Skip to main content

Dunia Pesantrenku: BAB 3


Selalu Dukung Admin ya biar admin lebih semangat
LINK SAWER

Pagi ini adalah hari Sabtu, hari libur di pesantren. Aku, Iksan, bersama teman-teman sekamar Agus, Wardy, dan Nanda sedang berkumpul di tempat cuci asrama putra. Tempat ini, sebuah area terbuka di belakang gedung, hanya boleh dihuni oleh pria, sesuai dengan peraturan pesantren yang memisahkan urusan laki-laki dan perempuan demi menjaga pandangan. Ironisnya, para pengurus pesantren sepertinya lupa, bahwa zinah juga bisa dilakukan oleh sesama pria.

Kami semua sibuk mengucek pakaian masing-masing di bak beton yang panjang. Wardy, seperti biasa, paling serius dan telaten.

Tiba-tiba, Nanda berseru, memecah kesibukan kami. "Kalian berdua dekat banget, ya."

Aku agak sedikit gugup mendengar itu. Apakah kecurigaanku selama ini mulai terlihat? "M-maksudnya?" tanyaku, berpura-pura tidak mengerti.

Agus, yang berada di sebelahku, menyahut dengan santai, "Biasanya kita juga memang dekat, Nan."

"Iya, tapi akhir-akhir ini aku ngelihat kalian tuh bener-bener selalu bareng, kayak orang pacaran," balas Nanda, suaranya sedikit mencibir.

Aku tertawa, berusaha menyembunyikan getaran di hatiku. Agus lantas membalas, "Ya elah, perasaan kamu aja kali. Kamu cemburu?"

"Ngapain juga cemburu, najis!" seru Nanda, membuat kami kembali tertawa.

Perawakan Nanda menurutku lumayan tampan; rambutnya lurus, proporsi badannya kurus, dengan kulit putih khas keturunan Tionghoa. Bibirnya merona pink alami dan alisnya tebal. Dia dan Wardy memiliki warna kulit yang lebih terang. Di antara kami berempat, hanya Agus dan aku yang paling mencolok karena tone warna yang berbeda. Aku putih pucat cenderung kemerahan, sementara Agus agak gelap, di bawah Wardy dan Nanda. Namun, untuk wajah, menurutku Agus lebih tampan karena struktur wajahnya yang tegas seperti keturunan Arab alis tebal, hidung mancung.

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. "Minta sabun dong, Di," seruku pada Wardy yang dari tadi terlihat sangat fokus mencuci.

Wardy, bagiku, adalah yang paling kalem dan alim. Dia bahkan beberapa kali selalu ikut lomba MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an) mewakili pesantren kami.

"Nih, ambil satu saset aja," ucap Wardy, menyodorkan sabunnya.

"Makasih, ya," ujarku. Saat aku mencoba berdiri untuk mengambil sabun dari tangan Wardy, tiba-tiba Agus menarikku kembali ke sampingnya. Ia lalu memberikan sepelastik sabun saset miliknya.

"Ngapain harus jauh-jauh ke Wardy? Pakai punyaku. Masih banyak, tuh," ucapnya.

Nanda langsung menggeleng. "Nah kan, sudah kubilang apa. Kalian gak pacaran, kan?" seru Nanda lagi, nadanya menginterogasi.

"Apaan! Gak lah! Dosa, cowok sama cowok pacaran!" sanggahku, kali ini sedikit meninggikan suara.

"Biasa aja responnya," kata Nanda, akhirnya mengalah. "Kalau gitu aku minta satu ya, sabunnya," katanya, beralih pada Agus.

Saat aku mengucek pakaian, pikiranku kembali berkelana. Entah mengapa, saat Wardy dan Nanda sibuk mencuci, mataku tak sengaja melirik kontol Agus bukan fisiknya, melainkan bayangan kontolnya yang besar dan kehitaman. Kontolnya yang besar itu, padahal kami seumuran. Bayangan kecupan malam itu ikut melintas.

"Habis ini kalian mau ke mana?" tanya Nanda, menyadari bahwa hari ini libur.

"Aku mau ke perpustakaan," seruku.

"Gak tahu, jalan-jalan aja, gak nentu," jawab Agus.

"Kalau kamu, Di?" tanya Nanda.

"Mau ke mushola, mau latihan ngaji," jawab Wardy.

"Ah, iya, kamu kan mau lomba, ya," seru Nanda.

Setelah selesai mencuci, aku dan Agus memilih untuk mandi terlebih dahulu, baru kembali ke asrama. Sementara Wardy dan Nanda memilih kembali ke asrama untuk menjemur pakaian mereka di balkon belakang kamar.

Saat mandi, di bawah guyuran air dingin, aku kembali dihantui wajah Agus. Kontolnya, kecupannya, senyum nakalnya entah mengapa, itu semua selalu terlintas di benakku. Aku berusaha keras menepis pemikiran itu, padahal aku tahu, kontolku pasti bereaksi jika terlalu dekat dengannya.

Saat aku keluar, sudah berganti pakaian, dengan handuk tersampir di pundak dan kotak mandi di tangan, pandangan pertamaku langsung tertuju pada Agus.

"Lama amat, ngapain aja di dalam? Coli, ya?" tanyanya, senyumnya menyeringai.

"Heleh, kau pikir aku kamu," jawabku.

"Hehe. Ya sudah, aku masuk. Awas, Sayang, aku mau mandi dulu, ya," katanya, mendorongku pelan.

Aku terkejut mendengarnya memanggilku 'Sayang'. Ah, malu banget kalau ada yang mendengar mulutnya itu.

"Gila," jawabku, membuat ia terkekeh.

Aku kembali ke asrama. Di sana, sudah ada Nanda yang berbaring, terlihat sangat bosan. Wardy tidak terlihat.

"Wardy sudah pergi?" tanyaku.

"Habis jemur pakaiannya, dia sudah pergi ke mandi," seru Nanda.

"Kamu gak mandi? Kebetulan lagi sepi, loh," seruku.

"Eh, iya kah?" jawabnya antusias. Dia kemudian bergegas mengambil handuk, baju ganti, dan perlengkapan mandinya.

"Aku duluan, ya, San," serunya, dan bergegas pergi meninggalkanku sendirian.

Aku melanjutkan aktivitas, menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Setelah itu, aku merebahkan diri di ranjangku.

Ceklek.

Suara gagang pintu terbuka. Pandanganku melirik ke arah sumber suara. Ternyata itu adalah Agus. Rambutnya terlihat masih basah. Beberapa tetes air menetes dari rambutnya, membasahi ujung baju-nya.

"Assalamualaikum. Eh, kok kamu sendiri aja? Mana yang lain?" tanya Agus padaku.

"Wardy sama Nanda pergi mandi," jawabku.

Entah kenapa, kalau hanya berdua dengan Agus, rasanya aneh. Ada ketegangan dan kecanggungan yang terasa, terutama setelah kejadian malam itu.

Apalagi saat ini, dia terus melangkah mendekat ke arahku. Aku yang kini bersandar di tembok, di ranjang pojokku, terasa terpojok.

"Kamu mau apa?" seruku, sedikit waspada.

Tiba-tiba, dia... Cup!

Dia menciumku. Aku kaget dan melotot. Tapi entah kenapa, rasa terkejutku itu tidak disertai rasa jijik atau risih. Bukan hanya itu saja, bibirnya terus menempel sangat lama di bibirku. Aku seperti terhipnotis oleh adegan itu. Merasa tidak ada penolakan dariku, Agus terus melanjutkan tindakannya.

Kini, dia mulai membuka mulutnya dan melumat bibirku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat, bau sabunnya, bahkan rasa pasta giginya dapat kurasakan.

Entah dari mana datangnya pengetahuan itu, tiba-tiba saja aku meresponsnya. Lidah kami saling bertarung, napas kami semakin membara, rasanya waktu sedang berhenti untuk menyaksikan adegan kami berdua.

Tangan Agus merangkul belakang kepalaku, dapat kurasakan bahwa Agus seperti tidak ingin ciuman ini cepat berakhir. Ciuman itu terasa lebih intens, lebih dalam, dan lebih memuaskan daripada ciuman singkat di depan gerbang malam itu.

"Engg..." Erangku, tanpa sadar lolos di sela-sela ciuman kami.

Ceklek!

Aku kaget. Suara pintu terdengar terbuka. Seketika itu, aku mendorong Agus sekuat tenaga. Dorongan itu begitu kuat hingga Agus terlempar menjauh, bahkan sampai ke tempat tidurnya yang berjarak setengah meter.

Bruk!

Bunyi itu terdengar kuat dari ranjang Agus.

"Ass... Eh, kenapa dia?" seru Wardy, kaget mendengar suara barang jatuh yang kuat.

Apa Wardy melihat apa yang kami lakukan? Aku takut jika ketahuan. Aku bergegas merapikan bajuku dan menormalkan ekspresi wajahku.

"Eh, entahlah, nih anak tiba-tiba loncat ke atas kasurnya. Untung aja kasurnya gak patah," seruku, berbohong.

"Aduhhh, sakit!" seru Agus, berpura-pura kesakitan. Hal itu membuat Wardy dan Nanda yang datang di belakang Wardy tertawa terbahak-bahak. Cepat juga nih bocah-bocah mandinya.

"Emang agak-agak tuh si Agus," seru Wardy, tak curiga.

Syukurlah, suasana di kamar kembali normal. Kami berbincang-bincang tentang hal-hal random, mulai dari santri yang dihukum hingga gosip lainnya.

"Eh, aku pergi duluan ya ke mushola. Sudah janjian sama Ustadz Wendi," seru Wardy.

"Ada apa kamu sama Ustadz Wendi?" tanya Agus penasaran.

"Kayaknya mau latihan buat tilawah. Dia kan akan ikut MTQ," jelasku.

"Oh, gitu. Ya sudah, semangat ya," seru Agus pada Wardy. Wardy hanya mengangguk dan pergi meninggalkan kami.

"Keluar yuk," ajak Nanda.

"Ke mana?" tanyaku.

"Ya, ke mana aja. Bosen euy di sini," serunya lagi.

"Malas ah, aku," jawab Agus.

"Boleh, tapi singgah dulu ya ke perpus, mau balikin buku," jawabku.

"Oke," ujar Nanda.

"Yakin gak ikut, Gus?" tanya Nanda pada Agus sebelum kami pergi.

"Enggak," ucapnya.

"Ya sudah, jagain kamar ya. Assalamu'alaikum," seruku padanya.

"Wa'alaikumussalam," ucap Agus.

Aku dan Nanda pergi ke perpustakaan. Walau hari Sabtu, perpustakaan kami masih buka. Tempat ini adalah satu-satunya tempat yang tidak ada pemisah antara santri dan santriwati. Jadi, di sini kami akan melihat beberapa santriwati berkeliling dari rak-rak buku.

Sehabis mengembalikan buku, aku keluar dari perpustakaan. Di sana sudah ada Nanda yang menungguku. Dia tidak masuk, katanya sih malas.

"Sudah?" tanyanya.

"Iya, sudah. Habis ini kita mau ke mana?" tanyaku penasaran.

"Jalan-jalan keluar yuk," saran Nanda.

"Ayok."

Saat kami berjalan, tiba-tiba saja ada yang menghampiri kami. Dia merangkul pundakku dengan tangannya.

"Eh, mau ke mana kalian?" tanya laki-laki itu. Membuat aku dan Nanda sontak memandang ke arahnya. Suara itu, suara berat khas seorang pria. Berhidung mancung, tingginya melebihi aku dan Nanda. Berambut lurus dengan wajah yang tampan.

"Bikin kaget aja, Dar," seruku padanya. Itu adalah Darmi, anak yang bisa dibilang paling nakal di pesantren ini. Dia selalu saja dihukum Ustadz atas segala perbuatannya.

Namun, Darmi adalah idola para santriwati karena ketampanannya.

"Kita mau keluar cari angin," ujar Nanda.

"Ikut, ya," serunya lagi.

"Ya, ikut aja, gak apa-apa," seruku. Lagipula, kami saling kenal. Kamar Darmi berdekatan dengan kamar kami, jadi kami lumayan dekat.

"Aduh, kalau aku jalan bareng sama kalian, kita kayak jadi pusat perhatian," seru Nanda.

"Loh, kenapa? Karena Darmi selalu bikin kasus?" tanyaku penasaran.

"Bukan. Lihat aja wajah kalian. Tuh, mencolok parah. Ganteng-ganteng," seru Nanda.

"Hahaha, makanya jangan jelek," seru Darmi.

"Eh, aku tuh ganteng juga kali! Tapi kalian tuh gantengnya gak ngotak!" seru Nanda, membuat kami makin tertawa terbahak-bahak.

"Ada-ada aja kamu, Nan," ujarku.

Kami berjalan bertiga, singgah membeli gorengan dan minuman. Lalu, kami pergi berjalan menuju sebuah gubuk di dekat sawah yang saat ini sedang kosong.

"Hu, ademnya," seru Darmi, langsung berbaring di gubuk tersebut.

"Pusarmu kelihatan, tuh," ucap Nanda.

"Biarin, lagian sama kalian aja."

"Eh, btw, teman-teman kalian yang lain ke mana?" tanyaku penasaran.

"Biasalah, mereka. Anak alim. Pening telingaku. Dikit-dikit bahas hadits sama mereka. Hafalan aja udah bikin mumet di kepalaku," keluh Darmi.

"Wkwkwk, untung aja si Wardy ngobrolnya masih normal sama kita," seruku.

"Ah, rasanya pengen ngerokok," ucapnya, nadanya penuh kerinduan.

"Kamu ngerokok?" tanya Nanda.

"Kadang-kadang," jelasnya.

"Pantas dihukum mulu kamu sama Ustadz," ucapku.

"Makanya mereka bikin aku sekamar sama tuh bocah-bocah alim," serunya.

Mendengar itu, aku dan Nanda sontak tertawa bersama.

"Ya sudah, makan dulu nih, gorengan," seruku.

"Eh guys, kayaknya aku mau pamit duluan, deh," seru Nanda tiba-tiba.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Perutku tiba-tiba mules. Gak tahan lagi," jelasnya.

"Ya udah, sana pergi. Jangan sampai bau tai di sini," ujar Darmi, mengejek.

Akhirnya, kini hanya menyisakan aku dan Darmi yang sedang berbaring menikmati angin yang sedang berhembus. Aku sedang menikmati gorengan, sementara Darmi berbaring menyamping di depanku.

Saat aku sedang meliriknya, mataku bertatapan langsung dengan matanya.

"Kamu putih banget, ya," seru Darmi padaku.

"Gen dari ortuku," jelasku singkat.

"Ah, kalau kamu cewek, mungkin udah kuperkosa kamu," serunya, senyumnya penuh nafsu.

Ini sama seperti yang dijelaskan Agus. Ternyata Agus tidak berbohong.

"Bahkan kalau pun cewek, aku gak mungkin suka sama kamu," ujarku, mencoba berkelakar.

"Kenapa? Aku ganteng gini," serunya, menyombongkan diri.

"Ya, kalau aku cewek, berarti aku juga kan cantik banget, ya kan," seruku.

"Hahaha, gak apa-apa, jadi cowok juga udah menarik," serunya. "Btw, kalau putih gitu, kontolnya ikut putih juga, kah?"

"Eh, maksudnya?"

"Nanya aja. Penasaran soalnya," katanya.

"Kayaknya iya," jawabku.

"Kalau pentilnya pink juga, kah?" tanya Darmi. Kini dia sudah duduk di depanku, menghadapku.

"Lumayan sih. Kenapa nanya gitu?" tanyaku.

"Soalnya pentilku agak kecokelatan," serunya. Lalu, dia mengangkat kaosnya tinggi hingga memperlihatkan putingnya yang agak kecokelatan. "Coba lihat punyamu," pinta Darmi.

Aku pun mengangkat kaosku sedikit, dan memperlihatkan putingku.

"Buset, pink," seru Darmi. Kemudian, dia mencubit pelan putingku. Rasanya seperti tersengat listrik.

"Akhh, geli, Dar," ujarku, berusaha menghentikan aksinya. Tapi, dia terus mempermainkan jari jemarinya di putingku. Memelintirnya.

"Sstsss, akhhh..." Desahku lolos, tak tertahankan.

"Jirrr, seenak itu, ya?" tanya Darmi. Aku tidak menjawab, hanya mendesah.

Tanpa aba-aba, dia mulai mendekat, dan menghisap salah satu putingku. Rasa gelinya semakin menjadi-jadi, bercampur dengan sensasi terlarang yang membangkitkan.

"Akhh, sstsss, hooo! Darrr, geliii!" seruku, dan aku mendorongnya dengan kuat.

"Apa yang kamu lakukan?!" tanyaku, mengatur napas.

"Eh, maaf, maaf. Aku penasaran aja. Hehe," katanya, tersenyum jahil.

"Tapi, aku penasaran dengan kontolmu. Kira-kira pink juga, kah?" tanyanya lagi, matanya kini menatap lurus ke bagian bawahku.

"Kenapa tanya gitu?"

"Gak papa, soalnya punyaku cokelat," serunya. Terus, tiba-tiba, dia menurunkan sedikit celana kainnya dan memperlihatkan kontolnya yang ternyata sudah menegang maksimal. Di ujung kontolnya, terlihat air precum yang berkilauan. Jujur saja, kontolnya benar-benar besar dan berurat. Kepala kontolnya keunguan. Dan tentu saja, panjang dan besarnya jauh melebihi punya Agus.

"Gila, gede banget," ucapku, takjub melihat pemandangan itu.

"Lihatin dong punyamu," serunya.

"Gak, ah. Malu aku," tolakku.

"Sama-sama cowok juga," katanya. Kemudian, dia menarik celana kainku, membuka lancing (kancing celana) dan menurunkan resletingnya.

Aku tidak menghalangi perbuatannya. Entah kenapa, aku seperti terhipnotis. Membiarkan perlakuannya.

"Gila, pink banget," serunya terkejut, melihat kontolku yang mencuat keluar.

"Akhhh, j-jangan dipegang!" ujarku, saat tangannya mengocok kontolku pelan.

"Sstsss, akhhhh," desahku.

"Enak?" serunya lagi. Aku tidak menjawab.

Kemudian, dia menarikku ke pojokan gubuk. Agar kami bisa bersandar. Sekarang, kami berdua bersandar bersebelahan. Darmi menarik tanganku dan menaruhnya di kontolnya yang besar itu.

"Akhhh, enak banget tanganmu," seru Darmi, matanya terpejam.

Akhirnya, kami berdua pun saling mengocok kontol kami bersama. Posisinya, kami saat ini masih mengenakan pakaian kami. Hanya menurunkan resleting celana kami agar kontol kami bisa keluar.

"Sstsss, akhhh," desah Darmi.

"San, tolong isepin, ya," serunya.

Aku tiba-tiba kaget dengan permintaannya. "Apa?" seruku, terkejut. Terutama saat dia menarik kepalaku ke arah kontolnya.

Aku tentu saja berusaha menutup mulutku rapat karena aku tidak mau. Mataku benar-benar memandang dekat kontolnya. Bahkan, sekarang aku bisa mencium kontolnya dengan jelas. Bau khas pria, agak sedikit amis.

Dia mencengkeram rahangku kuat hingga aku terpaksa membuka mulutku. Melihat kesempatan itu, Darmi mulai memasukkan kontolnya ke dalam mulutku.

"Hmmm..." seruku, tercekat.

Kontolnya terasa aneh. Agak amis dengan bau khas pria, tapi entah kenapa aku tidak merasa jijik. Ini pertama kali aku mengulum kontol. Tentu saja, aku tidak selihai itu.

"Sstsss, akhhh, enak banget," desah Darmi.

"Sstsss, akhhh, terus, San!" Racaunya semakin menjadi. Bahkan, tanpa disadari, tangannya sudah tidak memegang kepalaku lagi, dan membiarkan aku mengulum kontolnya sendiri. Naik turun. Rasa pegal di mulutku, tidak membuat aku menghentikan aksiku. Rasanya aku mulai terbiasa dengan rasa kontolnya. Bahkan, bau kontolnya terasa candu.

"Hah! Sstsss, argghh! Terus, San!" serunya.

Posisi saat aku mengulumnya itu menyamping. Posisi ini membuat pantatku sedikit menungging.

Plak! Plak! Plak!

Bunyi tamparan di pantatku. Tidak terasa sakit, malah membuat sensasi lain. Tangannya masuk ke dalam celanaku, mengelus-elus pantatku.

Bahkan, jari jemarinya bermain tepat di lubang pantatku. Rasanya geli-geli. Saat jari tengahnya menggosok-gosok lubang pantatku.

"Akhhh, sstsss, akhhh!" Desahnya. Entah kenapa, itu membuatku semakin binal. Aku mengulum kontolnya dengan beringas.

"Akhh, sstsss, fuckk! Terus, San! Gila, enak banget, hooo!" racaunya. Entah kenapa, rasanya kontolnya semakin membesar.

Kemudian, dia mulai berdiri tepat di depanku yang kini bersandar, memaju-mundurkan pinggulnya seakan sedang mengentot mulutku. Kepalaku ditahan dengan kedua tangannya. Rasanya aku tersedak-sedak.

"Hmmm, hmm, hmmm!" Racauku, berusaha bernapas.

"Akh! Sstsss, aku mau keluar!"

CROTTT! CROTTT! CROTTT! CROTTT!

Cairan hangat menyembur dari kontolnya. Ah, rasanya aneh, amis banget. Aku tahu itu adalah sperma.

Ingin aku memuntahkannya, tapi rahangku ditahan olehnya.

"Jangan dibuang," serunya. Entah kenapa, aku pun menurutinya. Aku dengan sekuat tenaga menelan spermanya ke dalam mulutku.

Saat semua sudah tertelan, aku menjulurkan lidahku padanya. Memperlihatkan isi mulutku yang sudah bersih.

"Ha, bagus," serunya.

Kemudian, dia melihat kontolku yang masih berdiri kokoh dengan precum yang terus menerus keluar. Dia duduk di depanku, dan mulai mengocok kontolku dengan cepat.

"Akhhh!" Desahku. Mungkin karena tidak keluar-keluar. Darmi pun menunduk dan mengulum kontolku. Dengan beringas.

"Akhhhh, sstsss, Darrr! Enak, Dar!" Desahku keenakan. Rasanya aku sudah berada di puncak kenikmatan.

"Dar, aku mau keluar!" seruku. Mendengar itu, Darmi terus mengulum kontolku semakin beringas.

"Akhhhh, Darrrr!" ucapku saat aku sudah berada di batas puncak.

CROTTT! CROTTT! CROTTT!

Spermaku muncrat semua di mulutnya. Rasanya geli saat mulutnya masih mengulum kontolku.

Kemudian, dia berdiri tetap di depanku. Aku dapat melihat wajahnya. Dia menekan mulutku. Kukira dia akan menciumku. Tapi, salah. Saat mulutku terbuka, dia meludahkan semua spermaku yang tertumpah di mulutnya ke dalam mulutku. Aku dapat merasakan ludahnya yang bercampur dengan spermaku.

"Telan," pintanya.

Aku pun berusaha untuk menelan semuanya. Walau aku masih belum terbiasa dengan rasa sperma.

Kemudian, Darmi duduk di sebelahku. Kami berdua menghela napas bersama, menikmati angin yang bertiup. Aku melihat kontol kami berdua yang sudah lemas, dan lengket karena air liur kita berdua.

"Gimana rasanya?" tanya Darmi kemudian.

"Gak enak," jawabku serius. Membuat Darmi tertawa terbahak-bahak. Kemudian, dia mengelus kepalaku lembut.

"Hehe, maaf ya, kita malah jadi berbuat hal senonoh. Entah kenapa, tiba-tiba aku kepengen banget," seru Darmi. Yang kemudian mencium keningku, lalu bibirku, yang berujung saling melumat. Nafasnya, air liurnya dapat ku rasakan dengan jelas.

"Hmmm, udah, Dar. Nanti keterusan lagi," seruku, menyudahi aksi kami berdua.

Dan lagi, dia hanya tertawa ngakak. Akhirnya, aku mengajaknya untuk balik bersama.

"Makasih, ya," seru Darmi.

"Hmm," jawabku, bingung mau jawab apa.

"Tapi, ini pertama kali kamu ngulum kontol?" tanya dia penasaran.



"Iya," jawabku.

"Pantas masih kaku. Beberapa kali kena gigi," katanya.

"Maksudnya?"

"Kalau ngulum kontol tuh, jangan kena gigi. Ngilu kontol orang yang kamu isap."

"Ya, namanya juga baru pertama kali," jawabku.

"Gak apa-apa. Nanti kita latihan lagi," seru Darmi.

Aku kaget mendengarnya. Kemudian, aku meninju punggungnya kuat.

PLAK!

"Auwww, sakit!" keluh Darmi, sambil tertawa.

Aku tersenyum. Aku tahu, hidupku di pesantren ini baru saja memasuki babak yang jauh lebih rumit dan penuh rahasia. Aku kini memiliki dua rahasia, dengan dua orang yang berbeda, yang sama-sama tahu bagian paling tersembunyi dari diriku.

 

Illustrasi Darmi

Illustrasi Nanda



Illustrasi Wardi


Illustrasi Agus



Selalu Dukung Admin ya biar admin lebih semangat
LINK SAWER




TerimaKasih untuk yang sudah Sawer ya... ^^

Hallo juga ....




Comments

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...