Skip to main content

Dunia Pasantrenku : BAB 1




Illustrasi Iksan

Selalu Dukung Admin ya biar admin lebih semangat
LINK SAWER

Perkenalkan, namaku Iksan. Saat ini, aku adalah seorang santri di sebuah pesantren yang cukup tua di Jawa Barat. Usiaku baru menginjak enam belas tahun, usia di mana gejolak dan rasa ingin tahu seolah menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah. Secara fisik, aku memang tidak jauh berbeda dengan remaja seusia di sini kurus, namun memiliki fitur wajah yang oleh sebagian orang dianggap 'di atas rata-rata'. Hidungku mancung, bibirku merona alami, dan kulitku terbilang sangat putih, kontras dengan rata-rata teman-teman di pesantren.

Bagi sebagian besar orang, termasuk beberapa santriwati yang diam-diam sering melirik dari kejauhan, fisikku ini terbilang tampan. Aku sendiri tidak terlalu memikirkannya. Aku tinggal di kamar asrama berukuran sedang bersama empat teman sekamar lainnya.

Aku harus jujur, aku bukan tipe santri yang alim, apalagi berprestasi dalam bidang akademik atau hafalan. Namun, aku juga bukan termasuk kategori anak nakal yang sering melanggar peraturan besar. Aku berada di tengah-tengah; biasa-biasa saja. Menjalani rutinitas pondok yang padat: bangun subuh, mengaji, sekolah, dan kembali mengaji.

Kehidupan yang datar dan monoton, sampai suatu malam, saat rutinitas itu sedikit terpecah.

Malam itu, setelah usai shalat Isya berjamaah di masjid agung, aku dan Agus, teman sebangku dan sekamarku, memutuskan untuk kembali ke asrama lebih awal. Kami sudah terlanjur malas untuk ikut sesi setoran hafalan malam. Sementara itu, Wardy dan Nanda, dua teman sekamar kami yang lain, memilih bertahan untuk menuntaskan setoran hafalan mereka yang tertunda tadi sore.

Sesampainya di kamar kami sebuah ruangan persegi dengan lima dipan kayu berjajarkami langsung merebahkan diri di ranjang masing-masing. Ranjangku berada di sudut ruangan, tepat di pojokan, dan ranjang Agus persis di sebelahku, hanya terpisah jarak setengah meter.

Agus memiliki perawakan yang tak jauh berbeda denganku; kurus dan berhidung mancung. Rambutnya hitam, agak acak-acakan bukan karena malas menyisir, tapi lebih karena teksturnya yang memang begitu. Namun, warna kulitnya lebih gelap dariku. Jika aku memiliki kulit putih pucat cenderung kemerahan karena genetik turunan bapakku yang berdarah Eropa, Agus lebih ke cokelat manis, warna kulit khas remaja Indonesia yang sering terpapar matahari.

Kami mulai berbincang, obrolan ringan khas santri yang lelah. Dari mengeluh soal menu makan malam, hingga membahas tugas sekolah yang menumpuk. Tak ada yang spesial, sampai entah bagaimana, topik pembicaraan kami mulai menyentuh area yang sensitif.

"Btw, kamu putih banget, San," ujar Agus tiba-tiba, menoleh ke arahku.

Aku tertawa kecil. "Gen dari bapakku, Gus. Bapakku bule, makanya begini."

"Oh, pantesan," jawab Agus, mengangguk-angguk. "Gak heran banyak yang naksir."

"Kamu juga nggak hitam-hitam banget kok, Gus," timpalku, mencoba membalas pujiannya.

"Iya, tapi kalau dibanding kamu, jauh lah. Pantas aja kamu banyak yang naksir," katanya lagi.

"Masa, sih? Aku nggak tahu kalau itu," sanggahku, merasa sedikit salah tingkah.

"Iya, serius! Bahkan si Darmi tahu kan anak yang lumayan bandel itu? Yang sering merokok di belakang kantin?"

Aku mengangguk. Darmi memang terkenal bengal.

"Dia pernah ngomong gini, ‘Coba si Iksan itu perempuan, sudah ku-ngentot dia’," jelas Agus, menirukan Darmi dengan suara pelan namun penuh penekanan.

Mendengar kata itu, aku terperangah. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. "Astaga, untung saja aku cowok," seruku, mencoba melontarkan lelucon untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul.

Agus terkekeh. "Eh, jangan salah, San. Zaman sekarang mah, cowok sama cowok pun bisa."

"Hus! Mana ada. Lagian, kalau cowok sama cowok, mainnya gimana coba?" tanyaku, kini lebih bernada menggoda, sebuah dorongan rasa ingin tahu yang aneh.

"Entahlah. Mungkin pakai lubang pantat," jawab Agus, menyeringai. Ucapan itu sontak membuat kami berdua tertawa terbahak-bahak, mencoba menutupi rasa canggung dan gejolak tak terduga yang tiba-tiba menyergap.

Namun, di balik tawa kami, ada sesuatu yang mulai bergerak di dalam diriku. Pembicaraan ngawur ini entah kenapa terasa begitu menarik. Aku merasakan bagian bawahku, khususnya di area penisku, mulai merespons perbincangan kami. Ada aliran darah yang sedikit demi sedikit mulai terkonsentrasi di sana.

"Gak kotor, ya, kalau masuknya ke lubang pantat?" tanyaku lagi, suaraku kini lebih pelan dan serius.

Agus mengangkat bahu. "Ya, namanya juga kalau sudah nafsu, San. Semua terasa enak aja, kotor atau enggak, itu urusan belakangan," jelasnya, tatapannya menerawang ke langit-langit asrama.

"Kamu ngomong seolah-olah sudah pernah aja," ujarku, menyelidik.

Agus terdiam sejenak, lalu mengulum senyum. "Belum pernah sih, tapi kan siapa tahu. Di film aja, memek ceweknya dijilat, kontol cowoknya dikulum. Kelihatan enak-enak aja, kan?"

"Emang kamu pernah nonton begituan?" tanyaku penasaran. Aku tahu itu hal tabu di pesantren, tetapi di asrama ini, kami sering berbagi cerita masa lalu sebelum masuk pondok.

"Hehe, dulu. Sebelum masuk pondok," akuinya.

"Oh." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Emang kamu belum pernah, San?" tanyanya balik, kini giliran dia yang menyelidik.

"Belum pernah," jawabku jujur. Aku memang selalu terlalu takut untuk melanggar aturan agama sekecil apa pun, terutama yang menyangkut hal-hal berbau seksual.

"Berarti coli juga belum pernah?" tanya Agus lagi, kali ini nadanya terdengar sedikit tidak percaya.

"Coli? Gak tahu aku istilah begituan," sanggahku, meskipun samar-samar aku pernah mendengar istilah itu dari santri yang lebih tua.

"Tapi, mimpi basah pasti sudah dong?"

"Kalau itu, iya sudah. Aku kan sudah baligh."

"Waktu itu, kamu mimpi basah, mimpinya kayak gimana?"

Aku merasa malu, wajahku terasa panas. "Hmm, gimana, ya? Malu aku, Gus."

"Gak apa-apa, sama-sama cowok aja," desaknya, berusaha menenangkan.

"Waktu itu aku mimpi ada cewek mainin burungku," jawabku, berusaha mengingat detail yang sudah kabur.

"Nah, itu namanya coli. Cuma bedanya, kalau coli itu dilakukan sendiri, pakai tangan. Jadi, kontolmu dimainkan, dikocok naik-turun sampai crot," jelas Agus dengan gamblang. Penjelasannya yang detail itu membuat aliran darahku semakin berdesir. Aku tahu persis, kontolku sekarang sudah benar-benar menegang. Sarungku terasa sesak.

"Emang bisa?" tanyaku, merasa ada pertentangan batin antara rasa penasaran yang menggebu dan ajaran agama yang melarang.

"Bisa dong. Enak juga kok. Dari pada nanti iseng ke cewek atau berzinah, mending begini," jelasnya.

Kemudian, dengan mata yang menatapku intens, Agus melontarkan pertanyaan yang membuatku terkesiap. "Mau aku ajarin?"

Aku terkejut. Pertanyaan Agus terasa seperti percikan api yang menyambar bensin di dalam diriku. "Hah? Kamu yakin?" tanyaku, mencoba memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

"Iya. Kebetulan aku juga lagi pengen nih," serunya. Pandanganku tanpa sadar jatuh ke area sarungnya. Benar saja, sarung di pangkal pahanya terlihat mengembul, sama seperti milikku.

"Punyaku juga sudah terlihat tuh, berdiri," godanya, menyadari ke mana arah pandanganku.

Aku merasa kikuk, seluruh tubuhku terasa kaku. Ini adalah pengalaman pertama bagiku, sebuah pintu yang baru saja dibuka lebar-lebar di hadapanku.

Tanpa menunggu jawabanku, Agus mengangkat sarungnya. Terlihat celana bola pendek berwarna gelap yang sedang ia kenakan. Aku perhatikan celana itu sudah mengembul tinggi. Bahkan, aku melihat sedikit noda basah di ujung kain celana itu.

Kemudian, Agus melorotkan celananya sampai ke lantai. Posisinya, aku sedang duduk di tepi ranjangku, dan dia pun duduk di tepi ranjangnya, tepat di hadapanku. Kontolnya kemudian mencuat keluar, terlihat besar dan tegak sempurna, seukuran pria dewasa padahal kami baru anak SMP yang beranjak remaja. Kontolnya sudah dipenuhi rambut kemaluan yang lebat, berwarna gelap, sangat kontras dengan milikku. Kontolnya sudah disunat, warnanya sedikit kehitaman.

"Kamu juga, ayo! Sebelum yang lain datang," perintah Agus dengan suara berbisik, tetapi penuh otoritas.

Aku pun menurut, seolah terhipnotis oleh situasi dan dorongan rasa penasaran yang tak tertahankan. Aku mengangkat sarungku. Celana pendek yang ku pakai kulepas ke lantai, menumpuk di atas celana Agus. Dan di sana, terpampanglah kontolku yang sudah berdiri tegak sempurna.

Bulu kemaluanku belum selebat milik Agus, masih tipis dan halus. Kontolku yang juga sudah disunat tampak berwarna putih pucat, dengan kepala penis berwarna merah mudajauh lebih cerah dibandingkan milik Agus.

"Jir, punya kamu pink," seru Agus, matanya memandang takjub.

"Nah, lihat aku," katanya, sambil memegang kontolnya sendiri. "Ludahin dulu sedikit di kepala kontolmu, biar licin. Terus kocok naik turun, kayak gini."

Agus mulai menggerakkan tangannya. Gerakannya lambat di awal, lalu berirama. Dia mendesah pelan, menikmati sentuhan itu.

Aku mengikuti instruksinya. Aku meludah sedikit di kepala kontolku, merasakan hangat dan licinnya ludahku. Lalu, aku mulai mengocoknya, mengikuti irama yang dia ajarkan.

"Sstss... akhh..." Aku mendesah pelan, terkejut dengan sensasi yang baru kurasakan.

"Sstsss, akhh... gimana, enak, kan?" tanya Agus, matanya menatapku, mencari konfirmasi. Aku hanya bisa mengangguk.

Kontol kami kini sama-sama menegang, saling berhadapan. Aku mencoba fokus pada kontolku yang sedang kugenggam, pada gerakan tanganku yang naik-turun. Rasanya aneh, ada rasa bersalah yang menusuk, namun dominasi rasa nikmat dan penasaran jauh lebih kuat. Sensasi gesekan tangan pada kulit penisku menciptakan gelombang panas yang menjalar dari perut hingga ke ujung jari kaki.

"Jangan malu-malu. Desah aja kalau enak," bisik Agus. Ia sendiri sudah tidak bisa menahan desahannya. Suaranya serak, matanya sesekali terpejam.

Aku mencoba untuk menekan suaraku, khawatir suara kami akan terdengar oleh santri di kamar sebelah, atau lebih parah, Wardy dan Nanda tiba-tiba kembali. Tetapi, menahan desahan itu sama sulitnya dengan menahan ombak di lautan.

"A-akh..." Desahanku terdengar tertahan.

"Pelan-pelan aja kocoknya, nikmatin," ujar Agus lagi. Kini matanya terbuka sepenuhnya, menatap lurus ke arahku, seolah menikmati pemandangan kontolku yang sedang ku mainkan. Tatapannya itu entah kenapa membuat kenikmatan yang kurasakan semakin berlipat ganda, seolah-olah aku sedang tampil di depannya.

Kami terus mengocok bersama, menciptakan irama yang seragam di antara kami berdua. Napasku mulai memburu, Agus pun demikian. Kontolku terasa semakin keras dan sensitif. Cairan bening mulai membasahi lubangnya. Perutku terasa kencang.

"Udah mau keluar, San?" tanya Agus, suaranya kini lebih mendesak. Ia juga mempercepat gerakan tangannya.

Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya mengangguk, terlalu fokus pada sensasi yang memuncak di ujung kontol.

"Terus, jangan berhenti. Keluarkan semuanya! Biar plong!" serunya, memberi semangat.

Aku mempercepat gerakan tanganku, secepat yang ku bisa. Rasa tegang yang tak tertahankan menjalar dari pangkal penis hingga kepalanya yang merah muda.

"Ahhh... G-gus..."

Seketika, gelombang panas meledak. Aku merasakan semburan hangat menyentuh kulit perutku. Aku mendesah panjang, merasakan seluruh ototku mengendur setelah pelepasan. Napasku terengah-engah, tubuhku lemas.

Agus juga ikut menyemburkan cairan putihnya tak lama kemudian, ke arah kakinya. Ia terdengar mendesah lega, kemudian tertawa kecil.

Kami berdua terdiam beberapa saat, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami rasakan. Kontol kami perlahan melunak, tubuh kami dipenuhi keringat tipis.

"Gimana? Enak, kan?" tanya Agus, tersenyum lebar.

Aku mengangguk, masih berusaha mengatur napas. "Enak... Aku nggak nyangka..."

"Nah, makanya. Daripada nanti iseng ke cewek, mending begini. Udah halal, eh, maksudku, nggak dosa banget kayak zina," kelakarnya.

Kami sama-sama tertawa pelan. Setelah itu, kami buru-buru mengambil tisu yang tersembunyi di bawah bantal dan membersihkan sisa cairan di perut dan kaki. Kami memasukkan kembali kontol kami ke dalam celana bola yang tadi dilepas. Sarung kembali kami kenakan, menutupi jejak "dosa" kecil yang baru saja kami lakukan.

Bekas-bekas tisu kami sembunyikan di tempat sampah yang paling dalam, ditutup dengan sampah kertas lain, dengan seksama serapi mungkin agar saat yang lain tiba tidak menimbulkan sedikit kecurigaan.

Kami kembali berbaring di ranjang masing-masing, berpura-pura sedang membaca buku, meskipun buku itu hanya kami jadikan tameng. Jantungku masih berdebar kencang. Pengalaman ini benar-benar baru, mengejutkan, dan entah mengapa, terasa sangat membebaskan sekaligus menakutkan.

"Jangan bilang siapa-siapa ya, San," bisik Agus.

"Iya, pasti. Ini rahasia kita," jawabku.

Keheningan kembali menyelimuti kamar asrama. Namun, keheningan kali ini terasa berbeda. Ada ikatan baru, rahasia yang baru saja kami bagi, yang entah kenapa membuat suasana di kamar asrama itu terasa lebih intim dan... menggairahkan. Aku menatap langit-langit asrama, berpikir keras. Apakah ini yang dinamakan 'nakal' di pesantren? Apakah aku baru saja jatuh ke dalam lubang yang salah? Dan, yang lebih penting, apakah ini akan terulang lagi? Rasa penasaran itu masih bergelayut kuat, bercampur dengan rasa bersalah yang samar-samar.

Ceklik.

Bunyi pintu terbuka memecah keheningan kami. Wardy dan Nanda akhirnya tiba. Mereka melihat kami berdua sudah berbaring di ranjang masing-masing.

"Ya elah, curang banget kalian ninggalin kita," seru Wardy, melepas sarungnya.

"Makanya setoran hafalan tuh dari sore, biar malam bisa leha-leha," ucap Agus, pura-pura cuek.

Aku hanya diam, pura-pura fokus membaca buku saku yang kubawa, walau pikiran dan perasaanku masih melayang entah ke mana, kembali pada sensasi nikmat yang baru saja kami bagi bersama. Jantungku berdebar tak karuan, takut mereka menyadari sesuatu, takut mereka mencium aroma "dosa" yang masih menempel di udara. Aku menarik napas, berusaha terlihat normal. Kehidupan ganda ini, sepertinya, baru saja dimulai.


 

Illustrasi Agus

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...