Beberapa hari setelah kejadian di semak-semak, ada yang berbeda dari Ustadz Firman. Dia mulai menjauhiku. Di masjid, dia tak lagi menyapaku dengan kehangatan seperti dulu. Saat berpapasan, pandangannya sering menghindar, atau jika terpaksa bertatapan, ada gurat penyesalan dan ketakutan yang jelas di matanya. Dia nyaris tak pernah berbicara denganku lagi, kecuali hal-hal yang benar-benar penting dan seperlunya.
Saya tahu ini karena kejadian malam ronda itu. Ustadz Firman, yang saya tahu adalah sosok alim dan menjaga diri, pasti sangat menyesali perbuatannya. Dia berumur 35 tahun, dengan jenggot dan kumis yang tidak terlalu panjang namun rapi, wajahnya tampan dan berwibawa, membuatnya terlihat sangat disegani di kampung ini. Melihat penyesalannya, sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah di hatiku. Tapi di sisi lain, dorongan hasrat yang sudah terlanjur terbangun di antara kami membuatnya sulit bagiku untuk benar-benar melepaskannya. Sensasi malam itu masih terekam jelas di benakku, dan aku ingin merasakannya lagi.
Pagi itu, setelah Salat Subuh berjamaah, Ustadz Firman langsung bergegas pulang tanpa menungguku seperti biasanya. Itu membuat ku kepikiran, disisi lain aku sedih, tapi disisi lain pikiran kotor ku kangen dengan hal itu. Alhasil Saya memutuskan untuk menghadapinya karena Ini tidak bisa terus-menerus begini.
Saya berjalan menuju rumah Ustadz Firman. Pintu pagarnya terbuka sedikit. Saya melangkah masuk, melewati halaman yang rapi dengan beberapa pot tanaman hias. Saya mengetuk pintu kayu yang tertutup rapat.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama, terdengar suara langkah kaki dari dalam, dan pintu terbuka. Ustadz Firman muncul di ambang pintu masih mengenakan baju koko dan sarung lengkap. Wajahnya terlihat kaget melihatku.
"Assalamu'alaikum, Ustadz Firman," sapaku, mencoba tersenyum ramah.
"Wa'alaikumussalam, Ardy. Ada apa?" tanyanya, suaranya terdengar tegang dan matanya langsung menyiratkan kecemasan. Dia melirik ke belakangnya, seolah memastikan tidak ada orang lain yang mendengar.
"Saya ingin silaturahmi saja, Ustadz. Sudah lama tidak ngobrol santai," jawabku, berusaha tenang. Saya tahu istri Ustadz Firman, Bu Fatimah, adalah sosok yang lembut dan solehah. Keberadaannya di dalam rumah membuat suasana semakin tegang, dan tapi aku tdiak memperdulikan, ini karena nafsu liarku untuk semakin menggoda Ustadz Firman.
Ustadz Firman terlihat ragu-ragu. "Eh... maaf, Ardy, tapi saya sedang ada urusan sedikit. Mungkin lain kali saja?"
"Tidak usah sungkan, Ustadz. Saya hanya ingin sebentar saja. Ada yang ingin saya bicarakan," kataku, melangkah maju sedikit, mendekati pintu. Senyumku semakin menggoda, tatapanku menelusuri wajahnya yang tegang, hingga turun ke dadanya yang tertutup baju koko. Aku bisa melihat dadanya sedikit naik turun, menandakan napasnya yang terengah.
Dia semakin gelisah. "Ardy, ini tidak etis. Ada istri saya di dalam." Dia bahkan menempelkan telunjuk di bibirnya, isyarat agar aku tidak bicara keras-keras.
"Justru itu, Ustadz," bisikku, melangkah lebih dekat lagi, hingga tubuh kami nyaris bersentuhan. Saya bisa mencium aroma tubuhnya yang soft, aroma khas yang hanya ada pada tubuhnya. "Saya merasa... ada sesuatu yang mengganjal di hati saya setelah malam itu. Saya merasa... sangat bersalah karena telah membuat Ustadz merasa tidak nyaman." Saya sengaja menggunakan kalimat ambigu, berharap dia mengerti bahwa yang kubicarakan adalah kenikmatan yang terlarang itu, bukan sekadar ketidaknyamanan biasa.
Wajah Ustadz Firman semakin memerah. Matanya melirik ke arah dalam rumah lagi, seolah takut ada yang mendengar. "Ardy, tolonglah... jangan bicarakan itu di sini."
"Saya tahu, Ustadz. Makanya saya kemari. Saya ingin memastikan Ustadz baik-baik saja," kataku, kini tanganku terangkat, menyentuh lengan bajunya yang panjang. Jemariku bermain di sana, mengusap pelan kain katun yang lembut.
Ustadz Firman terlonjak kecil saat sentuhanku. Dia menarik lengannya pelan, tapi tidak sepenuhnya menjauh. Matanya yang indah menatapku, penuh dengan kepanikan dan rasa bersalah, namun aku juga menangkap kilatan gairah yang tersimpan di sana.
"Ardy, kumohon... ini sangat berbahaya. Istriku ada di dalam." Suaranya berbisik, memohon.
"Gapapa, Ustadz tenang saja," bisikku balik, nadaku semakin dalam dan menggoda, "Maka dari itu, saya ingin Ustadz tahu bahwa saya juga merasa... tidak tenang. Saya ingin menebusnya."
Saya melangkah maju lagi, kali ini sampai tubuh kami bersentuhan penuh. Saya bisa merasakan kehangatan tubuhnya menembus kain baju kami. Sensasi ini memicu kemaluanku yang sudah memakai dildo untuk menegang lebih keras. Gundukan di balik sarungku kini mendorong perut bawah Ustadz Firman, memberikan isyarat jelas tentang hasratku.
Ustadz Firman terkesiap. Matanya membelalak kaget. Dia berusaha menarik diri, tapi aku mendekapnya lebih erat, seolah tak sengaja.
"Ardy! Apa yang kamu lakukan?!" bisiknya panik, suaranya lebih keras dari sebelumnya.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat dari dalam rumah. "Mas? Siapa di luar?" Suara lembut Bu Fatimah memanggil.
Ustadz Firman langsung panik. Wajahnya pucat pasi, matanya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Dia mendorongku menjauh dengan kasar, tapi aku tetap tersenyum.
"A-Ardy, kumohon... ini... ini tidak bisa di sini..." bisiknya, gemetar. Matanya memohon padaku.
"Kalau begitu, di mana, Ustadz?" tanyaku, nadaku penuh tuntutan. Aku tahu aku sudah berhasil memojokkannya. Dia takut istrinya tahu, dan ketakutan itu akan membuatnya menyerah padaku.
Ustadz Firman melihat sekeliling, mencari solusi. Matanya tertuju pada sebuah pintu dekat ruang tamu, yang kupikir adalah salah satu kamar kosong atau mungkin gudang.
"Cepat! Masuk ke sana!" bisiknya, meraih tanganku dan menarikku cepat-cepat ke arah pintu itu. Dia membuka pintu, mendorongku masuk, lalu dia ikut masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
Kami berada di dalam sebuah kamar kosong yang gelap dan pengap. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di atas. Udara terasa dingin dan berdebu karena memang ini masih sangat pagi.
Deg! Deg! Deg! Jantungku berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena gairah yang meluap. Ini dia. Aku berhasil.
"Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim..." Ustadz Firman terus beristighfar, tubuhnya gemetar. Dia bersandar di pintu, napasnya memburu. "Apa yang sudah kita lakukan ini, Ardy? Ini rumahku... ada istriku..." Serunya pelan.
Saya tidak menjawab. Saya melangkah mendekat kepadanya di kegelapan. Aroma tubuhnya, keringatnya, bercampur dengan aroma debu di ruangan itu.
"Ustadz Firman," bisikku, suaraku dalam dan menggoda. Tanganku terangkat, menyentuh pipinya yang dingin dan kasar karena jangut. "Kita sudah sampai di sini. Tidak ada jalan kembali."
Dia menatapku, matanya dipenuhi keresahan, namun gairah yang tersembunyi kini mulai muncul ke permukaan, tak bisa lagi disembunyikan. Tubuhnya bergetar, bukan karena takut lagi, melainkan karena hasrat yang membara.
"Ardy... jangan..." bisiknya, tapi suaranya melemah.
Saya tidak memberinya kesempatan. Saya maju, meraup bibirnya dengan lapar. Ciuman kami liar dan brutal, penuh dengan hasrat yang tertahan. Lidahku masuk, menjelajahi setiap sudut mulutnya, beradu dengan lidahnya yang kini membalas dengan tak kalah buas. Tangan Ustadz Firman yang tadinya gemetar, kini melingkari pinggangku, meremasnya erat.
Sarung saya yang longgar langsung tersingkap, membiarkan kemaluanku yang sudah tegang dan berdenyut bergesekan langsung dengan sarung kainnya yang tebal. Sensasi gesekan kain kasar di kepala kemaluanku membuatku mendesah di sela ciuman.
Saya bisa merasakan dildo di pantat saya yang kini memanas, seolah ikut bergairah.
Ustadz Firman melepaskan ciuman kami, napasnya terengah-engah. Wajahnya merah padam, tapi matanya menunjukkan nyala api yang sama denganku. "Ardy... aaa aku..."
"Nikmati saja, Ustadz," bisikku, tanganku bergerak cepat membuka kancing baju kokonya. Ustadz Firman tidak menolak, bahkan sedikit mengangkat tangannya, mempermudah aksiku. Kemeja kokonya terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang berbulu tipis. Saya meremas putingnya yang kecil, dan Ustadz Firman mendesah keras.
"Ahhh... Ardy..."
"Jangan berisik" Seru ku pelan.
"Sekarang sarung Ustadz," kataku.
Dia mengangguk. Dengan tangan gemetar, Ustadz Firman melorotkan sarungnya dan celana pendek yang dikenakan, dan kemaluannya langsung menyembul keluar, tegang dan kokoh. Ukurannya tidak sebesar milikku, tapi tetap menggoda apalagi diameternya yang besar, dan berurat. Kontolnya benar-benar masih terlihat pink. Berbeda dengan ku yang terlihat keunguan.
Kini kami berdua telanjang bulat di dalam kamar kosong yang pengap itu. Aroma keringat dan gairah memenuhi ruangan.
"Duduk, Ustadz," pintaku.
Ustadz Firman menurut. Dia duduk di lantai, bersandar pada dinding yang dingin. Saya berdiri di depannya, menatap tubuhnya yang indah dan maskulin. Saya berlutut, meraih kemaluannya yang berdiri tegak. Saya mulai menghisapnya dengan lembut, lidahku bermain di ujungnya yang basah oleh precum.
"Ahhh... Ardy...!" desah Ustadz Firman pelan, tangannya menjambak rambutku, menarik kepalaku lebih dalam.
Saya terus menghisap, menjilat, dan mengulum kemaluannya. Lidahku memutari kepalanya, turun ke batangnya, lalu kembali lagi ke ujung. Sesekali, saya menghisapnya dalam-dalam hingga pangkal, membuat Ustadz Firman melenguh keenakan.
"Ustadz... Stsss ahhhk ohhh..." desahnya yang keluar walaupun sudah menutup mulut.
Saya mendongak, menatapnya dengan mata berapi-api. "Ini baru permulaan, Ustadz."
Saya melepaskan hisapan saya. Ustadz Firman terengah-engah. Lalu saya membalikkan badanku, berlutut dengan pantat terangkat, menunjukkan lubang anusku yang dihiasi dildo.
"Ustadz... bantu saya lagi," pintaku, suaraku serak.
Ustadz Firman menatap dildo di pantatku. Matanya membelalak, campuran kaget dan tertarik terlihat jelas.
"Itu... Apa yang kamu pakai?" tanyanya, suaranya tak percaya.
"Tentu saja, Ustadz. Ini dildo. Dan Ustadz, tolong lepaskan ustadz," godaku.
Ustadz Firman ragu sejenak. Tapi melihatku yang sudah sepenuhnya terbuka di depannya, dengan kemaluanku yang masih tegang dan siap, serta dildo yang menantang, dia akhirnya menyerah pada godaan. Dia merangkak mendekat, meraih dildo di pantatku. Dan mengeluarkannya.
"Akhhh pelan-pelan bang," Seru ku berbisik .
Dengan gerakan gemetar, Ustadz Firman meludahkan sedikit air liur ke kontolnya, lalu perlahan mendorongnya masuk ke lubang anuskku.
"Ahhh! S-t-s-s... Ustadz... pelan-pelan..." desahku, merasakan sensasi penuh dan menusuk saat kontolnya itu melesak masuk. Lubang anuskku yang sudah terbiasa dengan dildo memang tidak terlalu sakit, tapi tetap saja ada sensasi penuh dan terisi penuh yang luar biasa. Apalagi saat kontolnya menyentuh sesuatu di dalamnya.
Setelah kontolnya masuk sepenuhnya, Ustadz Firman mulai menggerakkan pinggulnya, menggenjot kontolnya yang tertancap di pantatku. Plok! Plok! Plok! Suara gesekan tubuh kami mengisi ruangan gelap itu.
"Ahhh! Enak, Ustadz! Terus!" desah ku berbisik,
Sementara Ustadz Firman sibuk menggenjotku dari belakang, aku meraih kemaluannya yang masih tegang dan mulai mengocoknya dengan cepat. Aku juga memelintir putingku yang sudah berdiri.
"Akhhh! Ardy! Aku tidak tahan!" Bisiknya pelan, suaranya tercekat.
Kami berdua terhanyut dalam gelombang kenikmatan. Ustadz firman menggenjotnya dari belakang dengan kontol, aku mengocok kemaluannya, dan memelintir putingku. Dengan gaya doggy. Ustadz Firman menggenjot lubang pantatku, memegang kemaluanku, dan mendesah keras.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar kamar. "Mas? Mas di mana?" Suara Bu Fatimah terdengar dari lorong, semakin dekat.
Kami berdua langsung terlonjak kaget. Jantungku serasa ingin copot, dan Ustadz Firman langsung menghentikan gerakannya. Wajahnya pucat pasi, matanya menunjukkan ketakutan yang amat sangat.
"Sial! Istriku!" bisiknya panik.
"Cepat, Ustadz! Lepaskan! Bereskan!" bisikku, tak kalah panik.
Ustadz Firman buru-buru melepaskan kontolnya dari pantatku. Suara "plup!" terdengar saat kontolnya terlepas. Dia meraih celananya dan sarungnya dengan tangan gemetar. Kami berdua berusaha merapikan diri secepat kilat dalam gelap. Aku menarik sarungku dan mengikatnya asal-asalan serta dildo yang ke masukan kembali ke dalam lubang ku, sedangkan Ustadz Firman menarik celana dan bajunya.
Pintu kamar mendadak digedor. "Mas! Kamu di dalam? Kenapa dikunci?" Suara Bu Fatimah terdengar jelas di balik pintu.
Ustadz Firman menatapku dengan mata memohon. "Bagaimana ini, Ardy?!"
"Tenang, Ustadz! Bilang saja sedang memperbaiki sesuatu," bisikku, berusaha tetap tenang.
Ustadz Firman menghela napas panjang. Dengan tangan gemetar, dia membuka kunci pintu.
Pintu terbuka, dan Bu Fatimah berdiri di sana, menatap kami dengan mata sedikit menyipit. "Mas? Kamu di sini? Kenapa dikunci?" tanyanya, suaranya penuh selidik. Dia melirikku yang berdiri di belakang Ustadz Firman, sarungku terlihat sedikit miring.
"Eh, Fatimah... ini... ini Ustadz Ardy kemari. Tadi kami sedang mengecek saklar lampu di kamar ini, agak longgar," jawab Ustadz Firman, suaranya sedikit gugup. Wajahnya masih pucat, dan saya bisa melihat keringat dingin membasahi pelipisnya.
Bu Fatimah menatapku, lalu ke arah kamar yang gelap. "Oh, begitu. Maaf, saya kira kamu kenapa-kenapa di dalam kamar gelap begini."
"Tidak apa-apa, Bu Fatimah. Kami sudah selesai kok," kataku, berusaha tersenyum ramah. Jantungku masih berdebar kencang. Nyaris saja!
"Oh ya, Ustadz Ardy, sudah lama tidak main ke sini. Kenapa aku buatin teh ya?" tanya Bu Fatimah.
"Eh gak usah, saya juga mau balik. Gak enak istri nunggu di rumah. Ustadz Firman mengajak saya mengecek lampu ini sebentar," jawabku, berusaha meyakinkannya.
"Ya sudah kalau begitu." kata Bu Fatimah, lalu berbalik pergi ke dapur.
Kami berdua menghela napas lega bersamaan setelah Bu Fatimah pergi. Ustadz Firman langsung bersandar di dinding, tubuhnya lemas.
"Nyaris saja, Ardy! Nyaris saja!" bisiknya, napasnya terengah-engah. "Aku tidak percaya kita melakukan ini di rumahku sendiri!"
Saya tersenyum padanya, meski jantungku masih berdebar kencang. "Tapi Ustadz, rasanya enak, kan?"
Ustadz Firman menatapku. Ada campuran kemarahan, penyesalan, dan gairah yang tersisa di matanya. Dia tidak menjawab, hanya menghela napas lagi.
"Mari kita keluar, Ustadz. Jangan sampai dicurigai lagi," kataku.
Kami berdua melangkah keluar dari kamar kosong itu, berusaha bersikap normal.saya memutuskan untuk pamit pulang.
"Saya pamit dulu ya, Ustadz Firman, Bu Fatimah. Terima kasih nnti kalau ada apa-apa kabarin saya saja," ucapku, berusaha sopan.
"Sama-sama, Ustadz Ardy. Sering-sering mampir ya," kata Bu Fatimah dengan ramah.
Ustadz Firman hanya mengangguk, masih terlihat gelisah.
"Assalamualaikum," ucapku.
"Waalaikumsalam," jawab mereka berdua.
Saat saya berjalan keluar dari rumah Ustadz Firman, saya menoleh ke belakang. Ustadz Firman masih berdiri di depan pintu, menatap saya dengan tatapan yang sulit diartikan. Saya tersenyum nakal kepadanya, dan dia langsung membuang muka.
Bersambung....

Comments
Post a Comment