasil sampai di jalan aku malah lupa," jawabku, tentu saja itu bohong. Saya merasakan dildo di pantat saya seolah bergerak-gerak saat kami mulai melangkah.
Ustadz Firman terdiam sejenak, pandangannya masih tak lepas dari gundukan di sarung saya. Dia terlihat... tertarik? Atau mungkin hanya penasaran? Kesempatan ini, pikir saya, tak boleh disia-siakan.
"Ustadz Firman," saya memulai lagi, suaraku kulembutkan, "Dulu, saya juga sangat menjaga diri. Tapi belakangan ini, saya merasa... sangat sulit. Apalagi kalau ada hal-hal yang memancing." Saya sengaja melirik lagi ke arah gundukan saya, sedikit menggesekkan paha untuk membuatnya lebih menonjol.
Ustadz Firman membasahi bibirnya. "M-maksudmu?"
"Saya... saya pernah mencoba mengatasi hasrat ini dengan cara sendirian, Ustadz. Tapi rasanya... tidak memuaskan. Seperti ada yang kurang," saya menghela napas, berpura-pura frustrasi. "Saya merasa... sendirian dengan beban ini."
"Cara sendiri maksudnya?" Tanya ustadz firman penasaran.
"Ituloh ustadz onani" Ucapku berbisik tepat di telinga ustadz Firman.
"Apa itu onani?" Tanya ustadz firman polos.
"Itu loh kita ngocokin kontol kita sendiri sampai tumpah" Jelasku.
"Astaghfirullah ardy istighfar kamu itu ulama juga, sering jadi imam sering berceramah dan berkhotbah" Seru ustadz firman tegas.
"maaf ustadz, seperti yang ustadz bilang. Saya juga manusia, dan ini kelemahan saya menahan hasrat. Entah kenapa kemaluan saya selalu berdiri terus"
Ustadz Firman terlihat berpikir keras. "Kamu harus kuat imam dy, Setiap orang punya perjuangan sendiri, Ardy. Jangan lemah. Allah Maha selalu ada melindungi hambanya."
Saya mendekat selangkah ke arahnya, membuat bahu kami hampir bersentuhan. "Tapi Ustadz, bagaimana jika dorongan itu begitu kuat, sampai-sampai saya merasa akan gila jika tidak tersalurkan?" Saya menatapnya dengan tatapan memohon, mencoba memainkan peran sebagai orang yang sedang dalam dilema besar.
Ustadz Firman menatap mata saya. Ada keraguan di sana, tapi juga ada kilatan aneh yang saya tangkap. "Apa yang ingin kamu lakukan, Ardy?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
"Saya hanya ingin... merasa lega, Ustadz, saya ingin ini di keluarkan" jawabku, suaraku semakin pelan, nyaris seperti bisikan. Saya membiarkan gundukan di sarung saya bergesekan sedikit dengan paha Ustadz Firman.
Dia terlonjak kecil. Matanya membulat. "Astaghfirullah, Ardy! Jangan begitu!" serunya, suaranya sedikit bergetar. Dia mundur selangkah.
"Maafkan saya, Ustadz," kataku, berpura-pura menyesal. "Saya hanya... tidak tahan. Rasanya sulit sekali mengendalikan ini." Saya menunduk, seperti orang yang sangat bersalah. Saya tahu saya sedang mempermainkannya, tapi nafsu saya sudah terlalu besar.
Ustadz Firman mengusap wajahnya. Dia terlihat bingung. "Kamu... kamu sungguh-sungguh Ardy?"
Saya mengangkat kepala, menatapnya lagi dengan tatapan penuh permohonan. "Saya... saya tidak tahu harus berbuat apa lagi, Ustadz istri saya sedang haid dan tidak mungkin saya berzinah. Ustadz Rasanya ini... menyiksa kalau semakin di tahan" Saya sengaja membiarkan suara saya sedikit bergetar, menambah kesan dramatis.
Dia menghela napas panjang. Ada keraguan yang jelas di wajahnya, tapi juga ada sesuatu yang lain. Saya bisa melihatnya. Sebuah pertarungan batin. Pertarungan antara ajaran agamanya dan dorongan alamiah seorang pria.
"Ardy... ini tidak benar," bisiknya. "Sebagai seorang ahli agama, kita tidak seharusnya..."
Saya memotong perkataannya. "Tapi Ustadz, apakah salah jika saya mencari bantuan dari sesama laki-laki yang mungkin bisa mengerti perjuangan saya? Yang mungkin bisa... membantu saya mengendalikan ini?" Saya menekankan kata 'membantu' dengan nada yang ambigu.
Ustadz Firman menatap ke arah gundukan di sarung saya lagi. Saya bisa melihat bola matanya bergerak-gerak, seolah membayangkan sesuatu. Ada semburat merah di pipinya.
"Kamu mau aku bantu apa?" Tanya ustadz firman. "Kamu... kamu yakin tidak bisa menahannya?" tanyanya, suaranya melembut.
Saya mengangguk cepat. "Temenin aku onani. Ustadz, Saya merasa hampir gila. Rasanya... seperti ada yang mengganjal dan tidak mungkin saya balik ke pos ronda dengan keadaan seperti ini"
Dia menatap saya, lalu melirik ke sekeliling. Jalanan benar-benar sepi. Tidak ada satu pun rumah yang lampunya menyala di dekat kami. Hanya gelap dan sunyi.
"Tapi... bagaimana?" tanyanya, nada suaranya sudah berubah, tidak lagi menolak sekeras tadi.
Saya tersenyum tipis. "Ikut saya Ustadz. Kita cari tempat yang lebih sunyi."
Saya meraih pergelangan tangannya, menariknya pelan ke arah semak-semak yang agak rimbun di pinggir jalan, jauh dari pandangan rumah warga. Dia awalnya sedikit menolak, "Ardy, jangan! Ini tidak benar!" tapi genggamanku pada pergelangan tangannya semakin menguat, dan saya bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang. Dia mengikuti, meski dengan langkah ragu.
Kami masuk lebih dalam ke rimbunnya semak. Daun-daun tebal menutupi kami dari pandangan luar. Udara di dalam semak terasa lebih pengap, tapi juga lebih hangat.
"Ini bagaimana jika ketahuan?" bisiknya, matanya sedikit melebar.
"Asal ustadz tidak berisik insyaallah aman, Ustadz," jawabku, senyum mesum mulai terukir di bibirku. Saya melepaskan tangannya, lalu berbalik menghadapnya.
Wajah Ustadz Firman tampak pucat di tengah gelap. Matanya menatapku penuh pertanyaan, tapi juga ada rasa penasaran yang tidak bisa dia sembunyikan. Saya melangkah mendekat, perlahan, hingga tubuh kami hanya berjarak beberapa inci. Saya bisa merasakan napasnya yang terengah-engah. Aroma tubuhnya yang maskulin memenuhi hidungku.
"Ustadz Firman," bisikku, suaraku dalam dan serak, "tolong bantu saya ya?"
Dia menggelengkan kepala pelan, berusaha menyangkal. "Tidak, Ardy! Ini salah!"
"Kumohon ustadz?" Saya mengangkat tangan, menyentuh pipinya dengan lembut. Kulitnya terasa dingin, tapi saya bisa merasakan panas yang berdesir di bawahnya.
Dia menatap mata saya, dan saya melihat kekalahan di sana. Keraguan telah lenyap, digantikan oleh gairah yang sama dengan yang saya rasakan.
"A-Ardy..." suaranya nyaris tak terdengar.
Saya tidak menunggu lebih lama lagi. Saya memajukan wajah, bibir saya langsung mendarat di bibirnya yang gemetar. Awalnya dia kaku, tidak membalas. Tapi saya terus melumatnya, mengisap bibir bawahnya, ada perasaan geli karena jangut dan kumisnya. Aku terus memaksakan diri masuk. Perlahan, bibirnya mulai bergerak, membalas ciumanku dengan ragu-ragu, lalu semakin dalam. Lidahku menjelajah masuk ke dalam mulutnya, bertemu dengan lidahnya yang terasa manis.
Kami berciuman dengan liar di tengah kegelapan semak-semak. Tanganku merayap ke lehernya, menariknya lebih dekat. Dia balas memeluk pinggangku, cengkeramannya menguat. Sarung saya sedikit tersingkap, memperlihatkan gundukan kemaluan saya yang tegang dan membesar. Saya bisa merasakan gesekan kasar kain celana kainnya yang tebal di sana.
Ciuman kami semakin panas, napas kami memburu. Suara decapan bibir kami mengisi keheningan malam. Saya merasakan dildo di pantat saya bergeser, membuat saya semakin bergairah.
Ustadz Firman melepaskan ciuman kami sejenak, napasnya terengah-engah. "Ardy... ini... ini tidak benar," bisiknya lagi, tapi kali ini tanpa penolakan, hanya sebuah pengakuan akan godaan yang tak terbendung.
Saya tersenyum. "Tidak apa-apa, Ustadz. Kita berdua saja yang tahu."
Saya meraih tangannya, menuntunnya ke arah gundukan di sarung saya. "Ustadz, rasakan ini..."
Tangannya menyentuh sarung saya, merasakan benjolan keras di baliknya. Matanya membelalak, terkejut. "Astaghfirullah! Ini..?"
"Inilah sumber masalahnya, Ustadz," bisikku, suaraku penuh godaan. "Bantu saya, Ustadz. Bantu saya untuk ngocokin."
Ustadz Firman menelan ludah. Tangannya gemetar saat meremas gundukan di sarung saya. Dia bisa merasakan kemaluanku yang berdenyut-denyut di baliknya.
"Ardy... ini sungguh..." Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Saya tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Dengan gerakan cepat, saya melorotkan sarung saya hingga jatuh ke mata kaki. Kemaluan saya langsung melonjak keluar, tegang dan basah oleh precum. Dildo silver di pantat saya juga terlihat jelas di bawah cahaya rembulan yang samar.
Ustadz Firman menatap pemandangan itu. Matanya melebar, napasnya tertahan. Saya bisa melihat ketidakpercayaan di wajahnya, bercampur dengan gairah yang mulai membara.
Saya meraih tangan Ustadz Firman, menuntunnya ke arah kemaluan saya yang basah. "Ustadz, tolong saya. Kocok ini."
Dia ragu, tapi tangannya akhirnya menyentuh kemaluanku. Dia meremasnya dengan ragu-ragu, lalu perlahan mulai mengocoknya naik turun. Sentuhannya canggung, tapi saya bisa merasakan panas yang menjalar.
"Ahhh... Ustadz... lebih cepat," desahku, memejamkan mata.
Ustadz Firman menghela napas, dan kocokannya mulai teratur, lebih cepat. Saya menjambak rambutnya, menariknya lebih dekat, dan mencium bibirnya lagi dengan lapar. Kali ini, dia membalas ciumanku dengan penuh gairah, lidahnya bertarung liar dengan lidahku.
"Ustadz... enak sekali..." desahku di sela ciuman.
"Keluarlah lebih cepat dy" bisiknya di telingaku, suaranya serak.
"Ya, Ustadz. Bentar lagi akan keluar," jawabku.
Ustadz Firman melepaskan ciuman kami. Dia menatapku dengan mata penuh hasrat. "Ardy... aku tidak percaya aku ngelakuin ini..."
"Percayalah, Ustadz. Kita berdua yang tahu," bisikku lagi.
Aku memberanikan meramas kontolnya. Terasa sedikit nganceng walau aku tau itu belum sepenuhnya berdiri. Ku turunkan resleting celananya dan melorotkan celananya, lalu celana dalamnya. Kemaluan-nya yang setengah tegang langsung menyembul keluar, lebih kecil dari milikku, tapi tampak keras.
"Apa yang sedang kamu lakukan" Ucapnya kaget melihat tingkah ku.
"Tidak papa ustadz, tenang saja" Mendengar itu ustadz firman hanya terdiam membisu.
Saya menatapnya. Tanpa ragu, saya meraih kemaluannya. Jemariku melingkari batangnya yang hangat. Saya mulai mengocoknya perlahan. Gerakan naik turun, jemariku membelai kepala kemaluannya yang basah.
"Ahhh... Ardy... Ohhh..." desah Ustadz Firman.
Kami berdua terhanyut dalam kenikmatan. Saya mengocok kemaluan Ustadz Firman, sementara dia memegang kemaluan saya, mengocoknya dengan cepat. Tangan yang satu lagi saya gunakan untuk memelintir puting saya sendiri, menambah sensasi geli yang luar biasa. Suara desahan kami berdua memenuhi kesunyian semak-semak.
"Cepatlah ardy..." pinta Ustadz Firman, suaranya tercekat.
Saya mempercepat kocokan saya. Sementara itu, tangan Ustadz Firman juga semakin cepat mengocok kemaluan saya. Dildo di pantat saya terasa semakin menekan, seolah ikut merasakan gairah yang meluap-luap.
"Akhhh... Ustadz... saya mau keluar!" seruku, tenggorokanku tercekat.
"Aku juga, Ardy! Bersama!" Bisik Ustadz Firman.
Dan bersamaan dengan itu...
CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!
CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!
Sperma kami berdua muncrat. Sperma kami muncrat untah kemana kegelapan ini membuat ku tidak dapat melihat hal itu. Kami berdua jatuh terduduk, terengah-engah, tubuh kami lemas dan berkeringat. Nafas kami memburu, tapi ada senyum puas yang terukir di wajah kami.
Kami berdua diam sejenak, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja terjadi. Aroma sperma dan tanah bercampur di udara.
"Ustadz Firman..." ucapku, masih terengah.
Dia menatapku, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku tidak percaya ini terjadi, Ardy..."
"Kita berdua yang tahu, Ustadz," kataku. "Ini rahasia kita."Dia mengangguk pelan.
Saya tersenyum. "Saya juga, Ustadz. Sangat lega."
Kami duduk diam beberapa saat lagi, mengumpulkan tenaga. Bintang-bintang mulai terlihat lebih jelas di langit. Udara malam terasa lebih dingin, namun kami berdua diselimuti kehangatan yang aneh.
"Sebaiknya kita kembali ke pos ronda, Ardy," kata Ustadz Firman, akhirnya memecah keheningan. "Nanti mereka curiga."
"Baik, Ustadz."
Kami berdua membersihkan diri seadanya dengan beberapa lembar daun kering, merapikan pakaian kami, lalu keluar dari semak-semak. Di bawah sinar bulan yang semakin redup, mungkin karena gelap jadi ustadz firman tidak mengetahui aku sedang memakai dildo di pantat ku.
kami berjalan kembali ke pos ronda, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ustadz Firman," panggilku pelan.
"Ya, Ardy?"
"Terima kasih..."
Dia melirikku dan tersenyum tipis. "Sama-sama, Ardy. Semoga Allah mengampuni dosa kita."
Bersambung...

Comments
Post a Comment