Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2025

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 4. Teman Kuli

Hari ini pagi yang akan terasa penat, membawa serta hiruk pikuk aktivitas para kuli bangunan. Kali ini aku bener-bener ketagihan dengan yang namanya ngentot. Lubang pantat ku sekarang benar-benar terasa ingin sekali di jamah. Rasa nyeri samar di pantatku mengingatkan pada kenikmatan sekaligus kenakalan yang pernah kulakukan. Perasaan bersalah tetap ada, namun kenikmatan yang kudapatkan dari sex, sungguh luar biasa. Rasanya aneh, tapi juga membuatku makin berani. Aku mulai berpikir, mungkin hidup sebagai duda memang memberiku kebebasan untuk menjelajahi hal-hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hari ini, aku dan beberapa kuli lain dapat proyek baru, membangun fondasi rumah di ujung desa. Salah satu teman kuli yang satu tim denganku adalah Jaka. Usianya sekitar 30 tahunan, sama denganku. Perawakannya besar, kulitnya hitam legam karena sering terpapar matahari, dengan otot-otot kekar yang terbentuk dari kerja keras. Dia punya kumis tipis dan rambut ikal yang selalu dibiarkan gondron...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 3. Anak pak haji

  Desa Mandiri kembali menyambut pagi dengan kicauan burung dan embun yang menggelayuti dedaunan. Setelah kejadian panas bersama Rian, ada perasaan aneh yang menetap dalam diriku. Rasa bersalah bercampur dengan keinginan untuk mengulanginya lagi. Namun, rutinitas hidup harus tetap berjalan. Pagi itu, Pak Haji Mahmud, salah satu tokoh terpandang di desa, memanggilku. Katanya, ada beberapa genteng rumahnya yang bocor dan butuh diperbaiki. Pekerjaan halal, pikirku, lumayan untuk menambah pemasukan. Rumah Pak Haji Mahmud termasuk salah satu yang terbesar di desa. Berarsitektur tradisional Jawa dengan sentuhan modern, berdiri kokoh di atas lahan yang luas, dikelilingi kebun buah dan halaman yang tertata rapi. Halaman depannya luas dengan beberapa pohon rindang yang memberikan keteduhan. Saat aku tiba, beberapa anggota keluarga Pak Haji tampak beraktivitas di teras. Aku memanggul tangga bambuku dan menuju ke belakang rumah, tempat genteng yang bocor berada. Sinar matahari pagi mulai tera...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 2. Ketagihan

  Desa Mandiri kembali diselimuti ketenangan, tapi bagiku, ketenangan itu tak lagi sama. Semenjak sore itu di rumah Rian, pikiranku terusik. Bayangan adegan *69* kami, sensasi isapan, dan rasa aneh sperma Rian yang baru pertama kali kucicipi, semua itu melekat kuat. Aroma kontolnya—bau khas yang kini tak lagi asing—terus tercium di benakku, memicu gelombang panas di perut. Aku ketagihan. Sungguh, aku ketagihan. Malam-malam setelahnya terasa panjang. Coli yang dulu jadi pelarian, kini terasa hambar. Fantasiku tak lagi sebatas bayangan mantan istri; yang ada hanya Rian, desahannya, dan bagaimana kontol kami saling bergesekan, melontarkan gairah yang tak terlukiskan. Aku tahu ini salah. Aku tahu ini tabu. Tapi, naluri dalam diriku berteriak, menginginkan sensasi itu lagi. Akhirnya, aku tak tahan. Pagi ini, setelah sarapan seadanya, tanganku meraih ponsel. Jantungku berdebar saat mencari nama Rian di daftar kontak. "Assalamu'alaikum, Yan," sapaku setelah nada sambung berderin...

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Ustadz Kampung: Chapter 6. Hampir Ketahuan

  Beberapa hari setelah kejadian di semak-semak, ada yang berbeda dari Ustadz Firman. Dia mulai menjauhiku. Di masjid, dia tak lagi menyapaku dengan kehangatan seperti dulu. Saat berpapasan, pandangannya sering menghindar, atau jika terpaksa bertatapan, ada gurat penyesalan dan ketakutan yang jelas di matanya. Dia nyaris tak pernah berbicara denganku lagi, kecuali hal-hal yang benar-benar penting dan seperlunya. Saya tahu ini karena kejadian malam ronda itu. Ustadz Firman, yang saya tahu adalah sosok alim dan menjaga diri, pasti sangat menyesali perbuatannya. Dia berumur 35 tahun, dengan jenggot dan kumis yang tidak terlalu panjang namun rapi, wajahnya tampan dan berwibawa, membuatnya terlihat sangat disegani di kampung ini. Melihat penyesalannya, sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah di hatiku. Tapi di sisi lain, dorongan hasrat yang sudah terlanjur terbangun di antara kami membuatnya sulit bagiku untuk benar-benar melepaskannya. Sensasi malam itu masih terekam jelas di benakku, d...