Pagi ini adalah hari
Sabtu, hari libur di pesantren. Aku, Iksan, bersama teman-teman sekamar Agus,
Wardy, dan Nanda sedang berkumpul di tempat cuci asrama putra. Tempat ini,
sebuah area terbuka di belakang gedung, hanya boleh dihuni oleh pria, sesuai
dengan peraturan pesantren yang memisahkan urusan laki-laki dan perempuan demi
menjaga pandangan. Ironisnya, para pengurus pesantren sepertinya lupa, bahwa zinah juga bisa dilakukan oleh sesama pria.
Kami semua sibuk
mengucek pakaian masing-masing di bak beton yang panjang. Wardy, seperti biasa,
paling serius dan telaten.
Tiba-tiba, Nanda
berseru, memecah kesibukan kami. "Kalian berdua dekat banget, ya."
Aku agak sedikit gugup
mendengar itu. Apakah kecurigaanku selama ini mulai terlihat?
"M-maksudnya?" tanyaku, berpura-pura tidak mengerti.
Agus, yang berada di
sebelahku, menyahut dengan santai, "Biasanya kita juga memang dekat,
Nan."
"Iya, tapi
akhir-akhir ini aku ngelihat kalian tuh bener-bener selalu bareng, kayak orang
pacaran," balas Nanda, suaranya sedikit mencibir.
Aku tertawa, berusaha
menyembunyikan getaran di hatiku. Agus lantas membalas, "Ya elah, perasaan
kamu aja kali. Kamu cemburu?"
"Ngapain juga
cemburu, najis!" seru Nanda, membuat kami kembali tertawa.
Perawakan Nanda
menurutku lumayan tampan; rambutnya lurus, proporsi badannya kurus, dengan
kulit putih khas keturunan Tionghoa. Bibirnya merona pink alami dan alisnya
tebal. Dia dan Wardy memiliki warna kulit yang lebih terang. Di antara kami
berempat, hanya Agus dan aku yang paling mencolok karena tone warna yang berbeda. Aku putih pucat cenderung
kemerahan, sementara Agus agak gelap, di bawah Wardy dan Nanda. Namun, untuk
wajah, menurutku Agus lebih tampan karena struktur wajahnya yang tegas seperti
keturunan Arab alis tebal, hidung mancung.
Aku mencoba
mengalihkan pembicaraan. "Minta sabun dong, Di," seruku pada Wardy
yang dari tadi terlihat sangat fokus mencuci.
Wardy, bagiku, adalah
yang paling kalem dan alim. Dia bahkan beberapa kali selalu ikut lomba MTQ
(Musabaqah Tilawatil Qur'an) mewakili pesantren kami.
"Nih, ambil satu
saset aja," ucap Wardy, menyodorkan sabunnya.
"Makasih,
ya," ujarku. Saat aku mencoba berdiri untuk mengambil sabun dari tangan
Wardy, tiba-tiba Agus menarikku kembali ke sampingnya. Ia lalu memberikan
sepelastik sabun saset miliknya.
"Ngapain harus
jauh-jauh ke Wardy? Pakai punyaku. Masih banyak, tuh," ucapnya.
Nanda langsung
menggeleng. "Nah kan, sudah kubilang apa. Kalian gak pacaran, kan?"
seru Nanda lagi, nadanya menginterogasi.
"Apaan! Gak lah!
Dosa, cowok sama cowok pacaran!" sanggahku, kali ini sedikit meninggikan
suara.
"Biasa aja
responnya," kata Nanda, akhirnya mengalah. "Kalau gitu aku minta satu
ya, sabunnya," katanya, beralih pada Agus.
Saat aku mengucek
pakaian, pikiranku kembali berkelana. Entah mengapa, saat Wardy dan Nanda sibuk
mencuci, mataku tak sengaja melirik kontol Agus bukan fisiknya, melainkan
bayangan kontolnya yang besar dan kehitaman. Kontolnya yang besar itu, padahal
kami seumuran. Bayangan kecupan malam itu ikut melintas.
"Habis ini kalian
mau ke mana?" tanya Nanda, menyadari bahwa hari ini libur.
"Aku mau ke
perpustakaan," seruku.
"Gak tahu,
jalan-jalan aja, gak nentu," jawab Agus.
"Kalau kamu,
Di?" tanya Nanda.
"Mau ke mushola,
mau latihan ngaji," jawab Wardy.
"Ah, iya, kamu
kan mau lomba, ya," seru Nanda.
Setelah selesai
mencuci, aku dan Agus memilih untuk mandi terlebih dahulu, baru kembali ke
asrama. Sementara Wardy dan Nanda memilih kembali ke asrama untuk menjemur
pakaian mereka di balkon belakang kamar.
Saat mandi, di bawah
guyuran air dingin, aku kembali dihantui wajah Agus. Kontolnya, kecupannya,
senyum nakalnya entah mengapa, itu semua selalu terlintas di benakku. Aku
berusaha keras menepis pemikiran itu, padahal aku tahu, kontolku pasti bereaksi
jika terlalu dekat dengannya.
Saat aku keluar, sudah
berganti pakaian, dengan handuk tersampir di pundak dan kotak mandi di tangan,
pandangan pertamaku langsung tertuju pada Agus.
"Lama amat,
ngapain aja di dalam? Coli, ya?" tanyanya, senyumnya menyeringai.
"Heleh, kau pikir
aku kamu," jawabku.
"Hehe. Ya sudah,
aku masuk. Awas, Sayang, aku mau mandi dulu, ya," katanya, mendorongku
pelan.
Aku terkejut
mendengarnya memanggilku 'Sayang'. Ah, malu banget kalau ada yang
mendengar mulutnya itu.
"Gila,"
jawabku, membuat ia terkekeh.
Aku kembali ke asrama.
Di sana, sudah ada Nanda yang berbaring, terlihat sangat bosan. Wardy tidak
terlihat.
"Wardy sudah
pergi?" tanyaku.
"Habis jemur
pakaiannya, dia sudah pergi ke mandi," seru Nanda.
"Kamu gak mandi?
Kebetulan lagi sepi, loh," seruku.
"Eh, iya
kah?" jawabnya antusias. Dia kemudian bergegas mengambil handuk, baju
ganti, dan perlengkapan mandinya.
"Aku duluan, ya,
San," serunya, dan bergegas pergi meninggalkanku sendirian.
Aku melanjutkan
aktivitas, menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Setelah itu, aku merebahkan
diri di ranjangku.
Ceklek.
Suara gagang pintu
terbuka. Pandanganku melirik ke arah sumber suara. Ternyata itu adalah Agus.
Rambutnya terlihat masih basah. Beberapa tetes air menetes dari rambutnya,
membasahi ujung baju-nya.
"Assalamualaikum.
Eh, kok kamu sendiri aja? Mana yang lain?" tanya Agus padaku.
"Wardy sama Nanda
pergi mandi," jawabku.
Entah kenapa, kalau
hanya berdua dengan Agus, rasanya aneh. Ada ketegangan dan kecanggungan yang
terasa, terutama setelah kejadian malam itu.
Apalagi saat ini, dia
terus melangkah mendekat ke arahku. Aku yang kini bersandar di tembok, di
ranjang pojokku, terasa terpojok.
"Kamu mau
apa?" seruku, sedikit waspada.
Tiba-tiba, dia... Cup!
Dia menciumku. Aku
kaget dan melotot. Tapi entah kenapa, rasa terkejutku itu tidak disertai rasa
jijik atau risih. Bukan hanya itu saja, bibirnya terus menempel sangat lama di
bibirku. Aku seperti terhipnotis oleh adegan itu. Merasa tidak ada penolakan
dariku, Agus terus melanjutkan tindakannya.
Kini, dia mulai
membuka mulutnya dan melumat bibirku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat,
bau sabunnya, bahkan rasa pasta giginya dapat kurasakan.
Entah dari mana
datangnya pengetahuan itu, tiba-tiba saja aku meresponsnya. Lidah kami saling
bertarung, napas kami semakin membara, rasanya waktu sedang berhenti untuk
menyaksikan adegan kami berdua.
Tangan Agus merangkul
belakang kepalaku, dapat kurasakan bahwa Agus seperti tidak ingin ciuman ini
cepat berakhir. Ciuman itu terasa lebih intens, lebih dalam, dan lebih
memuaskan daripada ciuman singkat di depan gerbang malam itu.
"Engg..."
Erangku, tanpa sadar lolos di sela-sela ciuman kami.
Ceklek!
Aku kaget. Suara pintu
terdengar terbuka. Seketika itu, aku mendorong Agus sekuat tenaga. Dorongan itu
begitu kuat hingga Agus terlempar menjauh, bahkan sampai ke tempat tidurnya
yang berjarak setengah meter.
Bruk!
Bunyi itu terdengar
kuat dari ranjang Agus.
"Ass... Eh,
kenapa dia?" seru Wardy, kaget mendengar suara barang jatuh yang kuat.
Apa Wardy melihat apa yang kami
lakukan? Aku takut jika
ketahuan. Aku bergegas merapikan bajuku dan menormalkan ekspresi wajahku.
"Eh, entahlah,
nih anak tiba-tiba loncat ke atas kasurnya. Untung aja kasurnya gak
patah," seruku, berbohong.
"Aduhhh,
sakit!" seru Agus, berpura-pura kesakitan. Hal itu membuat Wardy dan Nanda
yang datang di belakang Wardy tertawa terbahak-bahak. Cepat juga nih bocah-bocah mandinya.
"Emang agak-agak
tuh si Agus," seru Wardy, tak curiga.
Syukurlah, suasana di
kamar kembali normal. Kami berbincang-bincang tentang hal-hal random, mulai dari santri yang dihukum hingga gosip
lainnya.
"Eh, aku pergi
duluan ya ke mushola. Sudah janjian sama Ustadz Wendi," seru Wardy.
"Ada apa kamu
sama Ustadz Wendi?" tanya Agus penasaran.
"Kayaknya mau
latihan buat tilawah. Dia kan akan ikut MTQ," jelasku.
"Oh, gitu. Ya
sudah, semangat ya," seru Agus pada Wardy. Wardy hanya mengangguk dan
pergi meninggalkan kami.
"Keluar
yuk," ajak Nanda.
"Ke mana?"
tanyaku.
"Ya, ke mana aja.
Bosen euy di sini," serunya lagi.
"Malas ah,
aku," jawab Agus.
"Boleh, tapi
singgah dulu ya ke perpus, mau balikin buku," jawabku.
"Oke," ujar
Nanda.
"Yakin gak ikut,
Gus?" tanya Nanda pada Agus sebelum kami pergi.
"Enggak,"
ucapnya.
"Ya sudah, jagain
kamar ya. Assalamu'alaikum," seruku padanya.
"Wa'alaikumussalam,"
ucap Agus.
Aku dan Nanda pergi ke
perpustakaan. Walau hari Sabtu, perpustakaan kami masih buka. Tempat ini adalah
satu-satunya tempat yang tidak ada pemisah antara santri dan santriwati. Jadi,
di sini kami akan melihat beberapa santriwati berkeliling dari rak-rak buku.
Sehabis mengembalikan
buku, aku keluar dari perpustakaan. Di sana sudah ada Nanda yang menungguku.
Dia tidak masuk, katanya sih malas.
"Sudah?"
tanyanya.
"Iya, sudah.
Habis ini kita mau ke mana?" tanyaku penasaran.
"Jalan-jalan
keluar yuk," saran Nanda.
"Ayok."
Saat kami berjalan,
tiba-tiba saja ada yang menghampiri kami. Dia merangkul pundakku dengan
tangannya.
"Eh, mau ke mana
kalian?" tanya laki-laki itu. Membuat aku dan Nanda sontak memandang ke
arahnya. Suara itu, suara berat khas seorang pria. Berhidung mancung, tingginya
melebihi aku dan Nanda. Berambut lurus dengan wajah yang tampan.
"Bikin kaget aja,
Dar," seruku padanya. Itu adalah Darmi, anak yang bisa dibilang paling
nakal di pesantren ini. Dia selalu saja dihukum Ustadz atas segala
perbuatannya.
Namun, Darmi adalah
idola para santriwati karena ketampanannya.
"Kita mau keluar
cari angin," ujar Nanda.
"Ikut, ya,"
serunya lagi.
"Ya, ikut aja,
gak apa-apa," seruku. Lagipula, kami saling kenal. Kamar Darmi berdekatan
dengan kamar kami, jadi kami lumayan dekat.
"Aduh, kalau aku
jalan bareng sama kalian, kita kayak jadi pusat perhatian," seru Nanda.
"Loh, kenapa?
Karena Darmi selalu bikin kasus?" tanyaku penasaran.
"Bukan. Lihat aja
wajah kalian. Tuh, mencolok parah. Ganteng-ganteng," seru Nanda.
"Hahaha, makanya
jangan jelek," seru Darmi.
"Eh, aku tuh
ganteng juga kali! Tapi kalian tuh gantengnya gak ngotak!" seru Nanda,
membuat kami makin tertawa terbahak-bahak.
"Ada-ada aja
kamu, Nan," ujarku.
Kami berjalan bertiga,
singgah membeli gorengan dan minuman. Lalu, kami pergi berjalan menuju sebuah
gubuk di dekat sawah yang saat ini sedang kosong.
"Hu,
ademnya," seru Darmi, langsung berbaring di gubuk tersebut.
"Pusarmu
kelihatan, tuh," ucap Nanda.
"Biarin, lagian
sama kalian aja."
"Eh, btw, teman-teman kalian yang lain ke mana?"
tanyaku penasaran.
"Biasalah,
mereka. Anak alim. Pening telingaku. Dikit-dikit bahas hadits sama mereka.
Hafalan aja udah bikin mumet di kepalaku," keluh Darmi.
"Wkwkwk, untung
aja si Wardy ngobrolnya masih normal sama kita," seruku.
"Ah, rasanya
pengen ngerokok," ucapnya, nadanya penuh kerinduan.
"Kamu
ngerokok?" tanya Nanda.
"Kadang-kadang,"
jelasnya.
"Pantas dihukum
mulu kamu sama Ustadz," ucapku.
"Makanya mereka
bikin aku sekamar sama tuh bocah-bocah alim," serunya.
Mendengar itu, aku dan
Nanda sontak tertawa bersama.
"Ya sudah, makan
dulu nih, gorengan," seruku.
"Eh guys, kayaknya aku mau pamit duluan, deh," seru
Nanda tiba-tiba.
"Kenapa?"
tanyaku penasaran.
"Perutku
tiba-tiba mules. Gak tahan lagi," jelasnya.
"Ya udah, sana
pergi. Jangan sampai bau tai di sini," ujar Darmi, mengejek.
Akhirnya, kini hanya
menyisakan aku dan Darmi yang sedang berbaring menikmati angin yang sedang
berhembus. Aku sedang menikmati gorengan, sementara Darmi berbaring menyamping
di depanku.
Saat aku sedang
meliriknya, mataku bertatapan langsung dengan matanya.
"Kamu putih
banget, ya," seru Darmi padaku.
"Gen dari
ortuku," jelasku singkat.
"Ah, kalau kamu
cewek, mungkin udah kuperkosa kamu," serunya, senyumnya penuh nafsu.
Ini sama seperti yang
dijelaskan Agus. Ternyata Agus tidak
berbohong.
"Bahkan kalau pun
cewek, aku gak mungkin suka sama kamu," ujarku, mencoba berkelakar.
"Kenapa? Aku
ganteng gini," serunya, menyombongkan diri.
"Ya, kalau aku
cewek, berarti aku juga kan cantik banget, ya kan," seruku.
"Hahaha, gak
apa-apa, jadi cowok juga udah menarik," serunya. "Btw, kalau putih
gitu, kontolnya ikut putih juga, kah?"
"Eh,
maksudnya?"
"Nanya aja.
Penasaran soalnya," katanya.
"Kayaknya
iya," jawabku.
"Kalau pentilnya
pink juga, kah?" tanya Darmi. Kini dia sudah duduk di depanku,
menghadapku.
"Lumayan sih.
Kenapa nanya gitu?" tanyaku.
"Soalnya pentilku
agak kecokelatan," serunya. Lalu, dia mengangkat kaosnya tinggi hingga
memperlihatkan putingnya yang agak kecokelatan. "Coba lihat punyamu,"
pinta Darmi.
Aku pun mengangkat
kaosku sedikit, dan memperlihatkan putingku.
"Buset, pink," seru Darmi. Kemudian, dia mencubit pelan
putingku. Rasanya seperti tersengat listrik.
"Akhh, geli,
Dar," ujarku, berusaha menghentikan aksinya. Tapi, dia terus mempermainkan
jari jemarinya di putingku. Memelintirnya.
"Sstsss,
akhhh..." Desahku lolos, tak tertahankan.
"Jirrr, seenak
itu, ya?" tanya Darmi. Aku tidak menjawab, hanya mendesah.
Tanpa aba-aba, dia
mulai mendekat, dan menghisap salah satu putingku. Rasa gelinya semakin
menjadi-jadi, bercampur dengan sensasi terlarang yang membangkitkan.
"Akhh, sstsss,
hooo! Darrr, geliii!" seruku, dan aku mendorongnya dengan kuat.
"Apa yang kamu
lakukan?!" tanyaku, mengatur napas.
"Eh, maaf, maaf.
Aku penasaran aja. Hehe," katanya, tersenyum jahil.
"Tapi, aku
penasaran dengan kontolmu. Kira-kira pink juga, kah?" tanyanya lagi,
matanya kini menatap lurus ke bagian bawahku.
"Kenapa tanya
gitu?"
"Gak papa,
soalnya punyaku cokelat," serunya. Terus, tiba-tiba, dia menurunkan
sedikit celana kainnya dan memperlihatkan kontolnya yang ternyata sudah
menegang maksimal. Di ujung kontolnya, terlihat air precum
yang berkilauan. Jujur saja, kontolnya benar-benar besar dan berurat. Kepala
kontolnya keunguan. Dan tentu saja, panjang dan besarnya jauh melebihi punya
Agus.
"Gila, gede
banget," ucapku, takjub melihat pemandangan itu.
"Lihatin dong
punyamu," serunya.
"Gak, ah. Malu
aku," tolakku.
"Sama-sama cowok
juga," katanya. Kemudian, dia menarik celana kainku, membuka lancing (kancing celana) dan menurunkan resletingnya.
Aku tidak menghalangi
perbuatannya. Entah kenapa, aku seperti terhipnotis. Membiarkan perlakuannya.
"Gila, pink banget," serunya terkejut, melihat kontolku
yang mencuat keluar.
"Akhhh, j-jangan
dipegang!" ujarku, saat tangannya mengocok kontolku pelan.
"Sstsss,
akhhhh," desahku.
"Enak?"
serunya lagi. Aku tidak menjawab.
Kemudian, dia
menarikku ke pojokan gubuk. Agar kami bisa bersandar. Sekarang, kami berdua
bersandar bersebelahan. Darmi menarik tanganku dan menaruhnya di kontolnya yang
besar itu.
"Akhhh, enak
banget tanganmu," seru Darmi, matanya terpejam.
Akhirnya, kami berdua
pun saling mengocok kontol kami bersama. Posisinya, kami saat ini masih
mengenakan pakaian kami. Hanya menurunkan resleting celana kami agar kontol
kami bisa keluar.
"Sstsss,
akhhh," desah Darmi.
"San, tolong
isepin, ya," serunya.
Aku tiba-tiba kaget
dengan permintaannya. "Apa?" seruku, terkejut. Terutama saat dia
menarik kepalaku ke arah kontolnya.
Aku tentu saja
berusaha menutup mulutku rapat karena aku tidak mau. Mataku benar-benar
memandang dekat kontolnya. Bahkan, sekarang aku bisa mencium kontolnya dengan
jelas. Bau khas pria, agak sedikit amis.
Dia mencengkeram
rahangku kuat hingga aku terpaksa membuka mulutku. Melihat kesempatan itu,
Darmi mulai memasukkan kontolnya ke dalam mulutku.
"Hmmm..."
seruku, tercekat.
Kontolnya terasa aneh.
Agak amis dengan bau khas pria, tapi entah kenapa aku tidak merasa jijik. Ini
pertama kali aku mengulum kontol. Tentu saja, aku tidak selihai itu.
"Sstsss, akhhh,
enak banget," desah Darmi.
"Sstsss, akhhh,
terus, San!" Racaunya semakin menjadi. Bahkan, tanpa disadari, tangannya
sudah tidak memegang kepalaku lagi, dan membiarkan aku mengulum kontolnya
sendiri. Naik turun. Rasa pegal di mulutku, tidak membuat aku menghentikan
aksiku. Rasanya aku mulai terbiasa dengan rasa kontolnya. Bahkan, bau kontolnya
terasa candu.
"Hah! Sstsss,
argghh! Terus, San!" serunya.
Posisi saat aku
mengulumnya itu menyamping. Posisi ini membuat pantatku sedikit menungging.
Plak! Plak! Plak!
Bunyi tamparan di
pantatku. Tidak terasa sakit, malah membuat sensasi lain. Tangannya masuk ke
dalam celanaku, mengelus-elus pantatku.
Bahkan, jari jemarinya
bermain tepat di lubang pantatku. Rasanya geli-geli. Saat jari tengahnya
menggosok-gosok lubang pantatku.
"Akhhh, sstsss,
akhhh!" Desahnya. Entah kenapa, itu membuatku semakin binal. Aku mengulum
kontolnya dengan beringas.
"Akhh, sstsss, fuckk! Terus, San! Gila, enak banget, hooo!"
racaunya. Entah kenapa, rasanya kontolnya semakin membesar.
Kemudian, dia mulai
berdiri tepat di depanku yang kini bersandar, memaju-mundurkan pinggulnya
seakan sedang mengentot mulutku. Kepalaku ditahan dengan kedua tangannya.
Rasanya aku tersedak-sedak.
"Hmmm, hmm,
hmmm!" Racauku, berusaha bernapas.
"Akh! Sstsss, aku
mau keluar!"
CROTTT! CROTTT! CROTTT! CROTTT!
Cairan hangat
menyembur dari kontolnya. Ah, rasanya aneh, amis banget. Aku tahu itu adalah
sperma.
Ingin aku
memuntahkannya, tapi rahangku ditahan olehnya.
"Jangan
dibuang," serunya. Entah kenapa, aku pun menurutinya. Aku dengan sekuat
tenaga menelan spermanya ke dalam mulutku.
Saat semua sudah
tertelan, aku menjulurkan lidahku padanya. Memperlihatkan isi mulutku yang
sudah bersih.
"Ha, bagus,"
serunya.
Kemudian, dia melihat
kontolku yang masih berdiri kokoh dengan precum yang terus
menerus keluar. Dia duduk di depanku, dan mulai mengocok kontolku dengan cepat.
"Akhhh!"
Desahku. Mungkin karena tidak keluar-keluar. Darmi pun menunduk dan mengulum
kontolku. Dengan beringas.
"Akhhhh, sstsss,
Darrr! Enak, Dar!" Desahku keenakan. Rasanya aku sudah berada di puncak
kenikmatan.
"Dar, aku mau
keluar!" seruku. Mendengar itu, Darmi terus mengulum kontolku semakin
beringas.
"Akhhhh,
Darrrr!" ucapku saat aku sudah berada di batas puncak.
CROTTT! CROTTT! CROTTT!
Spermaku muncrat semua
di mulutnya. Rasanya geli saat mulutnya masih mengulum kontolku.
Kemudian, dia berdiri
tetap di depanku. Aku dapat melihat wajahnya. Dia menekan mulutku. Kukira dia
akan menciumku. Tapi, salah. Saat mulutku terbuka, dia meludahkan semua
spermaku yang tertumpah di mulutnya ke dalam mulutku. Aku dapat merasakan
ludahnya yang bercampur dengan spermaku.
"Telan,"
pintanya.
Aku pun berusaha untuk
menelan semuanya. Walau aku masih belum terbiasa dengan rasa sperma.
Kemudian, Darmi duduk
di sebelahku. Kami berdua menghela napas bersama, menikmati angin yang bertiup.
Aku melihat kontol kami berdua yang sudah lemas, dan lengket karena air liur
kita berdua.
"Gimana
rasanya?" tanya Darmi kemudian.
"Gak enak,"
jawabku serius. Membuat Darmi tertawa terbahak-bahak. Kemudian, dia mengelus
kepalaku lembut.
"Hehe, maaf ya,
kita malah jadi berbuat hal senonoh. Entah kenapa, tiba-tiba aku kepengen
banget," seru Darmi. Yang kemudian mencium keningku, lalu bibirku, yang
berujung saling melumat. Nafasnya, air liurnya dapat ku rasakan dengan jelas.
"Hmmm, udah, Dar.
Nanti keterusan lagi," seruku, menyudahi aksi kami berdua.
Dan lagi, dia hanya
tertawa ngakak. Akhirnya, aku mengajaknya untuk balik bersama.
"Makasih,
ya," seru Darmi.
"Hmm,"
jawabku, bingung mau jawab apa.
"Tapi, ini
pertama kali kamu ngulum kontol?" tanya dia penasaran.
"Iya,"
jawabku.
"Pantas masih kaku.
Beberapa kali kena gigi," katanya.
"Maksudnya?"
"Kalau ngulum
kontol tuh, jangan kena gigi. Ngilu kontol orang yang kamu isap."
"Ya, namanya juga
baru pertama kali," jawabku.
"Gak apa-apa.
Nanti kita latihan lagi," seru Darmi.
Aku kaget
mendengarnya. Kemudian, aku meninju punggungnya kuat.
PLAK!
"Auwww,
sakit!" keluh Darmi, sambil tertawa.
Aku tersenyum. Aku
tahu, hidupku di pesantren ini baru saja memasuki babak yang jauh lebih rumit
dan penuh rahasia. Aku kini memiliki dua rahasia, dengan dua orang yang
berbeda, yang sama-sama tahu bagian paling tersembunyi dari diriku.
Illustrasi Darmi
Illustrasi Nanda






Comments
Post a Comment