Skip to main content

Ustadz Kampung: Chapter 4. Kepergok Jadi Threesome


Pikiranku kini tak bisa lepas dari dildo itu. Entah mengapa, ia telah menjadi benda wajib yang harus kukenakan. Aku pernah mencoba melepaskannya, tapi rasanya seperti ada yang kurang, hampa, jika benda itu tak lagi mengisi lubangku. Bahkan saat salat pun, ia tetap terpasang, seolah lubangku telah beradaptasi sepenuhnya. Awalnya, aku bingung harus menyimpannya di mana, takut ketahuan istriku. Tapi kini, mengenakannya justru terasa lebih aman, seolah benda itu adalah bagian dari diriku yang tak terpisahkan.

Hari ini, aku akan berkunjung ke tempat Bagas. Tadi, saat aku pulang dari kebun, tak sengaja kami berpapasan. Dia mengajakku bertamu di rumahnya. Sejujurnya, aku tahu betul maksud di balik ajakannya—apalagi kalau bukan untuk 'bermain'.

"Assalamualaikum," sapaku.

"Waalaikumsalam, eh, sudah datang, Ustadz. Mari masuk," seru Bagas, menyambut kedatanganku dengan senyum nakal.

"Orang rumah tidak ada?" tanyaku, sedikit cemas.

"Ibu lagi bantu-bantu di rumah Bu Halimah, ada hajatan. Pulangnya mungkin malam atau sore," jelasnya.

"Bapakmu?"

"Bapak jam segini masih di ladang, biasanya sore baru pulang."

"Oh, begitu."

"Tenang saja, Ustadz, aku tidak mungkin mengajak Ustadz kemari kalau rumahku sedang ramai." Bagas tersenyum mesum padaku. Pandangannya yang tajam seolah menelanjangiku, dan aku bisa merasakan hasratnya yang membara.

"Ustadz baru pulang salat?" tanyanya, matanya menyapu baju koko dan sarung yang kukenakan.

"Iya, baru saja pulang," jawabku.

"Pantas masih pakai baju koko."

Bagas mulai mendekatiku. Perlahan, pandangannya semakin dalam, napasnya terasa hangat menerpa wajahku, dan akhirnya, bibirnya menyentuhku. Sentuhan itu terasa sangat lembut, perlahan berubah menjadi lumatan yang dalam. Air liur kami bercampur, menciptakan rasa manis yang memabukkan. Kami berpelukan erat sambil berciuman, lama sekali.

"Lanjut ke kamar, yuk," seru Bagas, suaranya serak karena gairah.

Kami berdua melangkahkan kaki ke kamarnya. Kamarnya simpel, hanya ada kasur, lemari, dan meja di sudut ruangan. Kami yang sudah terbakar nafsu, seolah berada di bawah pengaruh setan, langsung bergegas menuju tempat tidur. Kami berdua bergegas melepas pakaian yang kami kenakan. Aku mulai melepas kancing bajuku, sarung serta celana pendek. Sampai kita berdua bertelanjang bulat Bagas menindihku, dan aku membalas setiap ciumannya dengan tak kalah intens.

"Ustadz masih pakai ini?" tanya Bagas, jemarinya menyentuh benjolan dildo pantat ku.

"Aku bingung mau menyimpannya di mana, takut ketahuan istri. Jadi kupakai saja," jawabku.

"Hahaha, persembunyian terbaik!"

Kami melanjutkan adegan kami. Aku mengangkat kedua kaki Bagas lebar-lebar, hingga kemaluan dan lubang anusnya terpampang jelas di hadapanku. Ah, aku tak tahan lagi. Tanpa ragu, aku mulai menusuk lubangnya.

"S-t-s-s... akhhh! Anjing! Ustadz, enak banget!" desah Bagas, matanya terpejam keenakan.

Aku menggenjot lubangnya tanpa ampun, memenuhi kamar dengan suara "plok, plok, plok" yang erotis. Lubang Bagas yang sempit dan begitu ketat membalut kemaluanku dengan sempurna. Setiap dorongan terasa begitu penuh dan intens, seolah lubangnya mencengkeram erat. Sensasi gesekan panas di setiap tarikan dan dorongan membuatku meracau, merasakan kenikmatan yang memuncak. Ini sungguh memabukkan, lebih dahsyat dari apa pun yang pernah kurasakan. Cengkeramannya begitu menggoda, membuatku tak ingin berhenti.

Hampir 15 menit aku melakukannya tanpa henti.

"Akhhh... s-t-s-s... akhhh!" desah Bagas, lidahnya terjulur seperti anjing yang kehausan.

"Enak?" tanyaku, napas terengah.

"Iya, enak!"

"Apa yang enak?"

"Kontol Ustadz!"

"Mau ini?"

"Iya, saya mau!"

"Nah, terima ini!" ucapku, dan mendorong kemaluanku sampai mentok ke dalam lubang Bagas.

"Akhhh! Anjing!" teriak Bagas, suaranya pecah karena kenikmatan.

Aku sangat ketagihan melihat ekspresinya. Dia terlihat sangat menikmatinya. Ah, aku tahu itu, dildo yang kukenakan di lubangku saja sudah sangat enak.

"Ustadz Ardy?" sebuah suara memanggil dari balik pintu.

Aku terkejut dan langsung menghentikan aksiku. Jantungku serasa jatuh ke perut, darahku berdesir kencang. Wajahku terasa panas membara, dan urat-urat di pelipisku menonjol. Aku merasa seperti tersambar petir, antara malu yang luar biasa dan rasa bersalah yang menghantamku. Pikiran tentang bagaimana nasibku sebagai ustadz jika ketahuan langsung berkelebat. Ini bencana, sebuah aib yang tak terbayangkan.

Aku menatap ke arah pintu. Itu adalah Ian, teman Bagas, yang juga masih satu kompleks. Dia tertawa melihatku, dan rasanya sangat memalukan. Lalu dia mulai mendekat.

"Jadi ini yang kamu bilang, Gas? Tidak menyangka itu seorang Ustadz. Wah, wah," kata Ian, matanya menyapu kami berdua.

"Lama banget datangnya," Seru Bagas, sedikit merengek.

"Ya maaf, ada urusan tadi." Ian lalu tersenyum nakal, menatapku dengan tatapan yang sama persis seperti yang sering kulihat pada Bagas. Dia mulai melepaskan satu per satu pakaiannya, dengan gerakan yang lambat dan menggoda, seolah ingin kami menikmati setiap detiknya. Kaosnya di lepas, memperlihatkan dada bidangnya yang berbulu tipis serta bulu ketiak yang lebat. Kemudian celana panjangnya melorot, diikuti celana dalam, hingga dia berdiri telanjang bulat, memamerkan tubuh atletisnya dan kemaluan yang sudah tegang berdiri gagah. Lebih panjang dari punya bagas, tapi sepertinya masih lebih besar punya ku. Kemaluannya menang di urat-urat yang tercetak jelas, ah kemaluannya siap untuk beraksi.

Aku masih kebingungan, tercengang melihat adegan di depanku.

"Tidak apa-apa, Ustadz. Si Bagas memang lonte kampung ini. Tapi tidak sangka juga kalau Ustadz juga doyan sama dia." Ian mulai mendekat dan mengulurkan kemaluannya yang membengkak keras ke arah mulut Bagas.

"S-t-s-s... akhhh! Anjing, enak banget!" desah Bagas, langsung melahap kemaluan Ian.

Perlahan, aku mulai menggerakkan pinggulku lagi dan melanjutkan menggenjot Bagas. Jujur, sangat tidak nyaman harus melakukan ini secara threesome, tapi gairahku sudah terlanjur meluap.

Ian memandangku, melihat tubuhku yang sudah dipenuhi keringat. Ia mengangkat daguku, dan "Cup!" Dia mulai melumat mulutku. Ciumannya dalam dan liar, lidahnya menari-nari penuh gairah di dalam mulutku, mencari lidahku untuk bertarung dan beradu hisapan. Bibir yang terasa rokok dan keringat bercampur di antara kami, menciptakan aroma maskulin yang memabukkan. Aku membalas setiap lumatan dengan tak kalah nafsu, membiarkan diriku tenggelam dalam pusaran kenikmatan terlarang ini.

Sepuluh menit kami melakukan ini, akhirnya Ian melepaskan kemaluan dari mulut Bagas. Lalu dia berdiri di atas kasur, tepat di depanku, sehingga pandanganku langsung mengarah ke arah kemaluannya yang tegak dan berurat.

"Hisap punyaku, Ustadz," pintanya dengan suara berat.

"Hah? Aku tidak pernah menghisap kemaluan, bahkan aku belum pernah menghisap kemaluan Bagas," jawabku, sedikit ragu.

"Kalau begitu, aku yang pertama!"

Lalu dia memegang kepalaku dan mendorongnya ke arah kemaluannya. Aku pun perlahan mulai menghisap kemaluannya. Rasanya agak amis dan aneh, tapi aku berusaha menikmatinya. Aku mengulum ujungnya dengan lembut, lalu menjilat batangnya dari pangkal ke ujung, sesekali mengulum semua yang bisa masuk ke mulutku, kemudian menariknya keluar dengan suara kecapan yang kencang. Aku mencoba bermain dengan lidahku, memutar-mutarnya di sekitar kepala kemaluan Ian.

"Akhhh! Bangsat!" desah Ian. Dia mulai menggenjot mulutku, rasanya pegal, tapi kenikmatan yang ditawarkan membuatku tak bisa menolak.

Lima menit kami melakukan itu, akhirnya dia melepaskannya. Ian duduk sebentar, sedangkan aku terus melanjutkan menggenjot Bagas. Ian berpindah ke belakangku, dia kaget melihat dildo yang sedang kupakai.

"Anjing! Dildo!" ucap Ian.

Dia lalu melepaskannya. Lubangku terasa kosong sejenak, ada sesuatu yang hilang, rasa hampa yang aneh setelah sekian lama terisi.

"Kenapa harus pakai itu kalau bisa pakai ini," lanjutnya, meludahkan sedikit air liur ke ujung kemaluannya dan perlahan mulai menusuk lubangku.

"Ahkkk! S-t-s-s... Ian, apa yang...!" Aku kaget saat kemaluan Ian mulai masuk ke dalam lubangku. Rasanya lebih besar dan lebih penuh daripada dildo. Panasnya menusuk, mendorong masuk dengan kuat, membuatku terkoyak sekaligus terpuaskan. Ada sensasi asing yang mencengkeram erat, membuatku bergidik sekaligus berdesir. Ini real, hidup, dan mengisi setiap jengkal lubangku.

Dia mulai menggenjotku.

Plok, plok, plok! Plok, plok, plok!

Ah, nikmatnya, depan belakang enak.

"S-t-s-s... bangsat, babi, enak banget!" desah Ian.

"Akhhh! Anjing!" desah Bagas.

"Akhhhh! Terus!" desahku, kami saling beradu desah. Kamar ini penuh dengan suara-suara kami bertiga.

Lima belas menit kami melakukan ini.

"Akhhh! Bangsat! Aku mau keluar!" seruku.

"Aku juga!" seru Bagas.

"Kita keluar bersama!" ucap Ian.

Kami semakin mendesah saat tiba-tiba aku mulai merasakan...

CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!

CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!

CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!

Kami bertiga muncrat bersamaan. Rasanya lubangku terasa hangat dan penuh dengan sperma Ian. Sedangkan spermaku meluap ke dalam lubang pantat Bagas. Bagas muncrat ke perutnya. Ah, terasa nikmat. Kami bertiga terengah-engah, tubuh kami lemas dan penuh keringat, namun ada senyum puas yang terukir di wajah masing-masing. Rasa pegal bercampur dengan ekstasi, meninggalkan jejak kenikmatan yang luar biasa yang takkan mudah terlupakan. Kelelahan ini terasa manis, seolah kami baru saja menyelesaikan maraton terpanjang dalam hidup.

Setelah beberapa saat, kami bertiga perlahan bangkit. Dengan langkah gontai, kami menuju kamar mandi. Suara gemericik air mengisi keheningan saat kami membersihkan tubuh yang lengket oleh sperma dan keringat. Kami saling membantu menggosok punggung dan membersihkan sisa-sisa "pertempuran" tadi.

Setelah itu, kami kembali ke kamar Bagas untuk memakai baju yang kita lepas. Kami bertiga duduk di lantai, bersandar pada dinding yang dingin, dengan tubuh masih sedikit kelelahan dan juga canggung.

"Bagaimana, Ustadz? Pengalaman baru, kan?" tanya Ian sambil menyeringai, matanya menatapku geli.

Aku hanya bisa tersenyum tipis, merasa malu tapi juga ada rasa puas yang aneh. "Gila. Aku tidak tahu ini bisa sebegini intens."

Bagas tertawa pelan. "Tapi enakkan."

"Jadi, kapan kita bisa mengulanginya lagi?" Ian bertanya, matanya berkilat nakal, menatapku dan Bagas bergantian.

Aku melirik Bagas, yang hanya mengangkat bahu dan tersenyum. Rasanya ada sesuatu yang baru saja terbuka dalam diriku, sebuah pintu menuju dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Doakan saja," jawabku, suaraku masih sedikit serak. "Aku harus pulang untuk menjemput istriku di pasar."

"Baiklah, Ustadz. Makasih ya." Ian dan bagas berseru. Aku hanya mengangguk mengiyakan

"Assalamualaikum," ucapku, dan mereka menjawab serentak.

Ah Sekarang aku sedikit takut jika aib ku terbongkar. 

Bersambung,...




Comments

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...