Skip to main content

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 6. Sungai

 

Minggu-minggu berlalu bagaikan pusaran air. Rutinitas kerja kuli di Desa Mandiri kini punya babak kedua yang tak terpisahkan: menjadi budak nafsu teman-teman sendiri. Setiap jam istirahat, setiap pulang kerja, gubuk alat itu jadi saksi bisu. Pantatku terasa semakin lebar, semakin terbiasa menerima, dan yang lebih gila, aku mulai menikmatinya. Rasa perih berganti nikmat, rasa malu berganti kenikmatan yang memabukkan. Ah aku benar-benar menikmatinya. Sensasi ciumannya, keringat tubuh mereka. Puting ku yang di pelintir lubang ku yang ditusuk kontol. Semuanya aku suka. 

Sore itu, setelah seharian penuh mengangkut material bangunan, tubuhku terasa lengket dan gerah. Aku pulang masih dengan butuh yang lengket dengan proyek, semen, pasir, tanah, dan tentu saja sperma ku. 

Di perjalan pulang, aku berfikir untuk membilas tubuh ku sedikit di sungai. Sungai di Desa Mandiri ini bersih dan tentu saja ini  sungai ini merupakan sumber air warga banyak warga yang melakukan aktivitas mereka sini, seperti mandi, nguci dan lain-lain, airnya jernih,

Saat tiba aku melihat penduduk sudah banyak di sini, jam segini emang jam-jamnya rame. Aku yang tidak ingin cupangan cupangan aku fi ketahui oleh orang lain. Memilih untuk mencari tempat yang agak sedikit sunyi. Aku berjalan agak menjauh hingga suara warga hilang di gantikan dengan air yang mengalir, Ada bagian yang agak tersembunyi, jauh dari pemukiman, di balik rimbunnya pepohonan bambu. Tempat favoritku untuk menyendiri.

Saat tiba di tepian, aku melihat siluet seseorang di kejauhan, di antara bebatuan besar. Sepertinya bukan warga desa biasa. Posturnya tegap, mengenakan kaos polos coklat dan celana pendek sepaha. Dari kaosnya terdapat logo kepolisian. 

Ternyata Dia adalah Burhan, dia adalah polisi. Perawakannya gagah, otot bisepnya tercetak jelas di balik kaosnya. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh, tapi matanya memancarkan kehangatan. Semua wanita di desa membicarakannya. Dan aku, yang kini memiliki selera baru, merasa tertarik.

Aku memutuskan untuk tetap mendekat. Saat datang ternyata dia sudah bertelanjang dada. Dan Dia sedang menyabuni tubuhnya di balik batu besar. Air sungai membasahi tubuhnya, membuat otot-ototnya semakin jelas terlihat. Aku merasakan kontolku mulai berdenyut.

"Wah, Pak Polisi, rajin mandi sore-sore?" sapaku, sengaja membuat suaraku terdengar ramah tapi sedikit menggoda.

Burhan terkejut, menoleh ke arahku. Matanya membulat sesaat, lalu senyum tipis mengembang di bibirnya. "Eh, Fikri. Iya nih, gerah banget. Kamu juga mau mandi?"

"Mau bilas-bilas aja biasa baru selesai nguli penuh tanah. Mau mandi tapi gak bawa sabun," jawabku sambil melangkah lebih dekat. Aku menanggalkan kaos dan celana pendekku. Sengaja, aku bergerak lambat, memastikan tubuhku yang dan sedikit berbulu terlihat jelas di sekitar pusar. Aku hanya menyisakan celana dalam boxer yang sudah basah oleh air.

Burhan menatapku. Matanya menyapu tubuhku, berhenti sejenak di dadaku sepertinya dia agak shock ngeliat dada dan leher ku yang penuh dengan tanda cupangan, lalu turun ke celana dalamku yang menonjol karena basah. Aku bisa merasakan tatapannya yang intens. Sebuah senyum tipis kembali tersungging di bibirnya.

"Abis ngapain fik sampe banyak tanda gitu." Suaranya berat, ada nada pujian di sana.

Aku terkekeh, sengaja membusungkan dada. "Ah, ini biasa." Sambil sesekali tangan ku menyentuh dada ku. Seakan memamerkan hasil yang telah ku lakukan. 

Aku sengaja menatap otot bisepnya, lalu sedikit melirik ke bawah, ke arah pangkal pahanya yang sedikit tertutupi air.

Burhan tertawa kecil. "Banyak bener."

Aku melangkah ke air, membiarkan dinginnya sungai membasahi tubuhku. Airnya sejuk, terasa begitu nyaman setelah seharian berkeringat. Aku sengaja membasahi badan ku membersihkan badan ku dari sisa-sisa pasir, juga sesekali membersihkan puying ku yang sebenarnya sudah bersih tapi aku ingin dia melihat dengan jelas cupangan ku. 

Aku mendekat ke arah Burhan, air sungai mencapai pinggangku. "kanapa mandi sendirian pak?"

Burhan tersenyum tipis. "Malu saya mandi di sana banyak orang." Jawabnya

"Sama dong apalgi cupangan ku lagi banyak, makanya ke sini" . 

"Itu cupangan kerjaan istri kah?" Tanya dia penasaran. 

"Aku mah duda, gak punya istri aku" Jawab ku. Dia sepertinya agak terkejut. 

"Loh lalu itu hasil dari siapa?" Tanya dia penasaran. 

"Adalah, namanya juga jomblo. Pasti cari keenakan sendiri. Kamu pasti pernah juga kan nyari perek buat muasin kamu"

"Ya pernah, cuman gak sampe bercupangan, biasa aku yang nyupangin lawan main ku."

"Kalau gitu boleh dong nambah cupangan ku?"

"Hah maksud mu?"

"Fetis ku, itu suka kalau ada yang ngasih tanda cupang" Jawab ku. 

Burhan terkekeh. "Kamu bisa aja, Fik." Matanya kini menatap lurus ke mataku. Ada sesuatu di sana, gairah yang terpendam.

Aku melangkah lebih dekat, hingga tubuh kami hanya berjarak satu lengan. 

"Nih coba kamu cupangin saya" Ujur ku menawarkan. 

Burhan terlihat kebingungan, tapi aku langsung menariknya mendekat. Dia sepertinya tidak menolak. Lalu aku arahkan kepalanya ke leher ku. Seketika dia mulai mencium leher ku. Dan mengisapnya dengan kuat. Setelah itu melepaskannya. 

"Gimana?" Tanya ku. 

"Hehe udah ada tanda" Serunya

"Haha maksih ya"

Aku bisa merasakan hawa panas yang memancar dari tubuhnya, kontras dengan dinginnya air sungai. Ah kontol ku sekarang sudah berdiri sangat tegak. Begitupun dengan celana yang dikenakannya. Karena basah aku dapat melihat tonjolan kontolnya yang sudah nganceng. 

Aku menjulurkan tanganku, menyentuh lengannya yang berotot.

"Gimana kalau... kita berdua aja di sini, Pak Polisi?" bisikku, suaraku sengaja dibuat manja. "Biar lebih seru mandinya."

Burhan menelan ludah. Matanya membulat sedikit. Dia tahu apa yang kuinginkan. Ketegangan memenuhi udara.

"Fikri..." bisiknya, suaranya serak. "Kamu... Gak keberatan?" Aku menggeleng menandakan kalau aku tidak keberatan. Bagaimana mungkin aku keberatan. 

Aku tersenyum, lalu pandanganku turun ke celana dalamnya yang basah, memperlihatkan tonjolan kontolnya yang kini sudah terlihat lebih besar. "Aku serius loh han." Tangan ku sudah berada di dadanya, sesekali ku sentuh pentilnya. "Akhhh" Desahnya lolos dari mulutnya. 

Mata Burhan memancarkan gairah yang tak terbendung. Dia tak bisa lagi menahan diri. Dia meraih tanganku, lalu menarikku ke belakang batu besar, tempat yang lebih tersembunyi. Suara air gemericik di sekitar kami, menutupi suara desahan yang akan keluar nanti.

Di balik batu besar itu, kami berdua saling berhadapan. Burhan menatapku dengan mata yang penuh hasrat. Dia langsung menarik celana dalamnya ke bawah, membebaskan kontolnya yang besar dan keras. Aku melotot. Ukurannya lumayan panjang dan tebal, coklat berurat dengan kepala kontol keunguan, bahkan mungkin sedikit lebih besar dari Jaka.

"Gila, han..." bisikku, napasku tercekat. "Gede banget..."

Burhan menyeringai. "Kamu suka?"

Aku mengangguk, kontolku sudah berdiri tegak, mengeluarkan sedikit cairan bening. Rasa gatal di pantatku semakin menjadi.

Tanpa menunggu lama, Burhan mendorongku agar bersandar di batu besar. Air sungai yang mencapai pinggang kami membuat kami bergerak lebih mudah. Dia meraih pinggulku, membelai pantatku yang kini telanjang. Aku meremas boxer ku yang sudah kulepas, berusaha menahan desahan.

Burhan meludah sedikit di tangannya, lalu melumasi kontolnya. Aku merasakan napas panasnya di belakangku. Perlahan, dia mendekatkan ujung kontolnya ke lubang pantatku. Aku merasakan denyutannya yang kuat.

"Siap, Fik?" bisiknya, suaranya berat.

"Siap, han... tusuk aku... anjingg!" desahku, tak sabar.

Burhan mendorong perlahan. Aku merasakan perih yang menusuk, tapi juga sensasi penuh yang luar biasa. Kontolnya yang besar terasa merobek perlahan lubang pantatku yang sudah terbiasa tapi kini kembali meregang.

"Akhhh... stsss... ahkkk... sakit... tapi... enak banget!!!" aku mengerang, mencengkeram erat batu di depan ku.

Burhan terus mendorong. Dengan satu dorongan kuat, kontol Burhan masuk sepenuhnya ke dalam lubang pantatku. Rasanya seperti ada sesuatu yang membengkak di dalamku, panas membakar, tapi juga kenikmatan yang tak terlukiskan. Lubang pantatku terasa begitu penuh, melar, dan basah.

"Aaaaaahhhhh!!!" aku melengking. "Masuk, Pak Polisi... masuk semua... anjinggg... kontolmu gede banget... enak!!!"

Burhan mendesah puas. "Stsss... ahhh... Anjingg sempit banget, Fik... ini baru pantat idaman..."

Dia mulai menggerakkan pinggulnya, maju mundur dengan ritme yang stabil. Air sungai yang mengalir di sekitar kami membuat gerakan semakin licin dan nikmat. Setiap hentakan terasa begitu dalam, menggebrak titik-titik sensitif di dalam pantatku. Aku memejamkan mata, kepalaku mendongak, merasakan sensasi kontolnya yang besar menghantam lubang pantatku.

"Ohhh... Pak Polisi... terus... jangan berhenti... anjingg... enak banget!!!" desahku. Suaraku kini tidak lagi tertahan, keluar begitu saja, berpadu dengan suara gemericik air dan desahan Burhan.

Burhan menggeram, hentakannya semakin cepat dan brutal. Kontolnya yang besar terasa menggesek-gesek dinding lubang pantatku, membuatku semakin gila. Putingku di jamah olehnya di pelintir dan di cubit-cubitnya. Keringat membanjiri tubuhku, bercampur dengan air sungai yang dingin.

"Sssshhh... Fik... Enak banget... ahhh... dalam lagi..." Burhan mendesah, suaranya berat.

Aku merasakan kontolnya menghantam titik terdalam, membuatku melengkung. Aku mengangkat pinggulku, membalas setiap dorongannya, ingin lebih banyak lagi.

"Fuck me, Pak Polisi... tusuk aku, Pak Polisi... lebih dalam... ahhh... lagi!!!" Aku meracau kagilaan, pikiran sudah melayang entah ke mana, hanya ada kenikmatan yang tak tertahankan.

Burhan meraih kedua tanganku, memegang erat, lalu menghentakku dengan kecepatan penuh. Dia mendorong kontolnya hingga ke dasar, memenuhiku sepenuhnya. Aku merasakan gelombang panas yang memuncak, semakin kuat. Kontolku yang sudah lama tegang kini berdenyut-denyut hebat, siap untuk melepaskan.

"Ahhh... Pak Polisi... aku... aku mau crot!!!" desahku, suaraku parau.

"Bareng, Fik... bareng!!!" Burhan menggeram, hentakannya semakin cepat.

Aku menjerit, tubuhku kejang,

CROOTT CROOTT CROOTT

Burhan mengerang keras, dan aku merasakan semburan hangat yang deras membanjiri lubang pantatku. Cairan kental dan panas itu membanjiri seluruh lubangku, terasa sangat penuh dan nikmat. Dia terus mendorong untuk beberapa hentakan lagi, memastikan semua spermanya masuk, sebelum akhirnya ambruk di memeluk ku, masih dengan kontolnya yang tertanam di dalamku.

Kami berdua terengah-engah, tubuh kami lemas. Napas kami memburu, bercampur dengan suara gemericik air sungai. Burhan perlahan menarik kontolnya keluar. Aku merasakan sensasi kosong yang aneh, namun juga kelegaan yang luar biasa. Dia ambruk di sampingku, bersandar pada batu besar yang sama, masih terengah-engah.

"Gila, Fik..." kata Burhan, suaranya serak. "Enak banget... kamu memang mantap."

Aku hanya bisa mengangguk, masih terengah-engah. Pantatku terasa perih, tapi rasa nikmat itu jauh lebih dominan. Aku menatap Burhan. Wajahnya puas, matanya berkilat.

"Pak Polisi juga... gila... gede banget... dan enak..." bisikku, tak mampu menyembunyikan senyum puas di bibirku.

Burhan tertawa, tawanya dalam dan puas. "Jadi, mau lagi kapan-kapan, Fik?"

"Boleh" Ucap ku. 

Aku menatapnya, lalu tersenyum. Di tengah sungai yang sunyi, di bawah rimbunnya pepohonan bambu, Desa Mandiri kembali menyimpan rahasia baruku. Rahasia yang lebih liar, lebih memuaskan, dan terus membuat lubang pantatku yang kini ketagihan selalu gatal menginginkan jamahan baru.

Bersambung.... 



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...