Berhari-hari telah berlalu sejak malam mengerikan
di pos ronda. Sejak saat itu, saya benar-benar berusaha keras untuk menahan
hasrat yang membara di dalam diriku. Setiap kali lubang pantatku terasa gatal,
setiap kali kontolku berdenyut, saya langsung beristighfar, membaca Al-Qur'an,
dan berusaha mengalihkan pikiran. Saya merasa begitu hina, seorang Ustadz yang
seharusnya menjadi panutan, justru terjerumus dalam lumpur dosa yang begitu
dalam. Namun, di balik semua penyesalan itu, ada bisikan tipis yang terus
menggoda, sebuah kerinduan akan kenikmatan yang terlarang itu.
Hari ini, adalah giliran saya untuk mengisi
khotbah Jumat di kampung. Jantungku berdebar kencang sejak pagi. Bagaimana
mungkin saya bisa berdiri di mimbar, berbicara tentang keimanan dan ketaatan
kepada Allah, sementara hati dan jiwaku kotor oleh dosa? Rasa malu yang teramat
sangat menyelimutiku. Terlebih lagi, saya tahu beberapa orang di antara jamaah
yang duduk di depan saya adalah mereka yang pernah menyetubuhi saya: Ian, Joko,
Rudi, Budi (yang pemakai topi beanie), Agus, bahkan Pak RT dan Pak Bagas.
Mereka duduk di sana, mendengarkan ceramahku, seolah tidak terjadi apa-apa.
Bayangan kontol mereka yang menusuk lubang pantatku terus muncul di kepalaku,
membuat setiap kata yang keluar dari mulutku terasa hampa dan munafik.
Saya memaksakan diri untuk menyelesaikan
khotbah, suara saya kadang bergetar, pandangan saya berusaha menghindari
tatapan mereka yang saya tahu tahu aibku. Begitu selesai, dengan cepat saya
menutup khotbah dan bergegas turun dari mimbar, ingin segera menghilang dari
hadapan mereka semua. Saya hanya ingin pulang, bersembunyi di balik dinding
rumah.
Selepas jumat saya benar-benar tidak tahan untuk
terus tinggal di masjid, saya bergegas beranjak pergi terlebih dahulu
meninggalkan tempat ini. Namun, belum sempat saya melangkah jauh dari pintu
masjid, sebuah tangan menepuk bahuku.
"Ardy," sebuah suara yang familiar.
Itu Ustadz Firman.
Jantungku berdesir. Saya menoleh. Ustadz Firman
menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada kekhawatiran, ya, tapi
juga ada sesuatu yang lain, sebuah pemahaman yang hanya kami berdua yang tahu.
"Ustadz Firman," kataku, berusaha
menjaga nada bicaraku agar tetap normal.
"Ada apa, Ardy? Kok buru-buru sekali?"
tanyanya, suaranya pelan.
"Ah, tidak ada apa-apa, Ustadz. Cuma... ada
sedikit urusan di rumah," jawabku, berusaha mengelak.
Ustadz Firman menghela napas panjang. Dia
melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang memperhatikan kami.
"Jangan bohong, Ardy. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.
Wajahmu terlihat sangat gelisah. Mau ikut aku ke rumah? Kita bisa bicara santai
di sana."
Tawaran itu sungguh menggiurkan. Saya butuh
tempat untuk berbagi, untuk meluapkan semua yang saya rasakan. Ustadz Firman
adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa mengerti, karena dia juga
terjerumus dalam dosa yang sama denganku.
"Tapi... istri Ustadz Firman ada di
rumah?" tanyaku ragu.
"Tidak. Dia sedang pergi ke rumah ibunya.
Baru pulang sore nanti," jawab Ustadz Firman, senyum tipis terukir di
bibirnya.
Mendengar itu, saya merasa sedikit lega. Ini
adalah kesempatan emas. "Baiklah, Ustadz. Saya ikut."
Kami berdua berjalan bersama menuju rumah Ustadz
Firman. Sepanjang perjalanan, kami hanya diam, diselimuti oleh pikiran
masing-masing. Begitu sampai di rumahnya, Ustadz Firman langsung
mempersilakanku masuk. Rumahnya sepi dan sunyi, hanya ada kami berdua.
Kami duduk di ruang tamu. Ustadz Firman
menyuguhiku teh hangat. Keheningan menyelimuti kami berdua selama beberapa
saat. Saya tidak tahu harus memulai dari mana.
"Jadi, apa yang mengganggu pikiranmu,
Ardy?" tanya Ustadz Firman, suaranya lembut, memecah keheningan.
Mendengar pertanyaannya, bendungan air mata yang
selama ini saya tahan langsung runtuh. Saya menunduk, tidak sanggup menatapnya,
dan mulai menangis sesenggukan. Rasa malu, hina, penyesalan, dan ketagihan yang
bercampur aduk itu tumpah ruah.
"Ustadz Firman," kataku, suaraku
tercekat oleh isakan, "Saya... saya sudah tidak sanggup lagi, Ustadz.
Saya... saya sudah terlalu jauh terjerumus."
Ustadz Firman tidak berkata apa-apa. Dia hanya
duduk di sampingku, tangannya menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.
"Saya... saya diperkosa, Ustadz,"
kataku, air mata mengalir deras. "Oleh... oleh geng Ian. Semalam. Saya...
saya dihina, diperlakukan seperti... seperti lonte."
Ustadz Firman terkesiap, tangannya terhenti.
"Astaghfirullah, Ardy! Apa yang mereka lakukan?"
Saya mengangkat kepalaku, menatapnya dengan mata
merah dan bengkak. "Mereka... mereka memaksa saya untuk melayani mereka.
Mereka menyebut saya anjing, lonte. Mereka... mereka bergilir memasukkan kontol
mereka ke lubang pantatku bergantian. Bahkan... bahkan ada dua kontol yang
masuk bersamaan, Ustadz. Saya... saya bermandikan sperma mereka, Ustadz."
Ustadz Firman terlihat shock. Wajahnya pucat
pasi. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un... Mereka benar-benar
keterlaluan!"
"Tapi, Ustadz," lanjutku, suaraku
semakin pilu, "Yang paling menyakitkan, Ustadz... Saya... saya menikmati
itu. Saya... saya ketagihan, Ustadz. Setiap kali kontol mereka masuk, setiap
kali mereka menggenjot, saya merasa... nikmat yang luar biasa. Saya merasa
begitu hina, tapi tubuh saya tidak bisa menolak. Saya... saya bahkan mengisap
kontol mereka, menggoyangkan pantatku seperti lonte sungguhan, demi memuaskan
mereka. Saya... saya sudah seperti anjing yang haus kontol, Ustadz! Saya tidak
bisa menolaknya saya menikmatinya"
Saya kembali terisak, menumpahkan semua rasa
sakit dan pengakuan yang memalukan. "Saya menyesal, Ustadz! Saya ingin
berhenti! Tapi... tapi saya tidak bisa. Saya ingin kontol mereka lagi. Saya ingin
merasakan lubang pantatku diisi lagi. Saya... saya sudah ketagihan kontol,
Ustadz!"
Ustadz Firman tidak berkata apa-apa. Dia hanya
merangkulku, menarikku ke dalam pelukannya. Saya menangis tersedu-sedu di
dadanya, mencengkeram erat bajunya. Air mataku membasahi bajunya.
"Sudah, Ardy... sudah..." bisiknya
lembut, mengusap-usap punggungku. "Aku mengerti. Aku sangat mengerti
perasaanmu. Hasrat itu memang kuat. Apalagi kalau sudah dirasakan. Sangat sulit
untuk berhenti."
Suara Ustadz Firman yang lembut dan pengertian,
pelukannya yang hangat, membuatku merasa sedikit lega. Tapi di balik pelukan itu,
saya bisa merasakan kontol Ustadz Firman yang mulai menegang, menusuk pahaku.
Hasrat itu, rupanya, juga tidak bisa ia tolak.
Ustadz Firman melepaskan pelukannya sedikit,
lalu mengangkat wajahku. Matanya merah, dan ada gairah yang jelas terpancar di sana,
bercampur dengan rasa iba dan pemahaman.
"Aku juga merasakannya, Ardy,"
bisiknya, suaranya serak. "Aku juga... ketagihan dirimu. Sejak pertama
kali... aku tidak bisa melupakan lubangmu yang menghempit kontolku."
Dia menelan ludah. "Jangan menyalahkan
dirimu sendiri, Ardy. Aku di sini untukmu. Kita hadapi ini bersama. Atau...
kita nikmati ini bersama."
Kalimat terakhirnya membuat jantungku berdebar
kencang. Itu adalah sebuah undangan, sebuah izin untuk terus jatuh ke dalam
dosa yang memabukkan ini.
"Ustadz Firman..." bisikku, suaraku
nyaris tak terdengar, tatapan mataku tertuju pada kontol-nya yang sudah
membentuk gundukan besar di balik sarungnya.
Ustadz Firman mengangguk. Dia tidak berkata
apa-apa lagi, hanya menunduk, lalu bibirnya kembali mendarat di bibirku. Ciuman
itu dalam dan panas, penuh dengan kerinduan yang tak terbendung. Lidah kami
saling beradu dengan liar, menjelajahi setiap sudut mulut satu sama lain. Saya
membalas ciumannya dengan tak kalah buas, mencengkeram rambutnya. Aku dapat
merasakan nafasnya yang panas dan cepat seakan itu tanda kalau di sudah berada
diatas puncak.
Ustadz Firman melepaskan ciuman kami, napasnya
terengah-engah. Matanya membara dengan nafsu yang tak tertahankan.
"Aku tidak bisa menahan diri lagi,
Ardy," bisiknya. "Aku ingin masuk ke dalammu, sekarang."
Tanpa basa-basi, Ustadz Firman langsung meraih
sarungku. Dengan gerakan cepat dan kuat, dia melorotkan sarungku hingga jatuh
ke lantai. Kontol saya langsung melonjak keluar, kokoh, panas, dan basah oleh
precum.
Ustadz Firman menatap kontol saya dengan mata
berbinar. "Besar sekali, Ardy…."
Dia langsung berlutut di depanku, meraih kontol
saya, lalu menghisapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Mulutnya panas dan basah,
lidahnya bermain liar, memutari kepala kontol saya, menjilat batangnya dari pangkal
hingga ujung. Hisapannya kuat dan dalam, mengulum dan menarik dengan penuh
nafsu.
"Ahhh stsss akhaaa... Ustadz...
enakkk..." desahku, kepalaku mendongak ke atas, mataku terpejam rapat. Tanganku
menjambak rambut Ustadz Firman, menarik kepalanya lebih dalam, seolah ingin dia
menelan seluruh kontol saya. Saya merasakan gelombang kenikmatan yang membakar
dan memabukkan, menjalar ke seluruh tubuh saya.
Ustadz Firman terus menghisap, menjilat, dan
mengulum, sesekali menghisap seluruh kontol saya hingga pangkal, membuatku
menggeliat tak terkontrol, punggungku melengkung karena sensasi. Suara kecapan
mulut Ustadz Firman dan desahanku yang semakin tak terkontrol memenuhi ruang
tamu yang sepi, menciptakan simfoni gairah kami berdua.
"Ustadz... aku... aku mau crott di
mulutmu..." desahku, suaraku tercekat oleh kenikmatan yang luar biasa.
Mendengar itu, Ustadz Firman melepaskan
hisapannya dari kontol saya. Dia mendongak, menatapku, matanya berkilat nakal,
penuh dengan kekuasaan dan rasa memiliki.
"Jangan dulu, Ardy," bisiknya,
suaranya berat dan serak karena nafsu. "Aku ingin merasakan lubang mu dulu,
sepenuhnya. Setelah itu, baru kita crott bersama."
Dia berdiri, lalu melorotkan sarungnya. Kontol-nya
yang kekar dan keras langsung melonjak keluar, berayun di depan wajahku. Rambut
kemaluannya yang lebat dan sedikit basah oleh precum terlihat jelas. Aku tidak
tahan lagi, aku meraihnya dan mulai mengulum kontolnya di dalam mulutmu. Ah bau
kontolnya membuatku makin ketagihan. Rasa precumnya yang asin benar-benar
perpaduan yang pas.
“Akhhh stsss nah begitu ardy terus!!!” racaunya sambil
memaju mundurkan pinggulnya seakan sedang mengentotin mulut ku.
Ustadz Firman mendorongku perlahan hingga aku
bersandar di sofanya. Aku mengangkat kaki ku hingga berbentuk V dari situ dapat
terlihat lubang ku yang berkedup-kedup kemerahan. Bekas permaian dengan geng
ian dan Pak Rt masih terlihat dengan lubang ku yang terlihat membengkak.
Ustadz Firman menatap
pemandangan itu. Matanya memancarkan campuran gairah yang membakar dan rasa
iba. Bekas pertempuran dosa di lubang pantatku—bengkak, kemerahan, dan
berkedut—justru menjadi pemantik yang membuat kontolnya semakin menegang.
"Astaghfirullahaladzim,
Ardy," bisiknya, ucapannya terdengar seperti permohonan ampun dan desahan
kenikmatan yang diucapkan bersamaan. "Lubangmu... terlihat sangat ingin
diisi." Serunya jari tengahnya menyentuh lubangku. Memutar-mutar jarinya
tepat di pintu lubang pantat ku.itu terasa geli.
Dia berlutut di antara
kedua kakiku yang terbuka lebar, memiringkan kepalanya, dan mulai menjilati lubang pantatku dengan
ujung lidahnya. Sentuhan lidah yang basah dan panas itu mengirimkan sengatan
listrik ke seluruh sarafku.
"Ahhh stsss hooo,
Ustadz... enakkkk stsss..." desahku, namun tanganku justru mencengkeram
erat sandaran sofa, membiarkan diriku lebih terbuka dan rentan.
Ustadz Firman
mengabaikan desahku. Dia semakin liar, menjilat, menghisap, dan memainkan
lidahnya di sekitar lubang dan perineumku. Dia mencium sisa-sisa aroma dan rasa
dari permainanku sebelumnya, dan itu seolah hanya menambah kobaran nafsu.
"Kau benar-benar
lonte yang manis, Ardy," bisiknya di antara jilatan. "Aku akan
membersihkanmu, dan kemudian... aku akan mengotorimu lagi."
Air mataku kembali
mengalir, kali ini bukan karena penyesalan, melainkan karena percampuran antara
rasa malu, kejiwaan yang hancur, dan sensasi nikmat yang memabukkan. Aku
benar-benar tidak bisa menolak.
Setelah puas dengan
permainan lidahnya, Ustadz Firman menarik napas dalam-dalam. Wajahnya merah
padam, kontolnya yang kekar memantul-mantul di depan wajahku. Dia menumpahkan
sedikit pre-cum-nya di ujung jarinya, lalu mengoleskannya di
sekeliling lubang pantatku.
"Siap,
Sayang?" tanyanya, suaranya dalam dan serak.
Aku tidak menjawab.
Hanya mengangguk kecil, tubuhku sudah gemetar hebat.
Dengan sekali dorongan
kuat, Ustadz Firman menghujamkan seluruh
kontolnya ke dalam lubang pantatku yang masih bengkak dan longgar.
"AHHHHHH!!!"
Aku menjerit tertahan, mencengkeram sandaran sofa hingga buku-buku jariku
memutih. Rasa sakit yang tajam bercampur dengan sensasi penuh yang familiar.
Itu adalah perpaduan yang langsung membuatku ketagihan.
"Nikmat, Ardy?
Katakan padaku kau menyukainya!" Ustadz Firman mendesis di telingaku,
sambil menahan posisinya sejenak, membiarkan kontolnya yang penuh mengisi
setiap inci lubangku.
"Enakkk...
Ustadz... lebihh... lebihh dalammm!" racauku, semua harga diri dan
keimananku lenyap, berganti menjadi teriakan gairah.
Ustadz Firman mulai
menggenjot. Pelan pada awalnya, lalu semakin cepat, semakin dalam, dan semakin
brutal. plok! plok! plok! Suara kulit
kami yang beradu, desahan, dan racaun kami memenuhi rumah sunyi itu.
Dia menggenjotku
seolah ingin menghukumku atas dosa kami, namun setiap hentakan justru terasa
seperti surga yang terlarang. Aku mengangkat pantatku, memaju-mundurkan
pinggulku, mencocokkan ritme genjotannya, persis seperti yang kulakukan untuk
memuaskan geng Ian. Aku sudah benar-benar menjadi lonte
yang haus kontol.
"Ya... Ya
Tuhan... ini nikmat sekali, Ustadz! Aku... aku crottt... aku mau crottt
lagi!" teriakku, suaraku nyaris hilang.
Ustadz Firman
mendengus. Dia menarikku dari sofa, membalikkan badanku, dan menyuruhku berlutut dalam posisi doggy style.
Dia kembali menghantamku dari belakang. Kontolnya menghantam titik prostatku
berulang kali, mengirimkan gelombang kenikmatan yang bertubi-tubi.
"Kau akan crott
di bawah kontolku, Ardy! Kau pantas mendapatkannya!" serunya.
Aku menangis, kali ini
karena kenikmatan yang meluap. "Aku anjing! Aku anjing yang haus kontol,
Ustadz! Genjot aku! Isi aku dengan spermamu! Jadikan aku lonte mu! Akhhhh "
Pengakuan yang
menjijikkan itu justru menjadi bahan bakar bagi Ustadz Firman. Dia menggenjotku
untuk terakhir kalinya, sangat dalam, dengan raungan.
"Aku...
crotttt!"
Pada saat yang sama,
aku juga menjerit, menyemprotkan
spermaku ke lantai ruang tamu. Aku merasakan sensasi hangat dan lengket
dari sperma Ustadz Firman yang membanjiri
lubang pantatku, memenuhi seluruh perut bawahku.
Kami berdua
terengah-engah, tubuh kami lemas, basah oleh keringat dan dosa. Ustadz Firman
ambruk di punggungku, kepalanya bersandar di bahuku.
"Kita... kita
benar-benar kotor, Ardy," bisiknya, suaranya kini kembali penuh
penyesalan.
Aku tidak menjawab.
Aku hanya merasakan sperma Ustadz Firman yang perlahan menetes keluar, dan
sebuah pikiran kotor muncul di benakku: Kapan kita akan melakukannya
lagi?
Kami membersihkan diri di kamar mandi Ustadz
Firman dalam diam, rasa bersalah dan kenikmatan yang baru saja terjadi masih
menggantung tebal di udara. Kami kembali ke ruang tamu. Aku memakai sarungku,
merasa lebih ringan, namun di saat yang sama lebih berat dari sebelumnya.
"Ardy..."
Ustadz Firman memanggilku. Dia tampak tenang, namun matanya masih memerah.
"Ya,
Ustadz," kataku, menunduk.
"maafkan aku
tidak bisa memberikan solusi untuk mu. Karena aku juga sama seperti mu,"
katanya, menyebut istilah itu dengan nada dingin dan penuh kepastian.
Dia berjalan mendekat,
memegang bahuku. "Khotbahmu hari ini... Aku tahu kau sangat menderita.
Tapi ingat, penderitaan itu adalah sebab dari
kenikmatan yang kita rasakan sekarang. Rasa bersalah adalah bumbu
penyedapnya."
"Tapi... apakah
ini tidak salah, Ustadz? " tanyaku, air mata kembali menggenang.
Ustadz Firman
tersenyum sinis. "tentu salah ardy, akupun tidak bisa membenarkan kelakuan
kita"
Dia berbisik di
telingaku, suaranya kembali mengandung janji dan ancaman: "kini kita bukan
lagi Ustadz yang alim. kita adalah
sudah menjadi lonte yang butuh kepuasan."
Aku menyukainya. Pengakuan itu menusuk jiwaku, namun tubuhku
bereaksi dengan denyutan samar di selangkangan.
Dia memberiku senyum
yang tak bisa kuartikan. Senyum iblis yang memberikan tawaran menggiurkan.
Aku tidak bisa
berkata-kata. Aku hanya mengangguk, mengambil sarungku yang tadi jatuh, dan
berjalan keluar dari rumah Ustadz Firman, dengan jiwa yang sepenuhnya hancur
dan lubang pantat yang penuh dan hangat. Aku tahu, aku tidak akan bisa menolak
undangan itu. Aku benar-benar telah terjerumus.
Bersambung...

.png)

Hmm nasibnya
ReplyDelete