Kejadian di kamar
asrama dua hari yang lalu, saat aku dan Agus melakukan masturbasi bersama,
masih membekas tajam dalam benakku. Sebuah pengalaman yang terasa seperti racun
dan madu; kenikmatan yang terlarang bercampur dengan rasa bersalah yang
menggerogoti. Aku, Iksan, mendapati diriku tidak bisa berkonsentrasi pada hal
lain. Setiap kali mencoba menghafal, bayangan kontol Agus yang berdiri kokoh,
dikelilingi rambut kemaluan yang lebat, selalu terlintas.
Yang membuatku semakin
tersiksa adalah sikap Agus yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia bersikap
biasa saja, melanjutkan rutinitasnya tanpa beban. Sebaliknya, aku merasa kikuk
setiap kali pandangan kami bertemu. Dia telah melihat aibku, dan aku pun telah
melihat aibnya. Kami berdua menyimpan rahasia kelam itu, namun entah mengapa,
rasanya hanya aku yang merasa Agus memegang kendali atas diriku.
Aku tahu, aku harus
melakukan hal yang sama: bersikap biasa-biasa saja. Aku memasang topeng santri
yang lelah dan tidak bersemangat, berharap tidak ada seorang pun yang bisa
membaca kegelisahan di mataku.
Hari ini, kami ada
kelas Matematika. Jujur, ini adalah mata pelajaran yang paling tidak kusukai.
Aku memilih duduk di bangku paling ujung di barisan belakang, tempat yang aman
untuk melamun tanpa ketahuan. Aku sedang asyik menyalin catatan seadanya dari
papan tulis ketika tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh di bangku sebelahku.
"Lama amat kamu,
di," ujarku tanpa menoleh, mengira itu Wardy yang biasa duduk di dekatku.
Saat kutolehkan
kepala, mataku membelalak. Itu Agus. "Ya Tuhan, kenapa juga anak ini duduk
di sebelahku?"
Aku agak kaget melihat
kehadirannya. Biasanya, Agus duduk di barisan tengah bersama sohibnya, Bima.
Jarak bangkunya cukup jauh dariku.
Dia memandangku dengan
senyum lebar, memamerkan giginya yang rapi. Senyum itu, entah mengapa, terasa
nakal dan penuh arti sekarang.
"Aku duduk di
sini, ya," katanya santai, tanpa meminta izin.
"Loh, kenapa
kamu? Mana Wardy?" tanyaku, bingung.
"Tuh, di bangku
sana. Sama Bima. Kita tukeran," serunya, menunjuk ke barisan tengah.
Aku merasakan keanehan
yang menusuk. Ini sungguh tidak seperti Agus. Di antara kami berempat, dia
termasuk murid paling pintar dalam mata pelajaran umum. Nilainya selalu juara,
meskipun dia terkenal lemah dalam hal agama. Dan dia tidak pernah mau duduk di
bangku belakang, tempat para pemalas dan pelamun berkumpul.
"Boleh kan?"
tanyanya lagi, memandangku dengan mata penuh arti.
Aku hanya memandangnya
dengan pandangan aneh. Aku tidak bisa menolak. "Terserah," jawabku
singkat.
Padahal, dulu aku
tidak pernah secanggung ini dengan Agus. Kami sering berbagi cerita dan lelucon
konyol. Tapi, setelah kejadian itu, rasanya ada dinding tak kasat mata yang
roboh, meninggalkan kami dalam keintiman yang canggung. Sebuah penyesalan samar
terlintas: seharusnya saat itu aku tidak mengikuti ajakannya.
Jam mata pelajaran pun
dimulai. Ustadz Muklis, guru Matematika kami, mulai menjelaskan materi tentang
persamaan kuadrat. Tentu saja, aku tidak paham sedikit pun. Aku sibuk bergelut
dengan pikiranku. Berbeda denganku, Agus terlihat mencatat semua yang diajarkan
Ustadz Muklis dengan sangat serius.
Anehnya, Agus adalah
tipe siswa yang terlihat pemalas di luar jam pelajaran. Aku jarang melihatnya
memegang buku di asrama. Tapi otaknya benar-benar encer.
Aku berusaha mencatat
beberapa materi yang ditulis di papan tulis. Paham tidak paham, bodoh amatlah.
Setidaknya, terlihat rajin daripada bengong.
Tiba-tiba, aku
merasakan sesuatu yang hangat dan licin menyentuh pangkal pahaku. Seketika,
mataku melotot. Aku kaget, ingin rasanya berteriak.
Aku memandang ke arah
Agus. Matanya masih terfokus ke depan, ke arah Ustadz Muklis, namun
tangannya—tangan kanannya—sekarang sedang meremas kontolku yang masih tersembunyi
di balik celana pendek dan sarungku.
Aku memelototinya,
seolah bertanya, "Apa yang kamu lakukan?!"
Agus tidak mengalihkan
pandangan dari papan tulis, tetapi sebuah senyum nakal yang tipis tersungging
di bibir kirinya. Menjengkelkan.
Aku berusaha memindahkan
tangannya dari kontolku, takut sekali ketahuan. Kontolku yang masih kuncup kini
sudah mulai menegang lagi karena sentuhan tiba-tiba itu. Aku menggeliat gelisah
di bangku.
Melihat tingkahku yang
aneh, Ustadz Muklis yang berdiri di depan kelas tiba-tiba memanggil namaku
keras.
"Iksan?! Kenapa
kamu?" Suaranya bergema, dan seisi kelas serentak memandangku,
bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan.
Aku kaget. Jantungku
serasa jatuh ke perut. Bahkan Agus kini sudah menghentikan aksinya, menarik
tangannya, dan kembali menulis seolah tak terjadi apa-apa.
"Gak papa,
Ustadz. Maaf," seruku akhirnya.
Aku dapat mendengar
suara Agus yang cengengesan pelan. Aku mencubit pahanya keras di bawah meja
sebagai balasan.
"Aduh!"
serunya, kali ini suaranya sedikit lebih keras, tapi masih tertahan.
"Kalau tidak
kenapa-kenapa, coba kamu jawab soal nomor dua di depan!" perintah Ustadz
Muklis.
Aku kembali kaget.
Soal nomor dua? Aku bahkan tidak tahu kami sudah sampai pada soal itu. Beberapa
detik aku terdiam membisu, panik luar biasa. Wajahku memerah.
Tiba-tiba, Agus
menyodorkan buku catatannya yang terbuka kepadaku. Aku memandang ke arah buku
itu. Ternyata, itu adalah soal yang sama persis seperti yang ada di papan
tulis. Dan lebih mengejutkan lagi, sudah ada jawabannya dengan langkah-langkah
yang rapi.
Aku meliriknya pelan,
dia tersenyum ke arahku. Wajahnya seolah berkata, "Jawab pakai ini."
Tanpa menunggu lama,
aku bergegas meraih buku tersebut. Aku berjalan ke depan, mengambil kapur, dan
menulis jawaban yang sama seperti yang tertulis di buku catatan Agus. Ustadz
Muklis mengangguk melihat jawaban yang kutulis benar. Setelah selesai, aku
bergegas kembali duduk ke bangkuku, dengan perasaan lega yang tak terkira.
"Terima
kasih," bisikku pelan.
"Santai,"
jawabnya.
Waktu istirahat pun
tiba, dan Agus masih saja duduk di sebelahku. Aku semakin merasa ada yang aneh.
"Gak pergi,
Gus?" tanyaku.
"Enggak,"
jawabnya, lalu diam kembali.
"Kamu kenapa sih,
Gus? Aneh benar," desakku.
"Hmm,
itu..."
"Itu apa?"
tanyaku, makin penasaran.
Agus mendekatkan
wajahnya, merendahkan suaranya hingga nyaris berbisik di telingaku,
"Temenin aku coli lagi, ya."
Aku terkejut. Meskipun
aku tidak keberatan dengan idenya, aku takut jika teman-teman lain
mendengarnya.
"Sssshh! Pelankan
sedikit suaramu! Kalau yang lain dengar bagaimana?" seruku, sambil melirik
ke kiri dan kanan. Untung saja kelas sudah sepi. Anak-anak yang lain sudah
pergi main atau ke kantin.
"Maaf,"
jawabnya. "Habisnya aku kepikiran terus, jadi ngaceng terus dari
tadi."
"Lah, coli aja
sendiri kan bisa," kataku, berusaha menahan godaan yang mulai muncul.
"Gimana, ya, San.
Rasanya beda kalau coli sendiri. Temenin, ya," pintanya lagi, kini dengan
tatapan memohon.
"Hah? Gak mau,
ah," tolakku, mencoba jual mahal.
"Pliiiss... Ku
mohon. Aku bantu selesaikan tugas-tugasmu deh selama seminggu nanti,"
bujuknya.
"Enggak,"
tolakku lagi.
Tiba-tiba, Agus meraih
tanganku dan mengarahkannya ke gundukan di balik sarungnya. Aku terkejut, takut
ada yang melihat aksi kami. Tanganku dapat merasakan kontolnya yang sudah
menegang, panas, dan keras.
"Pliiiss,"
bisiknya lagi. "Nah, coba kamu rasa. Kontolku belum keluar sejak terakhir
kita ngelakuin itu. Tersiksa banget. Plis, cuman temenin aja kok, kamu gak usah
ikutan."
Aku merasakan denyutan
di telapak tanganku. Ada rasa geli dan jijik, bercampur dengan rasa tak
terlukiskan dari keintiman yang baru.
"Hmm, ya
sudah," jawabku, menyerah. Sebenarnya, aku juga jadi penasaran tentang hal
itu. Ternyata bukan hanya aku saja yang dihantui, dia juga. Ada rasa lega mengetahui
aku tidak sendiri.
"Yes! Terima
kasih, San!"
"Eh, tapi gak
bisa sekarang!" seruku.
"Loh,
kenapa?" tanya Agus, bingung dan kecewa.
"Aku mau ketemu
Ustadz Dil habis ini. Nanti malam saja. Kita cari tempat yang benar-benar
sepi," jelasku.
"Yah, terus ini
gimana?" tanya Agus sambil menunjuk kontolnya yang sudah menegang di balik
sarung.
"Tahan aja,
perbaiki posisinya, jangan sampai ketahuan orang," nasihatku, menahan
tawa.
"Hmm, oke
deh," ujarnya pasrah.
Aku melihatnya sudah
mau menarik tanganku, tapi aku menahannya.
"Tapi, ngerjain
tugasnya dua minggu, ya," kataku, tersenyum jahil.
"Loh, kok
gitu?"
"Mau gak?"
tanyaku, menyindir.
Agus mendengus pelan,
lalu tersenyum. "Hmm, iya udah, iya," serunya, akhirnya setuju.
"Hehe, gitu
dong," seruku, merasa puas. Kemudian, aku bergegas pergi meninggalkan
kelas untuk mencari Ustadz Dil, meninggalkan Agus yang tampak menahan gejolak
di balik sarungnya.
Jujur saja, sepanjang
jalan menuju kantor guru, aku terus memikirkan apa yang akan kulakukan bersama
Agus nanti malam. Rasanya deg-degan. Ini akan menjadi petualangan kedua kami.
Waktu malam pun tiba.
Setelah selesai shalat Isya, aku, Wardy, Nanda, dan Agus berjalan bareng menuju
asrama. Aku sesekali melirik Agus. Aku bingung, kapan kami akan melakukannya?
Aku memperlambat
langkahku, membiarkan Wardy dan Nanda berjalan duluan, sedangkan aku berjalan
di samping Agus.
"Eh, Iksan,
temenin aku ketemu Ustadz Muklis, ya," ucap Agus, berakting dengan suara
yang cukup meyakinkan. Dia menyebut-nyebut nama Ustadz Muklis, yang tadi siang
telah "menyelamatkan" aibku.
"Kasusmu? Sama
beliau?" tanyaku, ikut pura-pura juga.
"Entahlah,
makanya temenin aku," serunya.
"Hmm, ya udah.
Wardy, Nanda, kami pamit dulu ya. Assalamu'alaikum,"
seruku.
"Wa'alaikumussalam,"
jawab mereka.
"Jangan
kelamaan," ucap Nanda.
"Iya, tahu,"
seruku, meninggalkan mereka berdua yang melanjutkan langkah menuju asrama.
Setelah jarak kami
cukup jauh dari mereka, aku bertanya, "Nah, sekarang tinggal kita berdua.
Ke mana kamu ingin melakukannya?"
"Ikut aku
aja," jawabnya.
Aku pun mengikutinya.
Entah kenapa rasanya deg-degan. Selama perjalanan, kami kebanyakan diam.
Kecanggungan itu terasa kembali, namun kini bercampur dengan antisipasi yang
membara.
"Entah kenapa,
aku terus kepikiran saat itu, saat kita coli berdua," kata Agus, memecah
keheningan.
"Aku juga. Itu
pertama kali soalnya aku nunjukin kontolku sama orang lain," ujarku.
"Sama, aku juga.
Waktu itu karena penasaran, jadi aku ngajak kamu coli bareng. Maaf, ya,"
jelasnya, terdengar tulus.
"Iya, gak apa-apa.
Aku kira hanya aku aja yang kepikiran. Ternyata kamu juga," seruku, merasa
lega.
"Hehe, iya. Aku
juga kepikiran. Membayangkannya selalu bikin ngaceng," katanya, disusul
tawa kecil.
"Haha, benar
juga."
Kami terus berjalan,
mengambil jalan memutar, menerobos semak-semak. Untung saja pesantren ini
terletak di pedesaan, dan sistem keamanannya tidak seketat pesantren lain. Kami
bisa berkeliaran lebih leluasa. Kami terus berjalan sambil mengobrol ringan,
sampai akhirnya kami menemukan sebuah gubuk tua yang terbuat dari bambu.
"Di sini aja,
ya," seru Agus.
"Gak
ketahuan?"
"Ini jauh banget
dari pesantren, sepi juga. Insya Allah
aman," jawabnya, terdengar meyakinkan.
Kami berdua duduk di
tepi gubuk tersebut. Kami duduk sangat berdekatan, bersebelahan, sampai aku
dapat merasakan lengannya yang hangat menyentuh bahuku.
Tiba-tiba, Agus
melingkarkan lengannya ke pinggangku. Aku agak kaget dengan tingkahnya.
"Kalau mau coli,
coli aja," kataku, mencoba bersikap santai, meskipun jantungku berdetak
kencang.
Dia menarik tanganku
dan mengarahkannya ke gundukan celananya. Aku dapat merasakan kontolnya yang
sudah menegang keras.
"Bantuin,
ya," pintanya.
"Loh, tapi ini
gak termasuk kontrak tadi," kataku, berusaha menolak, tetapi tanganku
sudah mulai menggerayangi.
"Plisss..."
serunya lagi.
"Ya sudah,
ya," jawabku, akhirnya menyerah pada keinginan kami berdua.
Dalam kegelapan yang
hanya disinari cahaya rembulan yang samar, Agus mulai bertindak. Dia membuka
seluruh baju koko-nya dan menaruhnya jauh ke samping gubuk.
Kemudian, dia berdiri di depanku, membuka sarung dan celanaku. Tak lama
kemudian, baju atasku pun turut dibuka.
Akhirnya, kami berdua
bertelanjang bulat bersama, di bawah naungan gubuk tua yang sunyi.
Agus kembali duduk di
sebelahku. Tangannya langsung meraih kontolku, memegang pangkalnya, dan mulai
mengocoknya pelan.
"Akhh..."
Desahku. Rasanya sangat berbeda, sensasinya lebih geli dan lebih hebat ketika
tangan orang lain yang melakukannya.
"Pegang punyaku
juga, San," pintanya.
"Hmm, baik,"
jawabku.
Aku meraih kontolnya,
dan mulai mengocoknya dengan irama yang sama seperti yang dia lakukan padaku.
"Sstsss,
ahhh!" desah Agus saat kontolnya kugenggam.
"Geli banget
ternyata, tapi enak ternyata," ucapnya lagi, mengakui sensasi baru ini.
Kami berdua saling
mengocok kontol satu sama lain. Sensasinya terasa lebih enak dibandingkan saat
aku mengocoknya dengan tanganku sendiri. Ada sentuhan asing, keintiman
terlarang, dan sensasi yang berlipat ganda karena kami saling menyaksikan.
Kontol kami bahkan basah tanpa perlu diludahi. Precum—cairan bening
sebelum ejakulasi—terus keluar tanpa henti dari ujung kontol kami.
"Enak?"
tanya Agus, suaranya serak.
"Sstsss akhh,
iya, enak," seruku. Aku pun melakukan improvisasi, memelintir lembut
kepala kontolnya dengan telapak tanganku.
"Sstsss akhhh,
enak banget," desahnya, kepalanya mendongak.
Suasana yang gelap,
sepi, dan hening, kini dipenuhi oleh dua anak laki-laki yang bertelanjang
bulat. Desahan kami berdua seolah menjadi lagu yang semakin candu jika
didengar.
"San, pelintir
putingmu kayak gini," pintanya, sambil mencontohkan dengan memelintir
putingnya sendiri.
Aku pun mencobanya,
dan ya, sensasinya semakin menggila.
"Akhhh, stsss
hoooo! Enak banget, Gusss!" Desahku keenakan. Putingku yang mengeras saat
sedang terangsang terasa geli dan sensitif. Apalagi kontolku yang dikocok Agus
terasa makin sensitif.
Kami terus melakukan
aksi kami. Waktu seolah berhenti. Setelah sepertinya sekitar dua puluh lima
menit kami melakukannya, aku merasa tidak tahan lagi. Badanku terasa panas,
keringat mulai bercucuran membasahi kulit kami.
"Akhh, stsss,
Gusss! Akuuu gak tahan lagi! Aku mau keluarrrr!" seruku pada Agus.
"Argghh, stsss,
ohhh! Aku juga!"
Kami berdua semakin
cepat mengocok kontol lawan masing-masing. Tubuhku bergetar hebat. Dan
akhirnya...
CROTTT! CROT! CROOOTTT!
CROTTT! CROT! CROOOTTT!
Semburan sperma panas
tumpah, membasahi perut, paha, dan tangan kami berdua.
"Akhhh!"
"Akhhh!"
Kami berdua mengambil
napas panjang, menikmati rasa puas dan lega setelah menumpahkan cairan sperma
kami. Kami terduduk lemas di gubuk bambu itu.
Setelah tubuh kami
terasa sudah mulai mendingin, aku dan Agus mulai merapikan kembali diri kami
dari sisa-sisa perbuatan terlarang kami. Kami mengenakan pakaian, bergegas
membersihkan sisa cairan di tubuh dan di sekitar gubuk secepat yang kami bisa.
Saat berjalan kembali
ke pesantren, suasana hati Agus terasa sangat baik. Dia terus menggenggam
tanganku. Kami berdua berjalan bergandengan, bak sepasang kekasih, dalam
kegelapan malam. Aku tidak menghiraukan aksinya. Rasanya, pegangan tangannya
yang hangat itu terasa nyaman.
Saat kami hampir
memasuki gerbang pesantren, di bawah bayangan pohon yang gelap, Agus
menghentikan langkah. Aku menoleh.
Tiba-tiba, dia
mengecup bibirku. Hanya kecupan singkat, tak lebih dari satu detik.
Aku kaget. "Apa
yang kamu lakukan?!" tanyaku terkejut.
"Ucapan terima
kasih," katanya, sambil tersenyum manis, di bawah sinar bulan yang samar.
"Aneh,"
seruku. Aku tahu aku seharusnya marah atau kesal, tetapi anehnya, aku tidak
merasakan kekesalan atas tindakannya itu. Sebaliknya, ada gejolak aneh yang
kembali muncul di dadaku. Kami berdua lalu bergegas masuk ke dalam, kembali
menjadi santri yang ‘alim’, menyimpan rapat-rapat rahasia tentang gubuk tua dan
ciuman di bawah sinar rembulan.

Jirr terinspirasi dari mana ini
ReplyDeleteWaktu itu liat flim dokumenter si Wahyu yang anak pasantren itu. Wkwkwk
DeleteUstadz kampung bakan dilanjutkan gak?
ReplyDeleteMasih kok.
DeleteDi tunggu yah... ^^