Skip to main content

Dunia Pesantrenku : BAB 2


Selalu Dukung Admin ya biar admin lebih semangat
LINK SAWER

Kejadian di kamar asrama dua hari yang lalu, saat aku dan Agus melakukan masturbasi bersama, masih membekas tajam dalam benakku. Sebuah pengalaman yang terasa seperti racun dan madu; kenikmatan yang terlarang bercampur dengan rasa bersalah yang menggerogoti. Aku, Iksan, mendapati diriku tidak bisa berkonsentrasi pada hal lain. Setiap kali mencoba menghafal, bayangan kontol Agus yang berdiri kokoh, dikelilingi rambut kemaluan yang lebat, selalu terlintas.

Yang membuatku semakin tersiksa adalah sikap Agus yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia bersikap biasa saja, melanjutkan rutinitasnya tanpa beban. Sebaliknya, aku merasa kikuk setiap kali pandangan kami bertemu. Dia telah melihat aibku, dan aku pun telah melihat aibnya. Kami berdua menyimpan rahasia kelam itu, namun entah mengapa, rasanya hanya aku yang merasa Agus memegang kendali atas diriku.

Aku tahu, aku harus melakukan hal yang sama: bersikap biasa-biasa saja. Aku memasang topeng santri yang lelah dan tidak bersemangat, berharap tidak ada seorang pun yang bisa membaca kegelisahan di mataku.

Hari ini, kami ada kelas Matematika. Jujur, ini adalah mata pelajaran yang paling tidak kusukai. Aku memilih duduk di bangku paling ujung di barisan belakang, tempat yang aman untuk melamun tanpa ketahuan. Aku sedang asyik menyalin catatan seadanya dari papan tulis ketika tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh di bangku sebelahku.

"Lama amat kamu, di," ujarku tanpa menoleh, mengira itu Wardy yang biasa duduk di dekatku.

Saat kutolehkan kepala, mataku membelalak. Itu Agus. "Ya Tuhan, kenapa juga anak ini duduk di sebelahku?"

Aku agak kaget melihat kehadirannya. Biasanya, Agus duduk di barisan tengah bersama sohibnya, Bima. Jarak bangkunya cukup jauh dariku.

Dia memandangku dengan senyum lebar, memamerkan giginya yang rapi. Senyum itu, entah mengapa, terasa nakal dan penuh arti sekarang.

"Aku duduk di sini, ya," katanya santai, tanpa meminta izin.

"Loh, kenapa kamu? Mana Wardy?" tanyaku, bingung.

"Tuh, di bangku sana. Sama Bima. Kita tukeran," serunya, menunjuk ke barisan tengah.

Aku merasakan keanehan yang menusuk. Ini sungguh tidak seperti Agus. Di antara kami berempat, dia termasuk murid paling pintar dalam mata pelajaran umum. Nilainya selalu juara, meskipun dia terkenal lemah dalam hal agama. Dan dia tidak pernah mau duduk di bangku belakang, tempat para pemalas dan pelamun berkumpul.

"Boleh kan?" tanyanya lagi, memandangku dengan mata penuh arti.

Aku hanya memandangnya dengan pandangan aneh. Aku tidak bisa menolak. "Terserah," jawabku singkat.

Padahal, dulu aku tidak pernah secanggung ini dengan Agus. Kami sering berbagi cerita dan lelucon konyol. Tapi, setelah kejadian itu, rasanya ada dinding tak kasat mata yang roboh, meninggalkan kami dalam keintiman yang canggung. Sebuah penyesalan samar terlintas: seharusnya saat itu aku tidak mengikuti ajakannya.

Jam mata pelajaran pun dimulai. Ustadz Muklis, guru Matematika kami, mulai menjelaskan materi tentang persamaan kuadrat. Tentu saja, aku tidak paham sedikit pun. Aku sibuk bergelut dengan pikiranku. Berbeda denganku, Agus terlihat mencatat semua yang diajarkan Ustadz Muklis dengan sangat serius.

Anehnya, Agus adalah tipe siswa yang terlihat pemalas di luar jam pelajaran. Aku jarang melihatnya memegang buku di asrama. Tapi otaknya benar-benar encer.

Aku berusaha mencatat beberapa materi yang ditulis di papan tulis. Paham tidak paham, bodoh amatlah. Setidaknya, terlihat rajin daripada bengong.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat dan licin menyentuh pangkal pahaku. Seketika, mataku melotot. Aku kaget, ingin rasanya berteriak.

Aku memandang ke arah Agus. Matanya masih terfokus ke depan, ke arah Ustadz Muklis, namun tangannya—tangan kanannya—sekarang sedang meremas kontolku yang masih tersembunyi di balik celana pendek dan sarungku.

Aku memelototinya, seolah bertanya, "Apa yang kamu lakukan?!"

Agus tidak mengalihkan pandangan dari papan tulis, tetapi sebuah senyum nakal yang tipis tersungging di bibir kirinya. Menjengkelkan.

Aku berusaha memindahkan tangannya dari kontolku, takut sekali ketahuan. Kontolku yang masih kuncup kini sudah mulai menegang lagi karena sentuhan tiba-tiba itu. Aku menggeliat gelisah di bangku.

Melihat tingkahku yang aneh, Ustadz Muklis yang berdiri di depan kelas tiba-tiba memanggil namaku keras.

"Iksan?! Kenapa kamu?" Suaranya bergema, dan seisi kelas serentak memandangku, bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan.

Aku kaget. Jantungku serasa jatuh ke perut. Bahkan Agus kini sudah menghentikan aksinya, menarik tangannya, dan kembali menulis seolah tak terjadi apa-apa.

"Gak papa, Ustadz. Maaf," seruku akhirnya.

Aku dapat mendengar suara Agus yang cengengesan pelan. Aku mencubit pahanya keras di bawah meja sebagai balasan.

"Aduh!" serunya, kali ini suaranya sedikit lebih keras, tapi masih tertahan.

"Kalau tidak kenapa-kenapa, coba kamu jawab soal nomor dua di depan!" perintah Ustadz Muklis.

Aku kembali kaget. Soal nomor dua? Aku bahkan tidak tahu kami sudah sampai pada soal itu. Beberapa detik aku terdiam membisu, panik luar biasa. Wajahku memerah.

Tiba-tiba, Agus menyodorkan buku catatannya yang terbuka kepadaku. Aku memandang ke arah buku itu. Ternyata, itu adalah soal yang sama persis seperti yang ada di papan tulis. Dan lebih mengejutkan lagi, sudah ada jawabannya dengan langkah-langkah yang rapi.

Aku meliriknya pelan, dia tersenyum ke arahku. Wajahnya seolah berkata, "Jawab pakai ini."

Tanpa menunggu lama, aku bergegas meraih buku tersebut. Aku berjalan ke depan, mengambil kapur, dan menulis jawaban yang sama seperti yang tertulis di buku catatan Agus. Ustadz Muklis mengangguk melihat jawaban yang kutulis benar. Setelah selesai, aku bergegas kembali duduk ke bangkuku, dengan perasaan lega yang tak terkira.

"Terima kasih," bisikku pelan.

"Santai," jawabnya.

Waktu istirahat pun tiba, dan Agus masih saja duduk di sebelahku. Aku semakin merasa ada yang aneh.

"Gak pergi, Gus?" tanyaku.

"Enggak," jawabnya, lalu diam kembali.

"Kamu kenapa sih, Gus? Aneh benar," desakku.

"Hmm, itu..."

"Itu apa?" tanyaku, makin penasaran.

Agus mendekatkan wajahnya, merendahkan suaranya hingga nyaris berbisik di telingaku, "Temenin aku coli lagi, ya."

Aku terkejut. Meskipun aku tidak keberatan dengan idenya, aku takut jika teman-teman lain mendengarnya.

"Sssshh! Pelankan sedikit suaramu! Kalau yang lain dengar bagaimana?" seruku, sambil melirik ke kiri dan kanan. Untung saja kelas sudah sepi. Anak-anak yang lain sudah pergi main atau ke kantin.

"Maaf," jawabnya. "Habisnya aku kepikiran terus, jadi ngaceng terus dari tadi."

"Lah, coli aja sendiri kan bisa," kataku, berusaha menahan godaan yang mulai muncul.

"Gimana, ya, San. Rasanya beda kalau coli sendiri. Temenin, ya," pintanya lagi, kini dengan tatapan memohon.

"Hah? Gak mau, ah," tolakku, mencoba jual mahal.

"Pliiiss... Ku mohon. Aku bantu selesaikan tugas-tugasmu deh selama seminggu nanti," bujuknya.

"Enggak," tolakku lagi.

Tiba-tiba, Agus meraih tanganku dan mengarahkannya ke gundukan di balik sarungnya. Aku terkejut, takut ada yang melihat aksi kami. Tanganku dapat merasakan kontolnya yang sudah menegang, panas, dan keras.

"Pliiiss," bisiknya lagi. "Nah, coba kamu rasa. Kontolku belum keluar sejak terakhir kita ngelakuin itu. Tersiksa banget. Plis, cuman temenin aja kok, kamu gak usah ikutan."

Aku merasakan denyutan di telapak tanganku. Ada rasa geli dan jijik, bercampur dengan rasa tak terlukiskan dari keintiman yang baru.

"Hmm, ya sudah," jawabku, menyerah. Sebenarnya, aku juga jadi penasaran tentang hal itu. Ternyata bukan hanya aku saja yang dihantui, dia juga. Ada rasa lega mengetahui aku tidak sendiri.

"Yes! Terima kasih, San!"

"Eh, tapi gak bisa sekarang!" seruku.

"Loh, kenapa?" tanya Agus, bingung dan kecewa.

"Aku mau ketemu Ustadz Dil habis ini. Nanti malam saja. Kita cari tempat yang benar-benar sepi," jelasku.

"Yah, terus ini gimana?" tanya Agus sambil menunjuk kontolnya yang sudah menegang di balik sarung.

"Tahan aja, perbaiki posisinya, jangan sampai ketahuan orang," nasihatku, menahan tawa.

"Hmm, oke deh," ujarnya pasrah.

Aku melihatnya sudah mau menarik tanganku, tapi aku menahannya.

"Tapi, ngerjain tugasnya dua minggu, ya," kataku, tersenyum jahil.

"Loh, kok gitu?"

"Mau gak?" tanyaku, menyindir.

Agus mendengus pelan, lalu tersenyum. "Hmm, iya udah, iya," serunya, akhirnya setuju.

"Hehe, gitu dong," seruku, merasa puas. Kemudian, aku bergegas pergi meninggalkan kelas untuk mencari Ustadz Dil, meninggalkan Agus yang tampak menahan gejolak di balik sarungnya.

Jujur saja, sepanjang jalan menuju kantor guru, aku terus memikirkan apa yang akan kulakukan bersama Agus nanti malam. Rasanya deg-degan. Ini akan menjadi petualangan kedua kami.

Waktu malam pun tiba. Setelah selesai shalat Isya, aku, Wardy, Nanda, dan Agus berjalan bareng menuju asrama. Aku sesekali melirik Agus. Aku bingung, kapan kami akan melakukannya?

Aku memperlambat langkahku, membiarkan Wardy dan Nanda berjalan duluan, sedangkan aku berjalan di samping Agus.

"Eh, Iksan, temenin aku ketemu Ustadz Muklis, ya," ucap Agus, berakting dengan suara yang cukup meyakinkan. Dia menyebut-nyebut nama Ustadz Muklis, yang tadi siang telah "menyelamatkan" aibku.

"Kasusmu? Sama beliau?" tanyaku, ikut pura-pura juga.

"Entahlah, makanya temenin aku," serunya.

"Hmm, ya udah. Wardy, Nanda, kami pamit dulu ya. Assalamu'alaikum," seruku.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka.

"Jangan kelamaan," ucap Nanda.

"Iya, tahu," seruku, meninggalkan mereka berdua yang melanjutkan langkah menuju asrama.

Setelah jarak kami cukup jauh dari mereka, aku bertanya, "Nah, sekarang tinggal kita berdua. Ke mana kamu ingin melakukannya?"

"Ikut aku aja," jawabnya.

Aku pun mengikutinya. Entah kenapa rasanya deg-degan. Selama perjalanan, kami kebanyakan diam. Kecanggungan itu terasa kembali, namun kini bercampur dengan antisipasi yang membara.

"Entah kenapa, aku terus kepikiran saat itu, saat kita coli berdua," kata Agus, memecah keheningan.

"Aku juga. Itu pertama kali soalnya aku nunjukin kontolku sama orang lain," ujarku.

"Sama, aku juga. Waktu itu karena penasaran, jadi aku ngajak kamu coli bareng. Maaf, ya," jelasnya, terdengar tulus.

"Iya, gak apa-apa. Aku kira hanya aku aja yang kepikiran. Ternyata kamu juga," seruku, merasa lega.

"Hehe, iya. Aku juga kepikiran. Membayangkannya selalu bikin ngaceng," katanya, disusul tawa kecil.

"Haha, benar juga."

Kami terus berjalan, mengambil jalan memutar, menerobos semak-semak. Untung saja pesantren ini terletak di pedesaan, dan sistem keamanannya tidak seketat pesantren lain. Kami bisa berkeliaran lebih leluasa. Kami terus berjalan sambil mengobrol ringan, sampai akhirnya kami menemukan sebuah gubuk tua yang terbuat dari bambu.

"Di sini aja, ya," seru Agus.

"Gak ketahuan?"

"Ini jauh banget dari pesantren, sepi juga. Insya Allah aman," jawabnya, terdengar meyakinkan.

Kami berdua duduk di tepi gubuk tersebut. Kami duduk sangat berdekatan, bersebelahan, sampai aku dapat merasakan lengannya yang hangat menyentuh bahuku.

Tiba-tiba, Agus melingkarkan lengannya ke pinggangku. Aku agak kaget dengan tingkahnya.

"Kalau mau coli, coli aja," kataku, mencoba bersikap santai, meskipun jantungku berdetak kencang.

Dia menarik tanganku dan mengarahkannya ke gundukan celananya. Aku dapat merasakan kontolnya yang sudah menegang keras.

"Bantuin, ya," pintanya.

"Loh, tapi ini gak termasuk kontrak tadi," kataku, berusaha menolak, tetapi tanganku sudah mulai menggerayangi.

"Plisss..." serunya lagi.

"Ya sudah, ya," jawabku, akhirnya menyerah pada keinginan kami berdua.

Dalam kegelapan yang hanya disinari cahaya rembulan yang samar, Agus mulai bertindak. Dia membuka seluruh baju koko-nya dan menaruhnya jauh ke samping gubuk. Kemudian, dia berdiri di depanku, membuka sarung dan celanaku. Tak lama kemudian, baju atasku pun turut dibuka.

Akhirnya, kami berdua bertelanjang bulat bersama, di bawah naungan gubuk tua yang sunyi.

Agus kembali duduk di sebelahku. Tangannya langsung meraih kontolku, memegang pangkalnya, dan mulai mengocoknya pelan.

"Akhh..." Desahku. Rasanya sangat berbeda, sensasinya lebih geli dan lebih hebat ketika tangan orang lain yang melakukannya.

"Pegang punyaku juga, San," pintanya.

"Hmm, baik," jawabku.

Aku meraih kontolnya, dan mulai mengocoknya dengan irama yang sama seperti yang dia lakukan padaku.

"Sstsss, ahhh!" desah Agus saat kontolnya kugenggam.

"Geli banget ternyata, tapi enak ternyata," ucapnya lagi, mengakui sensasi baru ini.

Kami berdua saling mengocok kontol satu sama lain. Sensasinya terasa lebih enak dibandingkan saat aku mengocoknya dengan tanganku sendiri. Ada sentuhan asing, keintiman terlarang, dan sensasi yang berlipat ganda karena kami saling menyaksikan. Kontol kami bahkan basah tanpa perlu diludahi. Precum—cairan bening sebelum ejakulasi—terus keluar tanpa henti dari ujung kontol kami.

"Enak?" tanya Agus, suaranya serak.

"Sstsss akhh, iya, enak," seruku. Aku pun melakukan improvisasi, memelintir lembut kepala kontolnya dengan telapak tanganku.

"Sstsss akhhh, enak banget," desahnya, kepalanya mendongak.

Suasana yang gelap, sepi, dan hening, kini dipenuhi oleh dua anak laki-laki yang bertelanjang bulat. Desahan kami berdua seolah menjadi lagu yang semakin candu jika didengar.

"San, pelintir putingmu kayak gini," pintanya, sambil mencontohkan dengan memelintir putingnya sendiri.

Aku pun mencobanya, dan ya, sensasinya semakin menggila.

"Akhhh, stsss hoooo! Enak banget, Gusss!" Desahku keenakan. Putingku yang mengeras saat sedang terangsang terasa geli dan sensitif. Apalagi kontolku yang dikocok Agus terasa makin sensitif.

Kami terus melakukan aksi kami. Waktu seolah berhenti. Setelah sepertinya sekitar dua puluh lima menit kami melakukannya, aku merasa tidak tahan lagi. Badanku terasa panas, keringat mulai bercucuran membasahi kulit kami.

"Akhh, stsss, Gusss! Akuuu gak tahan lagi! Aku mau keluarrrr!" seruku pada Agus.

"Argghh, stsss, ohhh! Aku juga!"

Kami berdua semakin cepat mengocok kontol lawan masing-masing. Tubuhku bergetar hebat. Dan akhirnya...

CROTTT! CROT! CROOOTTT!

CROTTT! CROT! CROOOTTT!

Semburan sperma panas tumpah, membasahi perut, paha, dan tangan kami berdua.

"Akhhh!"

"Akhhh!"

Kami berdua mengambil napas panjang, menikmati rasa puas dan lega setelah menumpahkan cairan sperma kami. Kami terduduk lemas di gubuk bambu itu.

Setelah tubuh kami terasa sudah mulai mendingin, aku dan Agus mulai merapikan kembali diri kami dari sisa-sisa perbuatan terlarang kami. Kami mengenakan pakaian, bergegas membersihkan sisa cairan di tubuh dan di sekitar gubuk secepat yang kami bisa.

Saat berjalan kembali ke pesantren, suasana hati Agus terasa sangat baik. Dia terus menggenggam tanganku. Kami berdua berjalan bergandengan, bak sepasang kekasih, dalam kegelapan malam. Aku tidak menghiraukan aksinya. Rasanya, pegangan tangannya yang hangat itu terasa nyaman.

Saat kami hampir memasuki gerbang pesantren, di bawah bayangan pohon yang gelap, Agus menghentikan langkah. Aku menoleh.

Tiba-tiba, dia mengecup bibirku. Hanya kecupan singkat, tak lebih dari satu detik.

Aku kaget. "Apa yang kamu lakukan?!" tanyaku terkejut.

"Ucapan terima kasih," katanya, sambil tersenyum manis, di bawah sinar bulan yang samar.

"Aneh," seruku. Aku tahu aku seharusnya marah atau kesal, tetapi anehnya, aku tidak merasakan kekesalan atas tindakannya itu. Sebaliknya, ada gejolak aneh yang kembali muncul di dadaku. Kami berdua lalu bergegas masuk ke dalam, kembali menjadi santri yang ‘alim’, menyimpan rapat-rapat rahasia tentang gubuk tua dan ciuman di bawah sinar rembulan.


Selalu Dukung Admin ya biar admin lebih semangat
LINK SAWER

 

Comments

  1. Replies
    1. Waktu itu liat flim dokumenter si Wahyu yang anak pasantren itu. Wkwkwk

      Delete
  2. Ustadz kampung bakan dilanjutkan gak?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...