Perkenalkan, namaku
Iksan. Saat ini, aku adalah seorang santri di sebuah pesantren yang cukup tua
di Jawa Barat. Usiaku baru menginjak enam belas tahun, usia di mana gejolak dan
rasa ingin tahu seolah menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah. Secara fisik,
aku memang tidak jauh berbeda dengan remaja seusia di sini kurus, namun
memiliki fitur wajah yang oleh sebagian orang dianggap 'di atas rata-rata'.
Hidungku mancung, bibirku merona alami, dan kulitku terbilang sangat putih,
kontras dengan rata-rata teman-teman di pesantren.
Bagi sebagian besar
orang, termasuk beberapa santriwati yang diam-diam sering melirik dari
kejauhan, fisikku ini terbilang tampan. Aku sendiri tidak terlalu
memikirkannya. Aku tinggal di kamar asrama berukuran sedang bersama empat teman
sekamar lainnya.
Aku harus jujur, aku
bukan tipe santri yang alim, apalagi berprestasi dalam bidang akademik atau
hafalan. Namun, aku juga bukan termasuk kategori anak nakal yang sering
melanggar peraturan besar. Aku berada di tengah-tengah; biasa-biasa saja.
Menjalani rutinitas pondok yang padat: bangun subuh, mengaji, sekolah, dan
kembali mengaji.
Kehidupan yang datar
dan monoton, sampai suatu malam, saat rutinitas itu sedikit terpecah.
Malam itu, setelah
usai shalat Isya berjamaah di masjid agung, aku dan Agus, teman sebangku dan
sekamarku, memutuskan untuk kembali ke asrama lebih awal. Kami sudah terlanjur
malas untuk ikut sesi setoran hafalan malam. Sementara
itu, Wardy dan Nanda, dua teman sekamar kami yang lain, memilih bertahan untuk
menuntaskan setoran hafalan mereka yang tertunda tadi sore.
Sesampainya di kamar
kami sebuah ruangan persegi dengan lima dipan kayu berjajarkami langsung
merebahkan diri di ranjang masing-masing. Ranjangku berada di sudut ruangan,
tepat di pojokan, dan ranjang Agus persis di sebelahku, hanya terpisah jarak
setengah meter.
Agus memiliki
perawakan yang tak jauh berbeda denganku; kurus dan berhidung mancung.
Rambutnya hitam, agak acak-acakan bukan karena malas menyisir, tapi lebih
karena teksturnya yang memang begitu. Namun, warna kulitnya lebih gelap dariku.
Jika aku memiliki kulit putih pucat cenderung kemerahan karena genetik turunan
bapakku yang berdarah Eropa, Agus lebih ke cokelat manis, warna kulit khas
remaja Indonesia yang sering terpapar matahari.
Kami mulai berbincang,
obrolan ringan khas santri yang lelah. Dari mengeluh soal menu makan malam,
hingga membahas tugas sekolah yang menumpuk. Tak ada yang spesial, sampai entah
bagaimana, topik pembicaraan kami mulai menyentuh area yang sensitif.
"Btw, kamu putih
banget, San," ujar Agus tiba-tiba, menoleh ke arahku.
Aku tertawa kecil.
"Gen dari bapakku, Gus. Bapakku bule, makanya begini."
"Oh,
pantesan," jawab Agus, mengangguk-angguk. "Gak heran banyak yang
naksir."
"Kamu juga nggak
hitam-hitam banget kok, Gus," timpalku, mencoba membalas pujiannya.
"Iya, tapi kalau
dibanding kamu, jauh lah. Pantas aja kamu banyak yang naksir," katanya
lagi.
"Masa, sih? Aku
nggak tahu kalau itu," sanggahku, merasa sedikit salah tingkah.
"Iya, serius!
Bahkan si Darmi tahu kan anak yang lumayan bandel itu? Yang sering merokok di
belakang kantin?"
Aku mengangguk. Darmi
memang terkenal bengal.
"Dia pernah
ngomong gini, ‘Coba si Iksan itu perempuan, sudah ku-ngentot
dia’," jelas Agus, menirukan Darmi dengan suara pelan namun penuh
penekanan.
Mendengar kata itu,
aku terperangah. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. "Astaga, untung
saja aku cowok," seruku, mencoba melontarkan lelucon untuk meredakan
ketegangan yang tiba-tiba muncul.
Agus terkekeh.
"Eh, jangan salah, San. Zaman sekarang mah, cowok sama cowok pun
bisa."
"Hus! Mana ada.
Lagian, kalau cowok sama cowok, mainnya gimana coba?" tanyaku, kini lebih
bernada menggoda, sebuah dorongan rasa ingin tahu yang aneh.
"Entahlah.
Mungkin pakai lubang pantat," jawab Agus, menyeringai. Ucapan itu sontak
membuat kami berdua tertawa terbahak-bahak, mencoba menutupi rasa canggung dan
gejolak tak terduga yang tiba-tiba menyergap.
Namun, di balik tawa
kami, ada sesuatu yang mulai bergerak di dalam diriku. Pembicaraan ngawur ini
entah kenapa terasa begitu menarik. Aku merasakan bagian bawahku, khususnya di
area penisku, mulai merespons perbincangan kami. Ada aliran darah yang sedikit
demi sedikit mulai terkonsentrasi di sana.
"Gak kotor, ya,
kalau masuknya ke lubang pantat?" tanyaku lagi, suaraku kini lebih pelan
dan serius.
Agus mengangkat bahu.
"Ya, namanya juga kalau sudah nafsu, San. Semua terasa enak aja, kotor
atau enggak, itu urusan belakangan," jelasnya, tatapannya menerawang ke
langit-langit asrama.
"Kamu ngomong
seolah-olah sudah pernah aja," ujarku, menyelidik.
Agus terdiam sejenak,
lalu mengulum senyum. "Belum pernah sih, tapi kan siapa tahu. Di film aja,
memek ceweknya dijilat, kontol cowoknya dikulum. Kelihatan enak-enak aja,
kan?"
"Emang kamu
pernah nonton begituan?" tanyaku penasaran. Aku tahu itu hal tabu di
pesantren, tetapi di asrama ini, kami sering berbagi cerita masa lalu sebelum
masuk pondok.
"Hehe, dulu.
Sebelum masuk pondok," akuinya.
"Oh." Hanya
itu yang bisa kuucapkan.
"Emang kamu belum
pernah, San?" tanyanya balik, kini giliran dia yang menyelidik.
"Belum
pernah," jawabku jujur. Aku memang selalu terlalu takut untuk melanggar
aturan agama sekecil apa pun, terutama yang menyangkut hal-hal berbau seksual.
"Berarti coli
juga belum pernah?" tanya Agus lagi, kali ini nadanya terdengar sedikit
tidak percaya.
"Coli? Gak tahu
aku istilah begituan," sanggahku, meskipun samar-samar aku pernah
mendengar istilah itu dari santri yang lebih tua.
"Tapi, mimpi
basah pasti sudah dong?"
"Kalau itu, iya
sudah. Aku kan sudah baligh."
"Waktu itu, kamu
mimpi basah, mimpinya kayak gimana?"
Aku merasa malu,
wajahku terasa panas. "Hmm, gimana, ya? Malu aku, Gus."
"Gak apa-apa,
sama-sama cowok aja," desaknya, berusaha menenangkan.
"Waktu itu aku
mimpi ada cewek mainin burungku," jawabku, berusaha mengingat detail yang
sudah kabur.
"Nah, itu namanya
coli. Cuma bedanya, kalau coli itu dilakukan sendiri, pakai tangan. Jadi,
kontolmu dimainkan, dikocok naik-turun sampai crot," jelas
Agus dengan gamblang. Penjelasannya yang detail itu membuat aliran darahku
semakin berdesir. Aku tahu persis, kontolku sekarang sudah benar-benar
menegang. Sarungku terasa sesak.
"Emang
bisa?" tanyaku, merasa ada pertentangan batin antara rasa penasaran yang
menggebu dan ajaran agama yang melarang.
"Bisa dong. Enak
juga kok. Dari pada nanti iseng ke cewek atau berzinah, mending begini,"
jelasnya.
Kemudian, dengan mata yang menatapku intens, Agus melontarkan pertanyaan yang membuatku terkesiap. "Mau aku ajarin?"
Aku terkejut.
Pertanyaan Agus terasa seperti percikan api yang menyambar bensin di dalam diriku.
"Hah? Kamu yakin?" tanyaku, mencoba memastikan bahwa aku tidak salah
dengar.
"Iya. Kebetulan
aku juga lagi pengen nih," serunya. Pandanganku tanpa sadar jatuh ke area
sarungnya. Benar saja, sarung di pangkal pahanya terlihat mengembul, sama
seperti milikku.
"Punyaku juga
sudah terlihat tuh, berdiri," godanya, menyadari ke mana arah pandanganku.
Aku merasa kikuk,
seluruh tubuhku terasa kaku. Ini adalah pengalaman pertama bagiku, sebuah pintu
yang baru saja dibuka lebar-lebar di hadapanku.
Tanpa menunggu
jawabanku, Agus mengangkat sarungnya. Terlihat celana bola pendek berwarna
gelap yang sedang ia kenakan. Aku perhatikan celana itu sudah mengembul tinggi.
Bahkan, aku melihat sedikit noda basah di ujung kain celana itu.
Kemudian, Agus
melorotkan celananya sampai ke lantai. Posisinya, aku sedang duduk di tepi
ranjangku, dan dia pun duduk di tepi ranjangnya, tepat di hadapanku. Kontolnya
kemudian mencuat keluar, terlihat besar dan tegak sempurna, seukuran pria
dewasa padahal kami baru anak SMP yang beranjak remaja. Kontolnya sudah
dipenuhi rambut kemaluan yang lebat, berwarna gelap, sangat kontras dengan
milikku. Kontolnya sudah disunat, warnanya sedikit kehitaman.
"Kamu juga, ayo!
Sebelum yang lain datang," perintah Agus dengan suara berbisik, tetapi
penuh otoritas.
Aku pun menurut,
seolah terhipnotis oleh situasi dan dorongan rasa penasaran yang tak
tertahankan. Aku mengangkat sarungku. Celana pendek yang ku pakai kulepas ke
lantai, menumpuk di atas celana Agus. Dan di sana, terpampanglah kontolku yang
sudah berdiri tegak sempurna.
Bulu kemaluanku belum
selebat milik Agus, masih tipis dan halus. Kontolku yang juga sudah disunat
tampak berwarna putih pucat, dengan kepala penis berwarna merah mudajauh lebih
cerah dibandingkan milik Agus.
"Jir, punya kamu pink," seru Agus, matanya memandang takjub.
"Nah, lihat
aku," katanya, sambil memegang kontolnya sendiri. "Ludahin dulu
sedikit di kepala kontolmu, biar licin. Terus kocok naik turun, kayak
gini."
Agus mulai
menggerakkan tangannya. Gerakannya lambat di awal, lalu berirama. Dia mendesah
pelan, menikmati sentuhan itu.
Aku mengikuti
instruksinya. Aku meludah sedikit di kepala kontolku, merasakan hangat dan
licinnya ludahku. Lalu, aku mulai mengocoknya, mengikuti irama yang dia
ajarkan.
"Sstss...
akhh..." Aku mendesah pelan, terkejut dengan sensasi yang baru kurasakan.
"Sstsss, akhh...
gimana, enak, kan?" tanya Agus, matanya menatapku, mencari konfirmasi. Aku
hanya bisa mengangguk.
Kontol kami kini
sama-sama menegang, saling berhadapan. Aku mencoba fokus pada kontolku yang
sedang kugenggam, pada gerakan tanganku yang naik-turun. Rasanya aneh, ada rasa
bersalah yang menusuk, namun dominasi rasa nikmat dan penasaran jauh lebih
kuat. Sensasi gesekan tangan pada kulit penisku menciptakan gelombang panas
yang menjalar dari perut hingga ke ujung jari kaki.
"Jangan
malu-malu. Desah aja kalau enak," bisik Agus. Ia sendiri sudah tidak bisa
menahan desahannya. Suaranya serak, matanya sesekali terpejam.
Aku mencoba untuk
menekan suaraku, khawatir suara kami akan terdengar oleh santri di kamar
sebelah, atau lebih parah, Wardy dan Nanda tiba-tiba kembali. Tetapi, menahan
desahan itu sama sulitnya dengan menahan ombak di lautan.
"A-akh..."
Desahanku terdengar tertahan.
"Pelan-pelan aja
kocoknya, nikmatin," ujar Agus lagi. Kini matanya terbuka sepenuhnya,
menatap lurus ke arahku, seolah menikmati pemandangan kontolku yang sedang ku
mainkan. Tatapannya itu entah kenapa membuat kenikmatan yang kurasakan semakin berlipat
ganda, seolah-olah aku sedang tampil di depannya.
Kami terus mengocok
bersama, menciptakan irama yang seragam di antara kami berdua. Napasku mulai
memburu, Agus pun demikian. Kontolku terasa semakin keras dan sensitif. Cairan
bening mulai membasahi lubangnya. Perutku terasa kencang.
"Udah mau keluar,
San?" tanya Agus, suaranya kini lebih mendesak. Ia juga mempercepat
gerakan tangannya.
Aku tidak bisa
menjawab. Aku hanya mengangguk, terlalu fokus pada sensasi yang memuncak di
ujung kontol.
"Terus, jangan
berhenti. Keluarkan semuanya! Biar plong!" serunya, memberi semangat.
Aku mempercepat
gerakan tanganku, secepat yang ku bisa. Rasa tegang yang tak tertahankan
menjalar dari pangkal penis hingga kepalanya yang merah muda.
"Ahhh...
G-gus..."
Seketika, gelombang panas
meledak. Aku merasakan semburan hangat menyentuh kulit perutku. Aku mendesah
panjang, merasakan seluruh ototku mengendur setelah pelepasan. Napasku
terengah-engah, tubuhku lemas.
Agus juga ikut
menyemburkan cairan putihnya tak lama kemudian, ke arah kakinya. Ia terdengar
mendesah lega, kemudian tertawa kecil.
Kami berdua terdiam
beberapa saat, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami rasakan.
Kontol kami perlahan melunak, tubuh kami dipenuhi keringat tipis.
"Gimana? Enak,
kan?" tanya Agus, tersenyum lebar.
Aku mengangguk, masih
berusaha mengatur napas. "Enak... Aku nggak nyangka..."
"Nah, makanya.
Daripada nanti iseng ke cewek, mending begini. Udah halal, eh, maksudku, nggak
dosa banget kayak zina," kelakarnya.
Kami sama-sama tertawa
pelan. Setelah itu, kami buru-buru mengambil tisu yang tersembunyi di bawah
bantal dan membersihkan sisa cairan di perut dan kaki. Kami memasukkan kembali
kontol kami ke dalam celana bola yang tadi dilepas. Sarung kembali kami
kenakan, menutupi jejak "dosa" kecil yang baru saja kami lakukan.
Bekas-bekas tisu kami
sembunyikan di tempat sampah yang paling dalam, ditutup dengan sampah kertas
lain, dengan seksama serapi mungkin agar saat yang lain tiba tidak menimbulkan
sedikit kecurigaan.
Kami kembali berbaring
di ranjang masing-masing, berpura-pura sedang membaca buku, meskipun buku itu
hanya kami jadikan tameng. Jantungku masih berdebar kencang. Pengalaman ini
benar-benar baru, mengejutkan, dan entah mengapa, terasa sangat membebaskan
sekaligus menakutkan.
"Jangan bilang
siapa-siapa ya, San," bisik Agus.
"Iya, pasti. Ini
rahasia kita," jawabku.
Keheningan kembali
menyelimuti kamar asrama. Namun, keheningan kali ini terasa berbeda. Ada ikatan
baru, rahasia yang baru saja kami bagi, yang entah kenapa membuat suasana di kamar
asrama itu terasa lebih intim dan... menggairahkan. Aku menatap langit-langit
asrama, berpikir keras. Apakah ini yang dinamakan 'nakal' di pesantren? Apakah
aku baru saja jatuh ke dalam lubang yang salah? Dan, yang lebih penting, apakah
ini akan terulang lagi? Rasa penasaran itu masih bergelayut kuat, bercampur
dengan rasa bersalah yang samar-samar.
Ceklik.
Bunyi pintu terbuka
memecah keheningan kami. Wardy dan Nanda akhirnya tiba. Mereka melihat kami
berdua sudah berbaring di ranjang masing-masing.
"Ya elah, curang
banget kalian ninggalin kita," seru Wardy, melepas sarungnya.
"Makanya setoran
hafalan tuh dari sore, biar malam bisa leha-leha," ucap Agus, pura-pura
cuek.
Aku hanya diam,
pura-pura fokus membaca buku saku yang kubawa, walau pikiran dan perasaanku
masih melayang entah ke mana, kembali pada sensasi nikmat yang baru saja kami
bagi bersama. Jantungku berdebar tak karuan, takut mereka menyadari sesuatu,
takut mereka mencium aroma "dosa" yang masih menempel di udara. Aku
menarik napas, berusaha terlihat normal. Kehidupan ganda ini, sepertinya, baru
saja dimulai.
Illustrasi Agus


Test ombak dulu kalau rame lanjut...
ReplyDeleteLanjuttt
DeleteLanjuttt
ReplyDeleteLanjut. Yg di wp gak lanjut?
ReplyDeletelanjutnya disini aja di wattpad banyak kontranya
DeleteAyo up lagi
ReplyDeleteUdah di up ya chapter 2 nya...
Delete