Skip to main content

Ustadz Kampung: Chapter 15. Curhat


       


Berhari-hari telah berlalu sejak malam mengerikan di pos ronda. Sejak saat itu, saya benar-benar berusaha keras untuk menahan hasrat yang membara di dalam diriku. Setiap kali lubang pantatku terasa gatal, setiap kali kontolku berdenyut, saya langsung beristighfar, membaca Al-Qur'an, dan berusaha mengalihkan pikiran. Saya merasa begitu hina, seorang Ustadz yang seharusnya menjadi panutan, justru terjerumus dalam lumpur dosa yang begitu dalam. Namun, di balik semua penyesalan itu, ada bisikan tipis yang terus menggoda, sebuah kerinduan akan kenikmatan yang terlarang itu.

Hari ini, adalah giliran saya untuk mengisi khotbah Jumat di kampung. Jantungku berdebar kencang sejak pagi. Bagaimana mungkin saya bisa berdiri di mimbar, berbicara tentang keimanan dan ketaatan kepada Allah, sementara hati dan jiwaku kotor oleh dosa? Rasa malu yang teramat sangat menyelimutiku. Terlebih lagi, saya tahu beberapa orang di antara jamaah yang duduk di depan saya adalah mereka yang pernah menyetubuhi saya: Ian, Joko, Rudi, Budi (yang pemakai topi beanie), Agus, bahkan Pak RT dan Pak Bagas. Mereka duduk di sana, mendengarkan ceramahku, seolah tidak terjadi apa-apa. Bayangan kontol mereka yang menusuk lubang pantatku terus muncul di kepalaku, membuat setiap kata yang keluar dari mulutku terasa hampa dan munafik.

Saya memaksakan diri untuk menyelesaikan khotbah, suara saya kadang bergetar, pandangan saya berusaha menghindari tatapan mereka yang saya tahu tahu aibku. Begitu selesai, dengan cepat saya menutup khotbah dan bergegas turun dari mimbar, ingin segera menghilang dari hadapan mereka semua. Saya hanya ingin pulang, bersembunyi di balik dinding rumah.

Selepas jumat saya benar-benar tidak tahan untuk terus tinggal di masjid, saya bergegas beranjak pergi terlebih dahulu meninggalkan tempat ini. Namun, belum sempat saya melangkah jauh dari pintu masjid, sebuah tangan menepuk bahuku.

"Ardy," sebuah suara yang familiar. Itu Ustadz Firman.

Jantungku berdesir. Saya menoleh. Ustadz Firman menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada kekhawatiran, ya, tapi juga ada sesuatu yang lain, sebuah pemahaman yang hanya kami berdua yang tahu.

"Ustadz Firman," kataku, berusaha menjaga nada bicaraku agar tetap normal.

"Ada apa, Ardy? Kok buru-buru sekali?" tanyanya, suaranya pelan.

"Ah, tidak ada apa-apa, Ustadz. Cuma... ada sedikit urusan di rumah," jawabku, berusaha mengelak.

Ustadz Firman menghela napas panjang. Dia melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang memperhatikan kami. "Jangan bohong, Ardy. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Wajahmu terlihat sangat gelisah. Mau ikut aku ke rumah? Kita bisa bicara santai di sana."

Tawaran itu sungguh menggiurkan. Saya butuh tempat untuk berbagi, untuk meluapkan semua yang saya rasakan. Ustadz Firman adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa mengerti, karena dia juga terjerumus dalam dosa yang sama denganku.

"Tapi... istri Ustadz Firman ada di rumah?" tanyaku ragu.

"Tidak. Dia sedang pergi ke rumah ibunya. Baru pulang sore nanti," jawab Ustadz Firman, senyum tipis terukir di bibirnya.

Mendengar itu, saya merasa sedikit lega. Ini adalah kesempatan emas. "Baiklah, Ustadz. Saya ikut."

Kami berdua berjalan bersama menuju rumah Ustadz Firman. Sepanjang perjalanan, kami hanya diam, diselimuti oleh pikiran masing-masing. Begitu sampai di rumahnya, Ustadz Firman langsung mempersilakanku masuk. Rumahnya sepi dan sunyi, hanya ada kami berdua.

Kami duduk di ruang tamu. Ustadz Firman menyuguhiku teh hangat. Keheningan menyelimuti kami berdua selama beberapa saat. Saya tidak tahu harus memulai dari mana.

"Jadi, apa yang mengganggu pikiranmu, Ardy?" tanya Ustadz Firman, suaranya lembut, memecah keheningan.

Mendengar pertanyaannya, bendungan air mata yang selama ini saya tahan langsung runtuh. Saya menunduk, tidak sanggup menatapnya, dan mulai menangis sesenggukan. Rasa malu, hina, penyesalan, dan ketagihan yang bercampur aduk itu tumpah ruah.

"Ustadz Firman," kataku, suaraku tercekat oleh isakan, "Saya... saya sudah tidak sanggup lagi, Ustadz. Saya... saya sudah terlalu jauh terjerumus."

Ustadz Firman tidak berkata apa-apa. Dia hanya duduk di sampingku, tangannya menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.

"Saya... saya diperkosa, Ustadz," kataku, air mata mengalir deras. "Oleh... oleh geng Ian. Semalam. Saya... saya dihina, diperlakukan seperti... seperti lonte."

Ustadz Firman terkesiap, tangannya terhenti. "Astaghfirullah, Ardy! Apa yang mereka lakukan?"

Saya mengangkat kepalaku, menatapnya dengan mata merah dan bengkak. "Mereka... mereka memaksa saya untuk melayani mereka. Mereka menyebut saya anjing, lonte. Mereka... mereka bergilir memasukkan kontol mereka ke lubang pantatku bergantian. Bahkan... bahkan ada dua kontol yang masuk bersamaan, Ustadz. Saya... saya bermandikan sperma mereka, Ustadz."

Ustadz Firman terlihat shock. Wajahnya pucat pasi. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un... Mereka benar-benar keterlaluan!"

"Tapi, Ustadz," lanjutku, suaraku semakin pilu, "Yang paling menyakitkan, Ustadz... Saya... saya menikmati itu. Saya... saya ketagihan, Ustadz. Setiap kali kontol mereka masuk, setiap kali mereka menggenjot, saya merasa... nikmat yang luar biasa. Saya merasa begitu hina, tapi tubuh saya tidak bisa menolak. Saya... saya bahkan mengisap kontol mereka, menggoyangkan pantatku seperti lonte sungguhan, demi memuaskan mereka. Saya... saya sudah seperti anjing yang haus kontol, Ustadz! Saya tidak bisa menolaknya saya menikmatinya"

Saya kembali terisak, menumpahkan semua rasa sakit dan pengakuan yang memalukan. "Saya menyesal, Ustadz! Saya ingin berhenti! Tapi... tapi saya tidak bisa. Saya ingin kontol mereka lagi. Saya ingin merasakan lubang pantatku diisi lagi. Saya... saya sudah ketagihan kontol, Ustadz!"

Ustadz Firman tidak berkata apa-apa. Dia hanya merangkulku, menarikku ke dalam pelukannya. Saya menangis tersedu-sedu di dadanya, mencengkeram erat bajunya. Air mataku membasahi bajunya.

"Sudah, Ardy... sudah..." bisiknya lembut, mengusap-usap punggungku. "Aku mengerti. Aku sangat mengerti perasaanmu. Hasrat itu memang kuat. Apalagi kalau sudah dirasakan. Sangat sulit untuk berhenti."

Suara Ustadz Firman yang lembut dan pengertian, pelukannya yang hangat, membuatku merasa sedikit lega. Tapi di balik pelukan itu, saya bisa merasakan kontol Ustadz Firman yang mulai menegang, menusuk pahaku. Hasrat itu, rupanya, juga tidak bisa ia tolak.

Ustadz Firman melepaskan pelukannya sedikit, lalu mengangkat wajahku. Matanya merah, dan ada gairah yang jelas terpancar di sana, bercampur dengan rasa iba dan pemahaman.

"Aku juga merasakannya, Ardy," bisiknya, suaranya serak. "Aku juga... ketagihan dirimu. Sejak pertama kali... aku tidak bisa melupakan lubangmu yang menghempit kontolku."

Dia menelan ludah. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Ardy. Aku di sini untukmu. Kita hadapi ini bersama. Atau... kita nikmati ini bersama."

Kalimat terakhirnya membuat jantungku berdebar kencang. Itu adalah sebuah undangan, sebuah izin untuk terus jatuh ke dalam dosa yang memabukkan ini.

"Ustadz Firman..." bisikku, suaraku nyaris tak terdengar, tatapan mataku tertuju pada kontol-nya yang sudah membentuk gundukan besar di balik sarungnya.

Ustadz Firman mengangguk. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menunduk, lalu bibirnya kembali mendarat di bibirku. Ciuman itu dalam dan panas, penuh dengan kerinduan yang tak terbendung. Lidah kami saling beradu dengan liar, menjelajahi setiap sudut mulut satu sama lain. Saya membalas ciumannya dengan tak kalah buas, mencengkeram rambutnya. Aku dapat merasakan nafasnya yang panas dan cepat seakan itu tanda kalau di sudah berada diatas puncak.

Ustadz Firman melepaskan ciuman kami, napasnya terengah-engah. Matanya membara dengan nafsu yang tak tertahankan.

"Aku tidak bisa menahan diri lagi, Ardy," bisiknya. "Aku ingin masuk ke dalammu, sekarang."

Tanpa basa-basi, Ustadz Firman langsung meraih sarungku. Dengan gerakan cepat dan kuat, dia melorotkan sarungku hingga jatuh ke lantai. Kontol saya langsung melonjak keluar, kokoh, panas, dan basah oleh precum.

Ustadz Firman menatap kontol saya dengan mata berbinar. "Besar sekali, Ardy…."

Dia langsung berlutut di depanku, meraih kontol saya, lalu menghisapnya dengan rakus dan penuh nafsu. Mulutnya panas dan basah, lidahnya bermain liar, memutari kepala kontol saya, menjilat batangnya dari pangkal hingga ujung. Hisapannya kuat dan dalam, mengulum dan menarik dengan penuh nafsu.

"Ahhh stsss akhaaa... Ustadz... enakkk..." desahku, kepalaku mendongak ke atas, mataku terpejam rapat. Tanganku menjambak rambut Ustadz Firman, menarik kepalanya lebih dalam, seolah ingin dia menelan seluruh kontol saya. Saya merasakan gelombang kenikmatan yang membakar dan memabukkan, menjalar ke seluruh tubuh saya.

Ustadz Firman terus menghisap, menjilat, dan mengulum, sesekali menghisap seluruh kontol saya hingga pangkal, membuatku menggeliat tak terkontrol, punggungku melengkung karena sensasi. Suara kecapan mulut Ustadz Firman dan desahanku yang semakin tak terkontrol memenuhi ruang tamu yang sepi, menciptakan simfoni gairah kami berdua.

"Ustadz... aku... aku mau crott di mulutmu..." desahku, suaraku tercekat oleh kenikmatan yang luar biasa.

Mendengar itu, Ustadz Firman melepaskan hisapannya dari kontol saya. Dia mendongak, menatapku, matanya berkilat nakal, penuh dengan kekuasaan dan rasa memiliki.

"Jangan dulu, Ardy," bisiknya, suaranya berat dan serak karena nafsu. "Aku ingin merasakan lubang mu dulu, sepenuhnya. Setelah itu, baru kita crott bersama."

Dia berdiri, lalu melorotkan sarungnya. Kontol-nya yang kekar dan keras langsung melonjak keluar, berayun di depan wajahku. Rambut kemaluannya yang lebat dan sedikit basah oleh precum terlihat jelas. Aku tidak tahan lagi, aku meraihnya dan mulai mengulum kontolnya di dalam mulutmu. Ah bau kontolnya membuatku makin ketagihan. Rasa precumnya yang asin benar-benar perpaduan yang pas.

“Akhhh stsss nah begitu ardy terus!!!” racaunya sambil memaju mundurkan pinggulnya seakan sedang mengentotin mulut ku.

Ustadz Firman mendorongku perlahan hingga aku bersandar di sofanya. Aku mengangkat kaki ku hingga berbentuk V dari situ dapat terlihat lubang ku yang berkedup-kedup kemerahan. Bekas permaian dengan geng ian dan Pak Rt masih terlihat dengan lubang ku yang terlihat membengkak.

Ustadz Firman menatap pemandangan itu. Matanya memancarkan campuran gairah yang membakar dan rasa iba. Bekas pertempuran dosa di lubang pantatku—bengkak, kemerahan, dan berkedut—justru menjadi pemantik yang membuat kontolnya semakin menegang.

"Astaghfirullahaladzim, Ardy," bisiknya, ucapannya terdengar seperti permohonan ampun dan desahan kenikmatan yang diucapkan bersamaan. "Lubangmu... terlihat sangat ingin diisi." Serunya jari tengahnya menyentuh lubangku. Memutar-mutar jarinya tepat di pintu lubang pantat ku.itu terasa geli.

Dia berlutut di antara kedua kakiku yang terbuka lebar, memiringkan kepalanya, dan mulai menjilati lubang pantatku dengan ujung lidahnya. Sentuhan lidah yang basah dan panas itu mengirimkan sengatan listrik ke seluruh sarafku.

"Ahhh stsss hooo, Ustadz... enakkkk stsss..." desahku, namun tanganku justru mencengkeram erat sandaran sofa, membiarkan diriku lebih terbuka dan rentan.

Ustadz Firman mengabaikan desahku. Dia semakin liar, menjilat, menghisap, dan memainkan lidahnya di sekitar lubang dan perineumku. Dia mencium sisa-sisa aroma dan rasa dari permainanku sebelumnya, dan itu seolah hanya menambah kobaran nafsu.

"Kau benar-benar lonte yang manis, Ardy," bisiknya di antara jilatan. "Aku akan membersihkanmu, dan kemudian... aku akan mengotorimu lagi."

Air mataku kembali mengalir, kali ini bukan karena penyesalan, melainkan karena percampuran antara rasa malu, kejiwaan yang hancur, dan sensasi nikmat yang memabukkan. Aku benar-benar tidak bisa menolak.

Setelah puas dengan permainan lidahnya, Ustadz Firman menarik napas dalam-dalam. Wajahnya merah padam, kontolnya yang kekar memantul-mantul di depan wajahku. Dia menumpahkan sedikit pre-cum-nya di ujung jarinya, lalu mengoleskannya di sekeliling lubang pantatku.

"Siap, Sayang?" tanyanya, suaranya dalam dan serak.

Aku tidak menjawab. Hanya mengangguk kecil, tubuhku sudah gemetar hebat.

Dengan sekali dorongan kuat, Ustadz Firman menghujamkan seluruh kontolnya ke dalam lubang pantatku yang masih bengkak dan longgar.

"AHHHHHH!!!" Aku menjerit tertahan, mencengkeram sandaran sofa hingga buku-buku jariku memutih. Rasa sakit yang tajam bercampur dengan sensasi penuh yang familiar. Itu adalah perpaduan yang langsung membuatku ketagihan.

"Nikmat, Ardy? Katakan padaku kau menyukainya!" Ustadz Firman mendesis di telingaku, sambil menahan posisinya sejenak, membiarkan kontolnya yang penuh mengisi setiap inci lubangku.

"Enakkk... Ustadz... lebihh... lebihh dalammm!" racauku, semua harga diri dan keimananku lenyap, berganti menjadi teriakan gairah.

Ustadz Firman mulai menggenjot. Pelan pada awalnya, lalu semakin cepat, semakin dalam, dan semakin brutal. plok! plok! plok! Suara kulit kami yang beradu, desahan, dan racaun kami memenuhi rumah sunyi itu.

Dia menggenjotku seolah ingin menghukumku atas dosa kami, namun setiap hentakan justru terasa seperti surga yang terlarang. Aku mengangkat pantatku, memaju-mundurkan pinggulku, mencocokkan ritme genjotannya, persis seperti yang kulakukan untuk memuaskan geng Ian. Aku sudah benar-benar menjadi lonte yang haus kontol.

"Ya... Ya Tuhan... ini nikmat sekali, Ustadz! Aku... aku crottt... aku mau crottt lagi!" teriakku, suaraku nyaris hilang.

Ustadz Firman mendengus. Dia menarikku dari sofa, membalikkan badanku, dan menyuruhku berlutut dalam posisi doggy style. Dia kembali menghantamku dari belakang. Kontolnya menghantam titik prostatku berulang kali, mengirimkan gelombang kenikmatan yang bertubi-tubi.

"Kau akan crott di bawah kontolku, Ardy! Kau pantas mendapatkannya!" serunya.

Aku menangis, kali ini karena kenikmatan yang meluap. "Aku anjing! Aku anjing yang haus kontol, Ustadz! Genjot aku! Isi aku dengan spermamu! Jadikan aku lonte mu! Akhhhh "

Pengakuan yang menjijikkan itu justru menjadi bahan bakar bagi Ustadz Firman. Dia menggenjotku untuk terakhir kalinya, sangat dalam, dengan raungan.

"Aku... crotttt!"

Pada saat yang sama, aku juga menjerit, menyemprotkan spermaku ke lantai ruang tamu. Aku merasakan sensasi hangat dan lengket dari sperma Ustadz Firman yang membanjiri lubang pantatku, memenuhi seluruh perut bawahku.

Kami berdua terengah-engah, tubuh kami lemas, basah oleh keringat dan dosa. Ustadz Firman ambruk di punggungku, kepalanya bersandar di bahuku.

"Kita... kita benar-benar kotor, Ardy," bisiknya, suaranya kini kembali penuh penyesalan.

Aku tidak menjawab. Aku hanya merasakan sperma Ustadz Firman yang perlahan menetes keluar, dan sebuah pikiran kotor muncul di benakku: Kapan kita akan melakukannya lagi?

 

Kami membersihkan diri di kamar mandi Ustadz Firman dalam diam, rasa bersalah dan kenikmatan yang baru saja terjadi masih menggantung tebal di udara. Kami kembali ke ruang tamu. Aku memakai sarungku, merasa lebih ringan, namun di saat yang sama lebih berat dari sebelumnya.

"Ardy..." Ustadz Firman memanggilku. Dia tampak tenang, namun matanya masih memerah.

"Ya, Ustadz," kataku, menunduk.

"maafkan aku tidak bisa memberikan solusi untuk mu. Karena aku juga sama seperti mu," katanya, menyebut istilah itu dengan nada dingin dan penuh kepastian.

Dia berjalan mendekat, memegang bahuku. "Khotbahmu hari ini... Aku tahu kau sangat menderita. Tapi ingat, penderitaan itu adalah sebab dari kenikmatan yang kita rasakan sekarang. Rasa bersalah adalah bumbu penyedapnya."

"Tapi... apakah ini tidak salah, Ustadz? " tanyaku, air mata kembali menggenang.

Ustadz Firman tersenyum sinis. "tentu salah ardy, akupun tidak bisa membenarkan kelakuan kita"

Dia berbisik di telingaku, suaranya kembali mengandung janji dan ancaman: "kini kita bukan lagi Ustadz yang alim. kita adalah sudah menjadi lonte yang butuh kepuasan."

Aku menyukainya. Pengakuan itu menusuk jiwaku, namun tubuhku bereaksi dengan denyutan samar di selangkangan.

Dia memberiku senyum yang tak bisa kuartikan. Senyum iblis yang memberikan tawaran menggiurkan.

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya mengangguk, mengambil sarungku yang tadi jatuh, dan berjalan keluar dari rumah Ustadz Firman, dengan jiwa yang sepenuhnya hancur dan lubang pantat yang penuh dan hangat. Aku tahu, aku tidak akan bisa menolak undangan itu. Aku benar-benar telah terjerumus.

Bersambung...






 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...