Skip to main content

Ustadz Kampung: Chapter 11. Toilet Mesjid


 Beberapa hari setelah kejadian mengerikan sekaligus memabukkan di gubuk reot itu, saya merasa hancur. Bukan hanya karena aibku terbongkar dan tubuhku dinodai, tapi juga karena kenikmatan yang saya rasakan saat diperkosa oleh geng Ian. Pikiran itu terus menghantuiku, menciptakan pergolakan batin yang luar biasa. Di satu sisi, rasa malu dan hina menyeruak, membuatku tidak ingin keluar rumah, bahkan rasanya ingin bersembunyi di bawah tanah. Tapi di sisi lain, bayangan kontol Ian yang besar dan brutal, sentuhan kasar Rudi, hisapan Joko, tusukan Agus, dan genjotan Budi... semua itu terasa begitu nyata, begitu nikmat, sehingga ada rasa rindu dan ketagihan yang mengerikan. Saya merasa jijik pada diri sendiri, tapi hasrat itu, seperti api, terus membakar.

Namun, hidup harus terus berjalan. Sebagai seorang Ustadz, saya harus tetap menunjukkan diri, meski hati dan pikiranku hancur berkeping-keping. Dengan langkah berat dan hati yang gelisah, saya memaksakan diri untuk kembali beraktivitas, termasuk Salat Subuh di masjid.

Pagi itu, udara di desa terasa sejuk setelah hujan semalam. Langit masih gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu masjid yang remang. Setelah Salat Subuh berjamaah, para jamaah mulai beranjak pulang. Saya melihat Ustadz Firman sedang melipat sajadahnya. Sejak kejadian terakhir di rumah saya, kami berdua memang lebih sering menghindar. Tapi pagi ini, saya merasa harus bicara padanya. Saya butuh seseorang untuk berbagi, seseorang yang mungkin bisa mengerti, atau setidaknya, tidak menghakimiku sekeras diriku sendiri.

Saya melangkah mendekati Ustadz Firman. Dia masih berjongkok, pandangannya lurus ke depan.

"Ustadz Firman," panggilku pelan.

Dia sedikit terlonjak kaget. Ia menoleh, dan matanya langsung menunjukkan ekspresi terkejut, lalu segera berubah menjadi cemas saat melihatku. "Ardy? Ada apa?" tanyanya, suaranya sedikit tercekat. Dia melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang mendekat.

Saya menelan ludah. "Saya... saya ingin bicara sesuatu yang penting, Ustadz. Pribadi."

Ustadz Firman mengerutkan kening. Dia bisa melihat ada kegelisahan dan keputusasaan di mataku. "Di sini tidak aman, Ardy. Banyak orang." Dia melirik ke arah pintu WC masjid, lalu kembali menatapku. Ada kilatan aneh di matanya, sebuah isyarat yang saya tangkap.

"Ini... ini sangat penting, Ustadz. Ini tentang... kejadian yang saya alami," bisikku, berharap dia mengerti maksudku adalah kejadian di gubuk.

Tanpa banyak bicara, Ustadz Firman tiba-tiba meraih pergelangan tanganku. Genggamannya kuat dan dingin. Dia menarikku tanpa kata, melewati jamaah yang sudah mulai bubar, menuju ke arah WC masjid. Saya sedikit terkejut, tidak menyangka ia akan bertindak secepat itu. Saya pikir ia akan membawaku ke tempat yang lebih pantas untuk bicara, bukan ke tempat kotor seperti ini. Tapi, entah mengapa, saya tidak menolak. Tubuhku, seolah punya kehendak sendiri, mengikuti tarikannya.

Kami masuk ke dalam WC masjid. Udara di dalamnya pengap dan berbau pesing, bercampur dengan aroma karbol. Ustadz Firman dengan cepat mendorongku ke salah satu bilik WC yang kosong, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Dia juga mengunci grendel dari dalam.

Kegelapan langsung menyelimuti kami. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari celah di atas pintu. Di dalam bilik sempit itu, kami berdua berdiri berhadapan, terlalu dekat. Saya bisa merasakan napas Ustadz Firman yang memburu.

"Ada apa, Ardy? Apa yang terjadi?" bisiknya, suaranya tegang dan penuh kekhawatiran, namun juga ada nada lain yang tak bisa saya jelaskan.

"Ustadz Firman," kataku, suaraku bergetar, "Saya... saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya... saya diperkosa, Ustadz." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, sebuah pengakuan yang menyakitkan.

Ustadz Firman terkesiap. "Diperkosa? Oleh siapa? Kapan?"

"Oleh... oleh geng Ian, Ustadz. Semalam, di gubuk kebun Pak Haji," jawabku, merasakan mata saya mulai memanas. Rasa malu itu kembali menyeruak dengan dahsyat. "Tapi... tapi yang lebih parah, Ustadz... saya... saya menikmati..." Saya tidak sanggup melanjutkan kalimat itu. Air mata mulai mengalir di pipiku.

Ustadz Firman menatapku di kegelapan. Wajahnya tidak menunjukkan rasa jijik atau marah, justru ada rasa simpati dan pemahaman yang dalam. Dia mengangkat tangannya, menyentuh pipiku, menghapus air mataku dengan ibu jarinya yang lembut.

"Sssst... sudah, Ardy. Sudah," bisiknya. "Aku tahu perasaanmu. Jangan menyalahkan dirimu sendiri."

Sentuhannya yang lembut, kata-katanya yang menenangkan, membuat saya merasa sedikit lega. Tapi kemudian, sentuhannya bergeser. Jemarinya merayap dari pipiku, turun ke leherku, lalu ke dadaku. Ia bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang di balik baju koko yang saya kenakan. Jubah hitam saya yang longgar membuat gerakannya mudah.

"Aku tahu bagaimana rasanya hasrat yang tak terkontrol itu, Ardy," bisik Ustadz Firman, suaranya semakin rendah dan menggoda. "Kadang, kita tidak bisa melawannya. Itu fitrah manusia."

Kata-kata itu, diucapkan oleh seorang Ustadz, di dalam WC masjid, sungguh terasa dosa dan suci pada saat yang bersamaan. Kontradiksi itu justru memanaskan tubuh saya. Kontol saya yang tadinya tegang karena cemas, kini mulai berdenyut karena gairah.

Ustadz Firman melangkah lebih dekat, hingga tubuh kami bersentuhan penuh di dalam bilik sempit itu. Saya bisa merasakan kehangatan tubuhnya, dan kontol-nya yang sudah mulai tegang menusuk perutku.

"Stsss Ustadz... kita tidak boleh hmmm..." bisikku, berusaha mengingatkan, tapi suara saya sudah tercekat oleh nafsu.

Ustadz Firman tidak menjawab. Dia hanya menunduk, bibirnya langsung mendarat di bibirku. Ciuman itu dalam dan panas, penuh dengan kerinduan dan hasrat yang telah lama tertahan. Lidah kami saling beradu dengan liar, menjelajahi setiap sudut mulut satu sama lain. Aroma napas Ustadz Firman yang hangat dan maskulin memenuhi indra penciumanku.

Saya mencengkeram bahu Ustadz Firman, membalas ciumannya dengan tak kalah buas. Dalam sekejap, semua rasa malu dan bersalah karena geng Ian seolah lenyap, digantikan oleh gelombang gairah yang tak terbendung.

Ustadz Firman melepaskan ciuman kami, napasnya terengah-engah. Matanya menatapku dengan nafsu yang tak tertahankan. "Aku tidak tahan lagi, Ardy," bisiknya. "Aku ingin nusuk."

Tanpa basa-basi, Ustadz Firman meraih jubah saya. Dengan gerakan cepat dan kuat, dia menyibakkan jubah hitam saya hingga terbuka lebar, memperlihatkan tubuh saya yang telanjang bulat di kegelapan bilik WC. Udara dingin menyentuh kulitku, namun yang saya rasakan hanyalah panas dari nafsu yang membakar.

Kontol saya yang sudah tegang berdiri gagah, basah oleh precum yang menetes. Bulu kontol saya yang lebat menjalar hingga ke pusar, terlihat samar di cahaya remang. Dada bidangku dengan otot yang terbentuk dari bertani, kini terpampang tanpa penghalang.

Ustadz Firman menatap tubuhku dengan mata berbinar. "Ustadz Ardy... aku suukaa..." bisiknya, suaranya serak.

Dia tidak menunggu persetujuanku. Dengan gerakan liar dan mantap, Budi langsung meraih kontol saya dan menghisapnya. Mulutnya panas dan basah, lidahnya bermain liar, memutari kepala kontol saya, menjilat batangnya dari pangkal hingga ujung. Hisapannya kuat dan dalam, mengulum dan menarik dengan penuh nafsu.

"Ahhh stss ohhh... Ustadz... eeeenakkk..." desahku, kepalaku mendongak ke atas, mataku terpejam rapat. Tanganku menjambak rambut Ustadz Firman, menarik kepalanya lebih dalam, seolah ingin dia menelan seluruh kontol saya. Saya merasakan gelombang kenikmatan yang membakar dan memabukkan, menjalar ke seluruh tubuh saya.

Ustadz Firman terus menghisap, menjilat, dan mengulum, sesekali menghisap seluruh kontol saya hingga pangkal, membuatku menggeliat tak terkontrol, punggungku melengkung karena sensasi. Suara kecapan mulut Ustadz Firman dan desahanku yang semakin tak terkontrol memenuhi bilik WC yang sempit, menciptakan simfoni gairah kami berdua. Kami harus berusaha sekuat tenaga untuk tidak bersuara terlalu keras, hanya desahan-desahan tertahan yang keluar dari mulut kami.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar bilik. Seseorang datang ke WC! Jantungku langsung berdebar kencang. Kami berdua langsung menghentikan gerakan. Ustadz Firman mengangkat kepalanya dari kontol saya, napasnya terengah-engah. Kami saling pandang di kegelapan, mata kami menunjukkan kepanikan yang mendadak.

"Tok! Tok! Tok!" Seseorang mengetuk pintu bilik sebelah.

"Tok! Tok! Tok!" Ketukan terdengar lagi.

Kami berdua diam tak bergerak, menahan napas. Suara air mengalir dari keran terdengar. Seseorang sedang mencuci tangan.

Ustadz Firman menatapku, matanya memohon. Saya mengangguk, isyarat agar dia melanjutkan. Rasa takut dan gairah bercampur aduk, menciptakan sensasi yang lebih liar.

Ustadz Firman kembali menghisap kontol saya, kali ini lebih hati-hati, berusaha tidak membuat suara. Hisapannya menjadi lebih lembut tapi lebih sensual, setiap jilatan dan isapan terasa memperlambat waktu, membuatku gila dengan kenikmatan yang tertahan.

Seseorang di luar bilik WC mulai buang air kecil. Suara gemericik air membanjiri bilik sebelah. Kami berdua berusaha menahan desahan, hanya suara napas berat dan kecapan mulut Ustadz Firman yang terdengar samar.

Setelah beberapa saat, suara buang air kecil berhenti. Lalu terdengar suara siraman kloset. "Srrrrr..." Kemudian suara keran air mengalir lagi. Lalu langkah kaki menjauh.

Kami berdua menghela napas lega. Ustadz Firman melepaskan hisapannya dari kontol saya, wajahnya merah padam.

"Nyaris saja!" bisiknya, napasnya memburu.

"Teruskan, Ustadz, jangan stok" kataku, suaraku serak, "Jangan berhenti."

Ustadz Firman mengangguk. Dia melorotkan sarungnya. Kontol-nya yang kekar dan keras langsung melonjak keluar. Dia meraih kontolnya, mengarahkannya ke lubang pantatku.

Saya membungkuk sedikit, memberi akses padanya. Ustadz Firman meludahkan sedikit air liur ke ujung kontol-nya, lalu perlahan mulai mendorongnya masuk ke lubang pantatku.

"Ahhh! Ustadz... pelan-pelan..." desahku, menahan suara. Rasa perih yang bercampur kenikmatan luar biasa saat kontol-nya menusuk masuk ke dalam lubang saya. Rasanya penuh, sesak, namun sangat memuaskan. Setiap inci kontol-nya yang masuk terasa membakar dan meregangkan, menciptakan tekanan yang memabukkan. apalagi saat kontolnya mencapai sisi kenikmatan di dalam lubang pantat ku

Ustadz Firman menghela napas panjang saat kontol-nya masuk sepenuhnya. "Ahhh... Ardy... ketat sekali... nikmatnya..." desahnya, suaranya serak, berusaha menahan suara.

Dia mulai menggerakkan pinggulnya, menggenjotku dengan tempo yang lambat namun pasti, berusaha agar tidak mengeluarkan suara terlalu keras. Plok! Plok! Plok! Suara kulit kami yang beradu dan desahan kami yang tertahan memenuhi bilik sempit itu, menciptakan irama seks yang primal. Setiap dorongan Ustadz Firman terasa dalam dan penuh, mengenai titik-titik sensitif di dalam lubang pantatku, membuatku melenguh dan melengkung tak terkontrol.

"Akhhh! Ustadz... enakkk... terus... jangan berhenti..." desahku tak terkontrol, kepalaku mendongak ke atas, mataku terpejam rapat. Tanganku mencengkeram erat bahu Ustadz Firman, kukuku menusuk kulitnya.

Ustadz Firman semakin mempercepat genjotannya, dorongannya semakin kuat dan agresif, namun tetap berusaha menjaga agar tidak terlalu berisik. Dia memegang pinggangku erat, mendorongku ke depan setiap kali dia menusuk lebih dalam, membuat tubuh kami beradu dengan suara berdebam yang teredam. Keringat membasahi tubuh kami berdua.

"S-t-s-s... akhhh! Ustadz... Aku ketagihan lubang mu sempittt banget..." desahnya, suaranya serak karena gairah, nyaris tak berbentuk kata.

Aku bisa merasakan kontol saya yang sudah tegang berdenyut-denyut. Kenikmatan ini terlalu dahsyat, terlalu memabukkan.

Posisi kami sekarang berhadapan dengan sebelah kaki ku di angkat tinggi untuk mempermudah kontolnya masuk. 

 Aku menunduk, mencium kening Ustadz Firman, lalu turun ke bibirnya. Kami berciuman lagi di sela-sela genjotan, lidah kami saling beradu, bertarung dalam ciuman yang panas dan penuh nafsu, berusaha agar tidak mengeluarkan suara.

"akhhhh stsss ohhhh Aku... aku tidak tahan lagi, Ardy... aku mau crott..." desah Ustadz Firman, suaranya tercekat oleh kenikmatan, nyaris tak terdengar.

"Ayo! Crott saja, Ustadz! Aku siap!" desahku, tubuhku mengejang hebat, juga berusaha menahan suara.

Dan bersamaan dengan itu...

CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!

CROTTTT! CROTTTT! CROTTTT!

Sperma Ustadz Firman muncrat deras ke dalam lubang pantatku, memenuhi setiap rongga dengan kehangatan yang luar biasa. Saya merasakan tubuh saya mengejang hebat, dan kontol saya sendiri juga muncrat deras, membasahi perut dan paha Ustadz Firman. Kami berdua jatuh terduduk di lantai bilik WC yang dingin dan basah, terengah-engah, tubuh kami lemas dan berkeringat. Napas kami memburu, tapi ada senyum puas dan terlena yang terukir di wajah kami.

Kami berdua diam sejenak, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja terjadi. Aroma sperma dan keringat bercampur dengan bau pesing di udara, memenuhi bilik sempit itu.

"Ustadz Firman..." ucapku, masih terengah, suaraku nyaris berbisik.

Dia menatapku, matanya sedikit berkaca-kaca, penuh keterkejutan dan kepuasan. "Aku tidak percaya ini terjadi lagi... di WC masjid..."

"Kita berdua yang tahu, Ustadz," kataku, meraih tangannya dan meremasnya lembut. "Ini rahasia kita."

Dia mengangguk pelan, senyum tipis terukir di bibirnya. "Aku... aku tidak tahu harus merasa apa. Ini... ini dosa besar, Ardy. Di rumah Allah... Tapi... mengapa rasanya begitu... nikmat? Rasanya aku ingin terus"

Saya menghela napas, melihat ke langit-langit bilik WC yang berlumut. "Saya juga memikirkan hal yang sama, Ustadz. Sebagai seorang Ustadz, saya tahu ini salah, sangat salah. Tapi setiap kali melakukannya... setiap kali tubuh kita bersentuhan seperti ini... rasanya seperti... seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang. Sebuah kepuasan yang tidak bisa saya dapatkan dari yang halal. Semakin dilarang, semakin terasa... menggoda."

Ustadz Firman menatapku dengan sorot mata yang dalam, memahami. "Ya. Seperti ada kekosongan yang terisi. Sebuah... ketagihan yang aneh. Kita seharusnya bertobat, Ardy. Tapi... entah mengapa, aku merasa... ini tidak akan menjadi yang terakhir." Dia mengakui dengan jujur, tanpa ada kepura-puraan lagi.

"Saya juga, Ustadz," kataku. "Mungkin inilah ujian terbesar bagi kita. Hasrat yang melampaui batas, yang justru datang dari diri kita sendiri. Sebuah dosa yang memabukkan."

Kami duduk diam beberapa saat lagi, mengumpulkan tenaga, merenungi dosa yang baru saja kami lakukan di tempat ini, namun di dalam hati, kami berdua tahu, kami tidak menyesalinya sepenuhnya. Ada benih ketagihan yang telah tertanam dalam diri kami, sebuah rahasia gelap yang akan terus menghubungkan kami.

"Sebaiknya kita membersihkan diri, Ustadz," kataku. "Sebentar lagi akan ada yang datang."

Ustadz Firman mengangguk. Kami berdua mengambil air  membersihkan sisa-sisa sperma, lalu merapikan pakaian kami. Saya memakai jubah hitam saya lagi, dan Ustadz Firman memakai sarungnya.

"Aku harus pulang sekarang, Ardy," kata Ustadz Firman, suaranya sedikit gemetar namun ada nada kepuasan yang mendalam. "Terima kasih... untuk pagi ini."

"Sama-sama, Ustadz," kataku, tersenyum padanya.

Ustadz Firman membuka kunci pintu bilik WC, lalu kami keluar. Masjid sudah mulai sepi, hanya ada beberapa jamaah yang masih berzikir. Kami berjalan keluar masjid, berusaha bersikap normal.

Saat Ustadz Firman melangkah pergi, saya menatap punggungnya. Saya tahu, ia tidak akan bisa melupakan kenikmatan yang kami bagi hari ini. Dan saya... saya juga tidak akan pernah melupakannya. Hasrat ini, semakin lama semakin menguasai diri, menarik saya lebih dalam ke dalam jurang kenikmatan terlarang ini, bahkan di tempat yang tak terduga sekalipun.




Ustadz kampung:

Comments

Popular posts from this blog

Ustadz Kampung: Chapter 8. Rumah Kosong

Malam ini, bulan sabit tipis menggantung di langit, cahayanya nyaris tak menembus pekatnya kegelapan di sudut kampung. Udara dingin mulai merasuk, menusuk tulang. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian, mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan pikiran yang terus-menerus digerayangi bayangan orang-orang dan dosa manis yang kami bagi. Rasanya seperti ada kekosongan yang terus menuntut untuk diisi, sebuah gairah yang tak pernah padam. Dildo yang biasa saya pakai sengaja saya tinggalkan di rumah tentu saja di tempat yang aman, karena malam ini, entah kenapa tidak ingin mengenakannya.  Saat saya berjalan menyusuri jalan setapak yang sepi, sebuah bayangan muncul dari balik pohon mangga tua. Seorang pria melangkah keluar dari kegelapan. Itu Ian. Saya mengenalnya. Ian adalah salah satu pemuda kampung yang jarang terlihat di masjid, tapi sering terlihat nongkrong di warung kopi. Umurnya sekitar 25 tahun, lebih muda dari saya, dengan tubuh yang kurus namun atletis, rambutnya...

Ustadz Kampung: Chapter 7. Ustadz firman

Sudah beberapa hari sejak kejadian mendebarkan di rumah Ustadz Firman. Sejak itu, saya dan Ustadz Firman jarang sekali berinteraksi. Dia masih terlihat menghindar, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kerinduan yang samar di matanya setiap kali kami berpapasan, sebuah tarikan tak terlihat yang kami berdua rasakan. Saya tahu, ia pasti kepikiran tentang kejadian itu karena hampir ketahuan membuat hasrat kita tertunda, itu kenikmatan yang terlarang namun begitu memabukkan baginya. Saya juga merasakan hal yang sama. Setiap kali istri saya pergi berjualan atau tidur, bayangan tubuh Ustadz Firman, desahannya, dan sentuhannya kembali menghantui terutama kontolnya.  Pagi itu, istri saya pamit untuk pergi ke pasar. Dia bilang akan pulang menjelang sore. Artinya, rumah akan kosong. Saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca kitab di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran saya terus-menerus melayang pada Ustadz Firman. Tidak lama setelah istri saya ...

Fikri Pemuda Kampung: Chapter 1. Posisi 69

Desa Mandiri, dengan udara pegunungan yang sejuk dan rumah-rumah kayu yang berjejer rapi, selalu menjadi tempat yang tenang bagiku. Usia 31 tahun, duda tanpa anak. Istriku tak sanggup dengan kehidupan desa yang pas-pasan, membuatnya memilih bercerai. Padahal, untuk penampilan aku tergolong tampan, sering jadi incaran wanita, badan bagus, tinggi, alis tebal. Semua orang terpana dengan penampilanku. Tapi, tampan saja sepertinya tak cukup, karena rumah tangga butuh uang. Sejak bercerai, aku memilih tak lagi memikirkan cinta. Sore itu, aku berjalan santai menuju rumah Rian, sahabatku sejak kecil. Rian, setahun lebih muda dariku, punya aura lebih berani dan sedikit nakal, kontras dengan sifatku yang cenderung kalem. Kami sering menghabiskan waktu bersama, entah main bola di lapangan desa, memancing di sungai, atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah Rian. Namun, sore ini, obrolan kami akan membawa kami ke wilayah yang belum pernah kujelajahi. "Assalamu'alaikum, Yan!" ...