Skip to main content

Ustadz Kampung: Chapter 14. Penutup hari yang melelahkan



Ketika saya tiba di rumah, jam dinding menunjukkan pukul 12 malam lebih. Penampilanku pasti sudah sangat acak-acakan. Jubah hitamku kusut, rambutku sedikit berantakan, dan langkahku terasa aneh, seolah ada yang mengganjal di lubang pantatku.

Istriku, yang memang menungguku pulang ronda, langsung menghampiri dengan raut cemas. "Mas, kok sudah pulang? Kenapa acak-acakan begini? Jalannya juga aneh. Ada apa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Darahku langsung berdesir dingin. Saya harus berbohong. "Astaghfirullah, Dik. Tadi saya terpeleset di jalan yang becek dekat kebun singkong itu. Untungnya tidak parah, tapi pantat saya terbentur, jadi agak sakit. Makanya saya minta izin pulang duluan."

Istriku masih menatapku curiga, tapi dia tidak bertanya lebih jauh. "Ya Allah, Mas. Makanya kalau jalan hati-hati. Sudah, sana cepat mandi. Badannya pasti kotor."

"Iya, Dik," jawabku, berusaha tersenyum meyakinkan. Saya langsung bergegas masuk ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, saya mengunci pintu rapat-rapat. Dengan tangan gemetar, saya melepaskan jubah hitam yang sudah kumal. Di bawah cahaya lampu kamar mandi yang terang, saya bisa melihat berbagai cupangan dan bekas gigitan di leher, bahu, dan dadaku. Jejak-jejak dosa yang baru saja kulakukan. Tubuhku yang tegap dan berotot kini penuh tanda kepemilikan orang lain.

Saya menunduk, lalu berjongkok. Perlahan, saya mengejan, membiarkan sisa-sisa sperma dari lubang pantatku mengalir keluar. Rasanya seperti banjir. Cairan kental itu terus meluncur, membasahi lantai kamar mandi. Mereka benar-benar mengisiku sampai penuh. Saya membilasnya dengan air, mencoba membersihkan setiap jejak cairan kental itu.

Saya membersihkan diri secepat mungkin, berusaha menghilangkan setiap bukti yang bisa menimbulkan kecurigaan. Setelah selesai, saya mengambil dua handuk. Satu handuk saya gunakan untuk melilit kontol saya yang masih sedikit bengkak dan sakit, menutupi bulu kontolku yang lebat hingga ke pusar. Handuk yang lain saya lilitkan di tubuh bagian atas, menutupi dada, bahu, dan leher yang penuh cupangan.

Ketika saya keluar dari kamar mandi, istriku masih menungguku di kamar. Dia melihatku dengan dua handuk melilit tubuh, dan kembali mengerutkan kening.

"Lho, Mas, kok pakai handuk begitu? Ini kan sudah malam. Tidak dingin?" tanyanya.

"Iya, Dik. Justru ini saya kedinginan. Habis mandi rasanya menggigil," jawabku, berusaha terdengar meyakinkan sambil menggosok-gosok lengan.

Istriku hanya mengangguk, lalu berbalik membereskan tempat tidur. Saya pun bergegas berganti pakaian, mengenakan baju tidur dan sarung, berusaha secepat mungkin menutupi setiap bekas dosa di tubuhku.

Malam semakin larut. Istriku sudah terlelap di sampingku, napasnya teratur. Saya berbaring telentang, mata menatap langit-langit kamar yang gelap. Rasa lelah seharusnya langsung membuatku tertidur, namun lubang pantatku terasa sangat kosong. Sebuah kerinduan yang aneh, sebuah kekosongan yang menuntut untuk diisi. Meskipun baru saja diperkosa dan bermandikan sperma, sensasi penuh itu kini lenyap, meninggalkan rasa hampa yang tidak nyaman.

Saya tahu apa yang bisa mengisinya. Perlahan, saya menggerakkan tangan kananku ke bawah sarung, meraba kontol saya yang sudah mulai mengeras lagi. Saya mulai mengocoknya pelan, berusaha tidak membuat suara agar istriku tidak terbangun. Gerakan tanganku naik turun, membelai batang kontol saya yang panas dan berdenyut. Bayangan kontol Ian yang besar, sentuhan kasar Rudi, hisapan Joko, tusukan Agus, dan genjotan Budi, semua itu kembali menghantuiku, memicu gairah yang semakin membakar.

Kontol saya semakin tegang, membesar, dan precum mulai menetes. Saya mempercepat kocokanku, memompa kontol saya naik turun dengan irama yang semakin cepat. Desahan tertahan keluar dari mulutku. Saya menahan napas, berusaha meredam setiap suara yang keluar.

"Ahhh... enakkk..." bisikku, nyaris tak terdengar.

Saya bisa merasakan kontol saya berdenyut hebat, siap untuk crott. Saya sudah menyiapkan beberapa lembar tisu di meja dekat kasur.

CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!

Sperma saya muncrat deras, membanjiri tisu di tangan saya. Saya menumpahkan semua cairan putih kental itu ke atas tisu, berusaha agar tidak ada setetes pun yang jatuh ke kasur atau mengenai istriku. Rasa lega dan puas yang luar biasa langsung menjalar ke seluruh tubuhku, membuang semua ketegangan dan hasrat yang tertahan.

Dengan cepat, saya melipat tisu yang basah oleh sperma, lalu menyelipkannya jauh ke bawah kasur, menyembunyikannya di antara pegas dan alas kasur. Saya tidak ingin ada jejak.

Setelah semua hasrat terpuaskan dan kontol saya kembali lemas, rasa lelah yang luar biasa perlahan datang menghampiri. Kelopak mataku terasa berat. Malam ini terlalu panjang, terlalu banyak dosa yang kulakukan dan kenikmatan yang kurasakan.

Saya memejamkan mata, membiarkan kegelapan menelanku. Dalam hati, saya tahu, ini semua tidak akan pernah berakhir. Ketagihan ini, dosa ini, akan terus menghantuiku, menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Saya, seorang Ustadz, kini tenggelam dalam lubang kenikmatan terlarang.

Dan hal yang tidak bisa saya bantah bahwa saya benar-benar tidak bisa lagi terlepas dari dosa itu. Seakan itu sesuatu yang sudah tertancap mantap pada jiwaku. 


Bersambung...... 








Comments

  1. Sorry guys. Karna kerjaan jadi susah banget buat fokus nulis...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...